Selasa, 08 Desember 2009

PRAKONDISI PEMILU YANG JURDIL

PRAKONDISI PEMILU YANG JURDIL

oleh Emil Salim

(Catatan redaksi: Makalah ini disampaikan dalam Konferensi Nasional KIPP, di
Jakarta 29-30 September 1998)

Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia artikel 21ayat 3 menyatakan
bahwa "Kemauan rakyat adalah sumber kekuasaan Pemerintah yang harus
diungkapkan melalui pemilihan umum secara berkala dan sungguh-sungguh dengan
hak pilih universal serta adil dan dilaksanakan dengan rahasia dan bebas."

MENGAPA PEMILU

Supaya pemerintah dapat membangun bangsa dan negara sesuai dengan kemauan
rakyat maka pemilihan umum harus dilaksanakan bebas, jujur dan adil agar
terungkap suasana (mood) politik yang hidup dalam masyarakat dan diketahui
posisi politik mayoritas bangsa, untuk kurun waktu tertentu, dalam spektrum
antara konservatisme dan progresivitisme dan antara evolusioner dan
revolusioner.
Dengan pergantian generasi suasana bangsa berobah. Semangat zaman menuntut
perubahan paradigma dan orientasi bangsa yang terpantulkan dalam pemilihan
umum yang jujur dan adil.

Pemilihan umum membuka peluang bagi masyarakat mengorganisasikan dirinya
sebagai wahana penyalur aspirasinya. Dalam masyarakat Indonesia yang
beraneka-ragam (diversity) terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, hasil
pemilihan umum harus memantapkan sistem politik yang majemuk tDIural),
beraneka-regam dengan jaminan hak yang sama (equal rights) bagi berbagai
kelompok dalam masyarakat, termasuk kelompok minoritas yang dilindungi
persamaan hak dan kewajibannya oleh kelompok mayoritas. Sehingga lahir
masyarakat madani (civil society) sebagai wujud masyarakat beradab yang
ditopang pilar-pilar kekuatan masyarakat untuk mampu tegak mandiri.

Untuk mencapai makna pemilihan umum secara berarti harus dikoreksi beberapa
paradigma yang berlaku selama ini. Pertama adalah anggapan bahwa kemenangan
dalam pemilihan umum harus di tangan "kepemimpinan orde baru" untuk memberi
legitimasi pada Pemerintah melanjutkan kekuasaannya; ke dua, supaya
kemenangan ini dimungkinkan maka Golkar, sebagai organisasi politik
pendukung Pemerintah, harus meraih suara mayoritas; ke tiga, untuk
memperoleh suara mayoritas maka segala cara dihalalkan Pemerintah
memenangkan Golkar dalam persaingan dengan kedua-dua partai lainnya; ke
empat sebagai alat negara yang penuh disiplin tunduk pada Presiden selaku
Panglima Tertinggi tidak memungkinkan ABRI bersikap netral sehingga harus
ikut mendukung Golkar untuk memenangkan "kepemimpinan orde baru"; ke lima,
penghimpunan dana pemi}ihan umum dari pengusaha konglomerat membantu hanya
Golkar dianggap wajar sebagai imbalan atas kemajuan yang mereka nikmati
sebagai hasil pembangunan di bawah "kepemimpinan orde baru"yang identik
dengan Golkar.

Perubahan paradigma ini memerlukan reformasi sistem politik dan sistem
pemilihan umum ke arah pengembangan demokrasi yang kredibel. Apabila
pemerintah sekarang ini merupakan kelanjutan rezim lama dan cendrung
mengkonsolidasikan kekuasaan untuk memegang tampuk pimpinan negara secara
berlanjut, timbul lah keraguan, ketidakpastian dan keprihatinan dalam
masyarakat akan kesungguhan Pemerintah memelopori reformasi.

Dalam keadaan seperti ini lah sangat perlu diberdayakannya lembaga
independen mengawasi dan memantau proses reformasi sistem politik dan sistem
pemilihan umum yang dimulai dengan ditegakkannya prakondisi pemilihan umum
yang demokratis, jujur dan adil ("jurdil").

PRA KONDISI PEMILU JURDIL

Dalam esensinya maka pemilihan umum memuat unsur persaingan antara partai
memperoleh suara pemilih yang terbanyak. Maka tiga hal menonjol: pertama,
hal-ihwal mengenai partai peserta pemilu; ke dua. cara persaingan dalam
pemilu; dan ke tiga, peranan pemerintah.

1. Peserta Pemilu.

Kebebasan berserikat perlu dijamin supaya aspirasi rakyat dapat
diungkapkan bebas dalam kehidupan partai yang tumbuh secara bebas.
Hukum persaingan berkata bahwa "harga akan mendekati nilai kelangkaannya
apabila lebih banyak fihak turut bersaing." Sebaliknya "harga akan
terdistorsi apabila peserta persaingan mengecil, lebih-lebih apabila tumbuh
monopoli yang mendominasi persaingan." Analoog dengan alur fikiran ini bisa
pula dikatakan bahwa "bobot pemilu akan mendekati nilai aspirasi rakyat yang
hidup apabila diikuti sebanyak mungkin partai yang menyalurkan berbagai
aspirasi rakyat." Dan sebaliknya "bobot pemilu akan terdistorsi tidak
mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya jika didominasi hanya satu
kontestan."
Maka biarkan lah "seribu bunga partai tumbuh mekar mewangi" tanpa
pembatasan yang artifisial agar mampu menampung seribu-satu aspirasi rakyat,
untuk kemudian biarkanlah proses pemilu menjalankan seleksi alamiahnya agar
hanya partai yang dianggap pemilih mampu menyalurkan aspirasinya saja lah
yang lolos hidup.
Kadar pemilu jurdil sesungguhnya dimulai dengan penilaian atas
kredibilitas syarat-syarat partai peserta pemilu. Semakin ketat dan berat
syarat-syarat ini semakin terbatas peserta pemilu sehingga semakin
terestriksi persaingan dalam pemilu.
Ini tidak pula berarti tidak ada persyaratan. Tetapi persyaratan lebih
dilekatkan pada aspek mutu calon partai. Dan bagi partai-peserta-pemilu
ditetapkan ketentuan-aturan agar: (1) bersikap terbuka tidak ekslusif tetapi
inklusif; (2) tidak menggunakan kekerasan (violence) dalam merebut suara;
(3) tidak menyebarkan rasa anatagonis terhadap perbedaan suku, agama dan ras.
Prinsip yang dipakai dalam pemilu adalah Pasal 27 ayat 1 UUD Negara
Republik Indonesia 1945 bahwa "segala warga-negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya."
Berdasarkan prinsip ini yang berhak memilih dan dipilih adalah
"segala warga- negara," tanpa membedakan fungsi kedudukannya dalam aparatur
Negara, seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Gurubesar, Jenderal atau Sersan
TNI dan seterusnya. Karena itu maka waktu dilaksanakan pemilu setiap orang
harus mencopot atribut kepangkatan dan kedudukannya dan masuk dalam
bilik-pemilu sebagai warganegara yang sama kedudukannya dan sama menjunjung
tinggi hukum.

Semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus dipilih dalam pemilihan
umum dan tidak boleh ada yang diangkat. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
terdiri
atas "anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan," memungkinkan
terpilihnya wakil-wakil golongan yakni badan-badan seperti kooperasi,
serikat sekerja dan lain-lain badan kolektif (Pasal 2 UUD 1945 beserta
penjelasannya). Tekanan di sini terletak pada "terpilihnya wakil-wakil
golongan" sehingga masing-masing badan perlu memilih wakilnya dalam MPR dan
dihindari penunjukkan oleh Presiden untuk memelihara kredibilitas MPR
sebagai "penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia" dan pemegang kekuasaan negara
yang tertinggi kepada siapa Presiden bertanggungjawab dan berposisi
"untergeordnet" kepada Majelis. Dalam posisi seperti ini tidaklah syah
apabila Presiden "mengangkat" anggota badan eksekutif dan militer sebagai
anggota MPR. Sehingga perlu diusahakan agar berbagai "badan-badan" ini ikut
dalam pemilu memilih wakilnya dalam MPR.

2. Calon

Mutu lembaga perwakilan DPR, MPR dan DPRD ditentukan oleh kualitas
calon. Karena itu syarat umum perlu diberlakukan, seperti syarat pendidikan
minimal, bebas dari cacat hukum dan tidak menunggak pajak sebagai indikasi
dari warga negara yang baik, mengungkapkan (disclosure) harta-kekayaan dan
sumber pendapatannya sebagai patokan awal menelusuri tidak berkorupsinya
nanti dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Rakyat, dan tidak mempromosikan
anatagonisme suku, agama dan rasial.
Untuk memperoleh calon yang setepatnya maka sistem pemilu perlu
disempurnakan. Namun keputusan mengenai dilaksanakannya sistem distrik,
proporsional atau gabungan dari keduanya sebaiknya tidak diprakarsai oleh
rezim sekarang ini karena diragukan legitimasi dan obyektifitasnya, dan
sebaiknya dipikulkan tugas penyempurnaan sistem pemilu ini pada Pemerintahan
hasil pemilu nanti.
Dalam keadaan krisis ekonomi sekarang ini ancaman "politik-uang" (money
politics) sangat riil. Karena itu harus ditetapkan ambang batas (ceiling)
biaya pengeluaran calon dan sumbangan yang diperolehnya dari masyarakat
perlu diaudit-
dan diumumkan secara transparan kepada-publik.
Bantuan perusahaan, termasuk Badan Usaha M-llik Negara, perlu dilarang atas
dasar pertimbangan bahwa perusahaan menurut anggaran dasarnya
bertanggungjawab pada pemegang saham. Perbantuan perusahaan untuk
calon-calon tertentu memberi kesan ditumbuhkannya kolusi antara perusahaan
dan calon sehingga sang calon tidak lagi obyektif memperjuangan kepentingan
umum.
Lebih-lebih bila sumbangan kepada calon diberikan oleh BUMN
akan lahirlah perbenturan kepentingan antara BUMN sebagai milik negara untuk
keperluan bangsa dengan calon partai yang mewakili kepentingan kelompok
tertentu. Karena itu auditing keuangan perusahaan dalam kaitannya dengan
pemilihan umum secara khusus harus ditingkatkan.
Dalam "menjajakan dirinya" sangatlah penting bilamana sang calon
mengutamakan "platform"nya dan tidak tenggelam dalam "pembunuhan karakter"
(character assasination) calon lawannya. Agar masyarakat memperoleh
kesempatan membandingkan aspirasi yang hidup dalam dirinya dengan platform
yang ditawarkan
calon.

3.Peranan Pemerintah

Pemerintahan Habibie memberi kesan adanya kepentingan untuk memenangkan
pemilu supaya bisa "menyelesaikan tugas lebih lama," sehingga menimbulkan
kecurigaan bahwa pemilu akan "diarahkan."
Kasus tergusurnya calon Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Marie Muhammad,
dalam DPR sehingga memberi peluang bagi tokoh-tokoh yang dijagokan Presiden
dan kesibukan Menteri Sekretaris Negara menjalankan fungsinya selaku Ketua
Umum Golkar mengkonsolidasikan organisasinya mencerminkan berlanjutnya pola
"berpolitik seperti sediakala" (politics as usual) menggunakan kekuasaan
Pemerintah untuk mempengaruhi perkembangan politik tanpa kesadaran sedikitpun
bahwa perbuatan ini secara telanjang menunjukkan konflik kepentingan.
Untuk menjamin obyektifitas dan kredibilitas pemilu perlu diusahakan agar
Lembaga Pemilu dikendalikan oleh Partai Politik dengan dukungan administrasi
finansial dari Pemerintah. Di samping ini lembaga-lembaga swadaya masyarakat
perlu membentuk lembaga independen untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan
pemilu serta mendidik masyarakat mengenai hak dan kewajibannya selaku
pemilih Lembaga indepen ini harus didukung oleh jaringan LSM meliputi
seantero tanah air.
Yang harus dijaga adalah agar dalam pemilihan umum ini Pemerintah dan ABRI
bersikap transparen dan adil (fair) menegakkan kesamaan hak bagi semua
peserta pemilu menggunakan fasilitas Pemerintah berupa ruang rapat (misalnya
di sekolah di luar waktu belajar), angkutan darat, laut dan udara yang
dimiliki Pemerintah, menjamin perlakuan adil oleh media pers dan televisi,
dan melaksanakan pemeriksaan auditing keuangan para calon dan partai yang
diumumkan terbuka kepada publik.
Sehingga "persaingan politik dalam pemilu" berlaku jujur dan adil, tanpa
pertumbuhan kekuatan monopolistik dan kartel, tanpa proteksi dan perlakuan
khusus Pemerintah -- sehingga Pemerintah dan ABRI perlu bersikap netral
dalam pemilu.
Enam bulan menjelang pemilu Pemerintah harus menghentikan kegiatan,
kebijaksanaan dan langkah-langkah memberi "gula-gula" Mavours) serta pangkat
dan kedudukan ataupun menghentikan pejabat yang bisa ditaEsirkan
mempengaruhi obyektifitas pemilihan umum.
Di India berlaku ketentuan bahwa kabinet yang berkuasa meletakkan jabatan
tiga bulan menjelang hari pemilu dan Pemerintahan dilaksanakan oleh Kepala
Negara atau Ketua Mahkamah Agung untuk menghindari agar partai yang duduk
dalam Pemerintah tidak menggunakan kekuasaan Pemerintah bagi kepentingan
partainya dalam pemilu.
Indonesia perlu mempertimbangkan hal ini. Namun minimal perlu diusahakan
agar Presiden Habibie lebih mengutamakan peranannya sebagai Negarawan
(statesman) dan bukan politisi dengan tidak mencalonkan diri dalam MPR hasil
pemilu akan datang untuk menghindarkan kesan bahwa pemilu akan digunakan
untuk melestarikan kekuasaannya di masa datang.
Dengan prakondisi seperti inilah bisa diharapkan pemilihan umum Indonesia
menempuh jalur yang jujur dan adil membangun masyarakat madani yang
demokratis.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar