Selasa, 08 Desember 2009

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG SUARA TERBANYAK TELAH MENDUKUNG ATAU JUSTRU MENGHAMBAT DEMOKRASI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG SUARA TERBANYAK TELAH MENDUKUNG ATAU JUSTRU MENGHAMBAT DEMOKRASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR, sebuah badan yang dipilih dari rakyat. Secara hierarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu. Empat tahun kemudian, Partai Golongan Karya Kembali memenangkan Pemilu dengan merebut 125 kursi DPR.

Pada tanggal 31 Maret 2008, Presiden mengesahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemillihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Satu diantaranya adalah Pasal 214 tentang penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD. Permohonan judicial review atas pasal ini kemudian mendapatkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan permohonan para pemohon dengan menyatakan pasal 214 Undang-undang No.10 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

B. PERMASALAHAN

Putusa Mahkamah Konstitusi ini juga tidak lepas dari kritik berbagai pihak kemudian timbulkan pertanyaan “Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Suara Terbanyak Telah Mendukung Atau Justru Menghambat Demokrasi?”.

BAB II

PEMBAHASAN

Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Pemilihan Umum sangat identik dan dianggap sebagai satu praktek yang paling penting dalam berdemokrasi, pemilu adalah puncak demokrasi karena itu penyelenggaraan pemilu sering disebut "pesta demokrasi". Bahkan banyak yang menganggap bahwa pemilu adalah demokrasi itu sendiri.

Indonesia adalah sebuah Negara demokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah melalui beberapa Pemilu. Berbagai peraturan pun telah diundangkan untuk mengatur pemilu tersebut. Terakhir adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemillihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Satu diantaranya adalah Pasal 214 tentang penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD. Permohonan judicial review atas pasal ini kemudian mendapatkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 membatalkan pasal 214 dari Undang-Undang ini.

Pasal sebelumnya dengan sistem nomor urut dianggap kurang mencerminkan demokrasi karena pengaturan nomor urut sudah dimulai di tingkat partai politik. Caleg yang menduduki nomor urut paling kecil akan memiliki peluang yang lebih besar untuk terpilih menjadi anggota legislatif. Selain itu, hal ini dianggap bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia.

Kelebihan sistem suara terbanyak diantaranya:

1. Calon yang memiliki suara terbanyak akan terpilih menjadi anggota legislatif sehingga dianggap lebih mencerminkan suara rakyat atau demokrasi.

2. Anggota legislatif yang terpilih nantinya adalah calon yang memiliki ikatan emosional yang baik dengan rakyat terutama konstituennya.

3. Anggota legislatif yang terpilih tidak akan terlalu mementingkan partai politiknya sehingga akan lebih mementingkan konstituenya.

Walaupun lebih mencerminkan demokrasi, namun sistem surara terbanyak juga memiliki banyak kekurangan, diantaranya:

1. Peranan Partai Politik akan sangat berkurang, dengan sistem suara terbanyak, Pemilihan calon legislatif terkesan diikuti oleh perseorangan hal ini sangat bertentangan dengan UU No. 10 tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pemilu adalah partai politik.

2. Calon legislatif yang telah lama bergelut di dalam partai politik tertentu dan telah melalui kaderisasi yang panjang akan lebih kecil peluangnya untuk terpilih menjadi anggota legislatif dibandingkan caleg dadakan karena money politik, atau karena ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat.

3. Money politc akan rentan dalam kampanye, walaupun dengan sistem nomor urut jual beli nomor urut di tingkat partai politik pun terjadi.

4. Persaingan dan konflik antara sesama calon legislatif akan sangat besar kemungkinannya terjadi karena masing-masing berjuang untuk kepentingan sendiri.

5. Calon yang terpilih hanya berdasarkan kuantitas bukan kualitas. Hal ini bias terjadi karena money politic, selain itu, banyak partai kini memburu orang-orang dengan popularitas yang tinggi, misalnya selebritis yang kualitasnya belum tentu baik.

6. Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga mengurangi peluang caleg perempuan untuk terpilih menjadi anggota legislatif, affirmative action menjadi sia-sia, suara terbanyak akan membendung sistem zipper yaitu dari tiga caleg harus ada satu caleg perempuan sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008.

Sistem yang digunakan sebelumnya yaitu sistem nomor urut mempunyai kelebihan diantaranya:

1. Penentuan nomor urut telah melalui mekanisme partai politik yang mencerminkan peranan partai politik sebagai peserta pemilu.

2. Kredibilitas calon legislatif akan lebih baik, caleg dengan nomor urut teratas sudah pasti adalah kader terbaik partai yang telah memenuhi kriteria-kriteria partai politik.

Kekurangan sistem suara terbanyak antara lain:

1. Kurang demokratis karena caleg dengan suara terbanyak di partainya belum tentu terpilih menjadi anggota legislatif karena menempati nomor urut paling bawah.

2. Bertentangan dengan tiga Pasal dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: Pasal 27 ayat (1): Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2).

3. Calon legislatif dengan nomor urut besar hanya sebagai umpan untuk memperoleh suara bagi caleg diatasnya.

Dari kekurangan dan kelebihan masing masing sistem di atas, menurut penulis, sistem nomor urut masih lebih baik untuk kondisi bangsa kita sekarang ini karena:

1. Calon legislatif dengan urutan paling bersar tetap punya peluamg menjadi anggota legislatif bila memperoleh jumlah suara lebih dari 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) sehingga anggapan bahwa proses pemilihan tidak demokratis atau caleg dengan urutan terbawah hanya sebagai umpan untuk memperoleh suara bagi caleg diatasnya tidak sepenuhnya benar.

2. Calon pemilih belum cukup dewasa dalam menjatuhkan pilihan, calon pemilih akan cenderung berpikir emosional ketimbang rasional sehingga money politc akan sangat rentan terjadi.

3. Anggota legislatif yang terpilih adalah anggota legislatif yang berkualitas karena telah melalui kaderisasi dan mekanisme partai, bukan karena kuantitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita sebenarnya belum dewasa untuk menggunakan sistem pemilihan dengan suara terbanyak, klebanyakan pemilih akan lebih banyak menjadi pemilih yang emosional daripada menjadi pemilih yang rasional. Dengan sistem nomor urut, mekanisme partai akan mengatur penentuan nomor urut dengan kriteria-kriteria tertentu sehingga calon legislatif pada urutan teratas sudah pasti adalah kader partai yang dianggap terbaik.

4. Dengan sistem pembagian daerah pemilihan yang digunakan sekarang ini anggapan bahwa anggota legislatif yang terpilih tidak akan dekat dengan masyarakat dan konstituennya dan lebih mementingkan partai politiknya tidak sepenuhnya benar. Anggota legislatif terpilih akan dekat dengnan daerah pemilihannya dengan demikian, anggota legislatif tidak hanya dekat dengan konstituennya.

Untuk mengatasi kekurangan dari sistem ini, mekanisme pencalegan dan kriteria caleg di tingkat parpol juga perlu diperbaiki agar kualitas anggota legislatif terpilih bisa terjamin, proses penentuan calon anggota legislatif melibatkan anggota partai politk secara langsung, bukan hanya fungsionaris partai atau pengurus organisasi sayap parpol . Selain itu kepentingan partai politik harus dikurangi, anggota legislatif tidak boleh menjadi pengurus partai politik yang bisa menimbulkan benturan kepentingan.

Di balik pro dan kontra suara terbanyak ataupun nomor urut, sesungguhnya bagaimana pun sistem yang digunakan demokratis atau tidaknya tergantung pada proses Pemilu dan kemudian proses pemerintahan yang dilakukan oleh orang-orang yang terpilih dalam Pemilu itu sendiri. Dengan kata lain, Sebuah bangsa yang menyelenggarakan Pemilu belum tentu demokratis, contohnya Indonesia pada masa Orde Baru sebuah pendapat klasik mengatakan "You can have election without democracy, but you can not have democracy without election".

Pemilihan umum memang merupakan salah ciri demokrasi yang paling tampak, namun pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara. Misalnya di Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap paling demokratis. Kedaulatan rakyat yang dimaksud dalam demokrasi bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih anggota legislatif, bahkan presiden langsung, apalagi dengan sistem nomor urut atau suara terbanyak, tetapi dalam arti yang lebih luas.

Henry B. Mayo mengemukakan nilai-nilai bagi demokrasi yaitu:

1. Menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela,

2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam masyarakat yang selalu berubah,

3. Penggantian penguasa secara teratur,

4. Penggunaan paksaan sesedikit mungkin,

5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman,

6. Menegakkan keadilan,

7. Memajukan ilmu pengetahuan dan

8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.

Sistem pemilihan tidak menjamin demokrasi. Pemilu langsung dengan nomor urut suara terbanyak hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Akan tetapi pemilu langsung dengan suara terbanyak dianggap paling demokratis. Itu hanya akibat sebagian masyarakat terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Yang penting dalam pemilu itu sendiri dijalankan dengan asas-asas pemilu demokratis, misalnya peserta pemilu bersikap terbuka tidak ekslusif tetapi
inklusif, tidak menggunakan kekerasan (violence) dalam merebut suara, dan
tidak menyebarkan rasa anatagonis terhadap perbedaan suku, agama dan ras.

Lahirnya negara demokrasi akan bermuara pada lahirnya negara hukum seperti diketahui bahwa hukum merupakan salah satu pilar demokrasi. Indonesia merupakan Negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Menurut Hans Peter Schmitz secara teori, ada tiga tahap yang harus dilalui dalam proses demokratisasi suatu negara, yaitu tahap liberalisasi, transisi, dan konsolidasi. Tahap liberalisasi telah kita lalui, yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Saat ini kita sedang berada dan bergelut dalam masa transisi, masa yang paling penting untuk menentukan langkah ke depan reformasi di negara kita. Pemilu 2009 seharusnya menjadi momentum demi terciptanya pemerintahan yang bisa menggiring kita lebih dekat ke sistem demokrasi yang lebih mapan, tidak hanya kemapanan dalam bidang politik, tetapi juga di bidang sosial dan ekonomi serta membawa Indonesia untuk bisa segera meninggalkan masa transisi ini dan segera memasuki tahap konsolidasi.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Putusan Mahkamah konstitusi tentang suara terbanyak tidak menghambat demokrasi, bagaimana pun sistem pemilihan yang digunakan, demokratis atau tidaknya sebuah Pemilu juga bergantung pada proses Pemilu itu sendiri. Misalnya dalam proses pendaftaran pemilih, kampanye dan proses pemilihan, tercermin kebebasan, keadilan dan tanpa kekerasa, dan tanpa pelanggaran HAM sebagai elemen dasar Pemilu demokratis. Peran lembaga dan orang-orang yang terlibat dalam proses Pemilu menjadi sangat penting. Pemilu hanyalah sebagian kecil dari demokrasi. Berjalannya pemerintahan adalah bagian dimana demokrasi harus betul-betul nampak.

B. SARAN

1. Hendaknya sistem nomor urut dalam Undang-Undang N0. 10 Tahun 2008 tetap diberlakukan dalam Pemilu 2009 mengingat bangsa Indonesia belum siap dengan sistem suara terbanyak

2. Pendidikan politik sebagaimana dimaksud dalamUU No. 2 Tahun 2008 Pasal 13 huruf (e), harus dilakukan oleh partai politik setiap saat bukan hanya pada saat menjelang Pemilu melalui kampanye.

3. Mekanisme pencalegan dan kriteria caleg di tingkat parpol juga perlu diperbaiki agar kualitas anggota legislatif terpilih bisa terjamin, proses penentuan calon anggota legislatif melibatkan anggota partai politk secara langsung, bukan hanya fungsionaris partai atau pengurus organisasi sayap parpol .

4. Kampanye Pemilu juga harus lebih bertujuan sebagai media sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat, bukan hanya sarana mencari simpati dan dukungan masyarakat.

5. Anggota legislatif terpilih tidak boleh menjadi pengurus partai politik yang bisa menimbulkan benturan kepentingan.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumonline.com/

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003,TLN No. 4252.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008,TLN No. 4801.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemillihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 10 Tahun 2008, LN No. 51 Tahun 2008,TLN No. 4836.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar