Selasa, 08 Desember 2009

Optimalisasi Fungsi DPRD: Penetapan Agenda dan Pengembangan Kemitraan

Optimalisasi Fungsi DPRD: Penetapan Agenda dan Pengembangan Kemitraan*
Oleh: Purwo Santoso+


DPRD, sebagai organ pemerintahan di tingkat lokal mengemban harapan rakyat untuk ikut menggulirkan proses reformasi politik dan ekonomi. Agenda reformasi ini mencakup dua issue sentral, yakni desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah. Keduanya bermuara pada keinginan untuk mendekatkan jalannya pemerintahan pada rakyatnya, dan dengan demikian mendekatkan simpul-simpul pembuatan kebijakan kepada mereka yang akan terkena kebijakan yang bersangkutan, dan bersamaan dengan hal itu mendekatkan pelayanan publik kepada penggunanya. Dalam konteks inilah makalah pendek ini bermaksud untuk mengindentifikasi optimalisasi peran DPRD.
Sebagai pengemban peran perwakilan rakyat, DPRD secara teoritis memegang tiga peran. Pertama, sebagai agen perumus agenda bagi masyarakat yang diwakilinya. Kedua, DPRD berperan sebagai lembaga yang mengamban misi pengelolaan konflik dalam masyarakatnya. Ketiga, DPRD adalah mengembang peran integratif dalam masyarakatnya. Dalam makalah ini, dua peran yang disebut terakhir ini dibahas sekaligus dalam konteks yang lebih khusus, yakni pengembangan kemitraan.

Penetapan Agenda

Dalam membahas peran DPRD dalam penetapan agenda bagi masyarakat di daerahnya, pertama-tama perlu didudukkan keterkaitan antara peran perwakilan rakyat dengan peran penetapan agenda. Sesudah itu, akan dibahas bagaimana peran tersebut dimainkan.
Pemerintah, dalam pengertian luas yakni sebagai pelaksana kekuasaan negara, secara konseptual dibayangkan sebagai agen pengelola kepentingan publik. Penyelenggaraan pemerintahan di jaman modern pada umumnya mengadopsi doktrin trias politica, yakni pemilahan atau pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga kategori: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di tingkat lokal, organ-organ penyelenggara kekuasaan negara juga melakukan replikasi organ-organ yang telah dibuat di tingkat nasional tadi. Kita mengenal adanya DPRD sebagai pengemban kewenangan legislatif di tingkat lokal, Kepala Daerah sebagai pemangku kewenangan eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) di daerah yang bersangkutan, dan pengadilan sebagai memangku kewenangan yudikatif. Pembahasan selanjutnya hanya difokuskan pada peran atau fungsi DPRD.

Secara teknis, fungsi legislatif sering dimaknai sebagai fungsi perumusan pertauran perundang-undangan. Namun secara generik, fungsi ini bisa difahami sebagai pengekspresian kehendak khalayak ramai. Jelasnya, yang lebih penting bukan hanya terumuskannya ketentuan perundang-undangan, melainkan terekspresikannya ketentuan-ketentuan tersebut sebagai hasil kesepakatan berbagai fihak yang terkait, khususnya yang bakal terkena akibat dari diberlakukannya peraturan perundang-undangan tersebut. Sekali lagi, yang perlu digaris bawahi adalah terekspresikannya kehendak bersama yang dihasilkan dari keragaman kepentingan dan latar belakang masyarakat.

Negara, dalam konsep modern, mengemban misi instrumental. Negara, termasuk DPRD di dalamnya, mendapatkan tempat di hati masyarakat karena menjanjikan peran sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama. Secara normatif, negara adalah alat untuk mencapai tujuan rakyat. Melalui pintu-pintu legislatif inilah tujuan kolektif masyarakat secara formal diekspresikan. Jelasnya, legislatif adalah medium formal untuk mengekspresikan agenda publik secara otoritatif. Perlu digarisbawahi bahwa dalam realitanya DPRD hanyalah salah satu medium untuk mengekspresikan kepentingan atau agenda publik, dan kekhasan dari medium ini adalah karena sosok bakunya yang formal. Pada jaman modern ini, dimana perangkat komunikasi massa sudah dapat menjangkau seluruh muka bumi secara simultan, media massa juga menjalankan peran yang sama. Hanya saja, coraknya sangat informal.

Corak formalnya DPRD sebagai pengungkap agenda kolektif bukan hanya terlihat dari pembakuan berbagai macam prosedur dan persyaratan untuk menuangkan kepentingan umum, namun juga dari status hukumnya. Tatkala segala persyaratan dan prosedur telah ditempuh, maka keputusan badan legislatif bersifat mengikat. Tatkala dimensi 'kekuatan mengikat' ini yang terlampau ditekankan, maka peran legislatif termaknai sebagai peran yuridis. Selanjutnya, ketika perangkat untuk memastikan bahwa kehendak umum yang dituangkan dalam keputusan DPRD ini ingin dipastikan akan memiliki kekuatan mengikat badan eksekutif, maka peran legislatif sering disederhakanan menjadi peran perumusan peraturan perundang-undangan. Makalah ini ingin mendudukkan peran legislatif ini dalam pengertian yang luas, yang bersifat generik.

Bagaimana DPRD menjalankan perannya sebagai penentu agenda publik ? Dalam mencari jabatan terhadap pertanyaan ini ada sejumlah point sederhana yang perlu digaris bawahi. Pertama, pemilahan kekuasaan ke dalam tiga kategori3/4 legislatif, eksekutif dan yudikatif3/4 didasari semangat untuk memastikan bahwa demokrasi bisa berjalan. Lebih tepatnya, peran legislatif adalah penjabaran dari semangat untuk memastikan bahwa kekuasaan negara adalah manifestasi dari gagasan 'pemerintahan dari rakyat'. Karena eksekutif diwajibkan untuk mengikuti keputusan-keputusan legislatif, maka lembaga eksekutif bisa diartikan sebagai penjabaran gagasan 'pemerintahan oleh rakyat'. Untuk memastikan bahwa pemerintahan tersebut adalah diperuntukkan bagi rakyat, maka pemerintahan harus ditegakkan di atas prinsip keadilan. Untuk itulah lembaga yudikatif didirikan. Lebih dari itu, interaksi antara ketiga kategori organ penyelenggaraan pemerintahan tersebut di atas, dirakit sedemikian rupa sehingga tidak yang satu tidak bisa meniadakan yang lain. Dominasi salah satu organ bisa dikoreksi oleh organ yang lain. Prinsip ini disebut sebagai prinsip check and balances. Dengan demikian, maka terakitnya gagasan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Kedua, penjabaran dari semangat untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis senantiasa terkait dengan tata kelembagaan yang sangat sarat dengan suasana formal, demokrasi tidak cukup bermakna kalau hanya dilihat dari kacamata yang formalistis. Kalau tadi dikatakan bahwa agenda-agenda atau tujuan-tujuan kolektif bisa disajikan dalam format yang bercorak informal, badan legislatif sebagai wadah formalnya tidak semestinya menutup mata. Pertanyaan kunci yang semestinya ada di benak setiap anggota DPRD adalah bagaimana agar agenda-agenda publik dalam wadah yang informal tersebut direspon dan ditindaklanjuti oleh organ-organ pemerintahan yang lain, utamanya eksekutif. Legitimasi lembaga perwakilan rakyat sangat ditopang oleh kemampuan untuk membuat organ-organ pemerintahan, termasuk dirinya sendiri, bersifat responsif terhadap agenda-agenda yang beredar di arena publik. 'Kepekaan' menjadi kata kunci untuk menjabarkan dan memaknai peran seorang anggota DPRD.

Ketiga, agenda publik tidak selalu terstruktur secara ketat dan tegas. Oleh karena itu, kesulitan merumuskan secara rinci isi agenda publik bukanlah alasan untuk tidak mengambil peran dalam mengedepankan agenda tersebut. Sebagai contoh, bangsa Indonesia (hampir semuanya) sepakat dengan agenda 'reformasi', meskipun interpretasi tentang cakupan dan kedalaman agenda reformasi ini tidak akan pernah disepakati secara bulat. Pointnya di sini adalah bahwa peran perwakilan rakyat bisa dilakukan dengan memboncengi curahan "energi untuk menggerakkan perubahan" yang ada di masyarakat. Peran kunci yang menantang para anggota DPRD adalah menjabarkan agenda-agenda yang sifatnya "kabur" tadi ke dalam agenda-agenda yang lebih rinci dan bisa dijabarkan secara operasional.

Keempat, karena agenda-agenda publik kebanyakan tersembunyi di balik berbagai macam wacana yang bergulir di dalam masyarakat, maka DPRD perlu memiliki kemampuan dan perangkat untuk mengeksplisitkan agenda-agenda tersebut secara untuk disajikan secara formal. Dalam kaitan ini, kemampuan yang diperlukan adalah menangkap agenda-agenda strategis, yakni yang memiliki implikasi luas atau mendalam. Sebagai contoh, di satu sisi Indonesia selama ini berbangga diri memiliki keragaman budaya. Di sisi lain, penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini selama ini dimotivasi secara kuat dengan gagasan penyeragaman. Implikasi dari ambivalensi ini adalah tidak tersalurkannya hasrat untuk memiliki identitas budaya lokal. Keperluan untuk komunikasi antar budaya harus berhadapan dengan hantu politik bernama SARA. Keperluan untuk mengagendakan pengembangan identitas budaya lokal baru terasa ketika identitas kedaerahan dieksploitir oleh elit-elit politik untuk memperjuangkan kepentingannya. Tantangan bagi proses agenda setting, dalam hal ini mengidentifikasi persoalan-persoalan laten untuk mengatasi persoalan-persoalan besar, seperti persoalan integrasi bangsa.

Kelima, legalitas DPRD sebagai tempat penuangan agenda publik memberi peluang untuk dimanipulasi sebagai kedok untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu (vested interest). Sehubungan dengan hal itu, anggota-anggota DPRD perlu peka terhadap kecenderungan untuk memperalat legilitas DPRD untuk menyembunyikan kepentingan sempit kelompok tertentu. Kecenderungan untuk mendirikan unit pemerintahan sendiri (sebagai negara, provisi, kabupaten dan kota yang terpecah dari yuridiksi lama), sedikit banyak diwarnai oleh manipulasi dan eksploitasi keinginan untuk memiliki identitas budaya. Di sejumlah daerah dibentuk dewan adat sebagai kedok untuk mendapatkan, atau mempertahankan akses sejumlah elit untuk mendominasi jabatan politis di daerahnya. Agenda publik yang bisa ditarik dari konteks ini adalah menciptakan dan menyebarluaskan keprihatinan terhadap penyalahgunaan identitas budaya.

Keenam, artikulasi kepentingan oleh partai-partai politik di Indonesia masih jauh dari tuntas. Baik masyarakat maupun partai politik masih belum semuanya "terbiasa" untuk memperjuangkan agenda publik melalui, atau memberi kepercayaan untuk menggunakan saluran-saluran resmi: partai-partai politik maupun DPR/DPRD. Dalam rangka itu, agenda publik bisa dilacak dan diserap melalui institusi-institusi informal yang hidup dalam masyarakat. Aspirasi masyarakat, di satu sisi bisa diserap melalui tokoh-tokoh kunci dalam lembaga-lembaga sosial tersebut, namun di sisi lain juga mudah dimanipulasi melalui mereka. Sehubungan dengan hal itu, maka kapasitas DPRD untuk melakukan agenda setting justru harus ditopang dengan memfasilitasi dan memberikan ruang yang seluas bagi pencurahan keluh kesah masyarakat, bahkan pencurahan protes sekiranya diperlukan. Berhubung peluang yang luas ini telah dipergunakan oleh masyarakat, mereka juga perlu dibekali dengan kesediaan untuk patuh pada aturan main, agar swadaya politik mereka tidak berubah menjadi kebrutalan yang kontra-produktif.

Ketuju, secara teknis, proses penetapan agenda publik bisa disajikan secara sistematis sebagai suatu siklus yang mengkaitkan empat tipe masalah:
a. Meta masalah
b. Masalah substantif
c. Masalah formal
d. Situasi masalah.
Setiap kali mengkaitkan satu tipe masalah dengan tipe masalah lainnya dilakukan suatu proses perumusan masalah. Proses-proses tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Masalah substantif didapatkan dari proses pendefinian masalah dalam kategori meta masalah. Untuk bisa disajikan secara formal sebagai masalah formal, masalah-masalah substantif harus dicerna melalui proses spesifikasi masalah. Rumusan masalah dalam corak yang formal ini perlu dikaitkan dengan siatuasi masalah di lapangan, melalui proses pengenalan masalah. Dalam rangka mencari akar permasalahan yang hakiki, situasi masalah ini perlu difahami dengan menghayati meta masalah. Hal itu dilakukan melalui proses pencarian masalah (baru) atau pendefinisial masalah (lama). Rangkaian proses-proses tersebut di atas bisa disajikan dalam Grafik 1.
Kedelapan, ada sejumlah metode yang bisa dipakai dalam melakukan perumusan masalah untuk menopang agenda setting. Metode ini banyak di bahas dalam literatur analisis kebijakan publik. Menurut Dunn, metode-metode ini antara lain adalah:
a. Analisis batas
b. Analisis klasifikasi
c. Analisis hierarkhi
d. Sinektika (synectics)
e. Brainstorming
f. Analisis perspektif berganda
g. Analisis asumsi
h. Pemetaan argumentasi.

Pengembangan Kemitraan

Peran perwakilan rakyat yang diemban oleh DPRD bisa dimaknai sebagai peran keperantaraan. DPRD bukan hanya menjadi perantara yang menjembatani pemerintah (eksekutif) dengan rakyatnya, namun juga menjembatani ketegangan dari berbagai segmen dalam masyarakat yang saling memperjuangkan kepentingannya. Pintu masuk bagi seseorang untuk menjadi anggota dewan adalah afiliasi terhadap partai-partai (dan kekuatan-kekuatan) politik. Keragaman latar belakang afiliasi kepartaian diasumsikan mewakili keanekaragaman kepentingan dalam masyarakat. Yang perlu diketengahkan dalam hal ini adalah, pada saat aktifis partai politik tersebut terserap menjadi anggota DPRD, maka statusnya berubah menjadi wakil rakyat dari golongan manapun.

Terserapnya pejuang-pejuang kepentingan partai politik ke dalam lembaga perwakilan rakyat ini, secara normatif, harus dimaknai sebagai mekanisme penyerapan konflik-konflik yang berkecamuk di masyarakat agar dapat dipecahkan secara politik melalui peran keperantaraan anggota-anggota DPRD. Dalam kaitan ini, bergejolaknya protes-protes dalam masyarakat, apalagi protes tersebut di alamatkan ke DPRD dan protes tersebut disertai dengan tindakan-tindakan brutal, merupakan indikasi belum baiknya kualitas pelembagaan perwakilan rakyat.

Dalam satu lokalitas hanya ada satu DPRD. Artinya, pengelolaan konflik yang dilakukan DPRD bukan hanya dimaksudkan untuk mengatasi persoalan yang berkecamuk di dalam lokalitas yang bersangkutan, namun juga dimaksudkan sebagai satu-satunya lembaga perwakilan yang bertanggung jawab untuk menjamin pengelolaan konflik sambil memelihara intrasi politik dalam komunitas tersebut. Jelasnya, dalam menjalankan fungsi perwakilan, tersembunyi juga fungsi intregratif. Konflik yang terjadi ingin dikelola sebagai energi untuk menggerakkan dinamika sosial dan politik yang terjadi.
Belakangan ini populer jargon 'kemitraan'. Jargon ini, nampaknya memiliki kaitan erat dengan peran pengelolaan konflik dan pemeriharaan integrasi sosial. Namun demikian, wacana 'kemitraan' ini sebetulnya berpangkal dari keperluan untuk pengerahan potensi dalam pengelolaan kepentingan publik. Hal ini berlaku baik dalam kancah ekonomis maupun politis. Ceritanya, negara sebagai agen pengelolaan kepentingan publik biasanya memiliki keterbatasan suberdaya. Dalam kaitan ini 'kemitraan' dimaknai sebagai cara untuk, di satu fihak mencari tambahan resourses untuk mencukupi kebutuhan dalam pengelolaan kepentingan publik, di fihak lain memberi peluang pada kalangan swasta untuk melakukan upaya menggali keuntungan (profit making) di arena publik. Secara politis, kemitraan adalah pemberian 'ruang' bagi aktor politik non-negara untuk terlibat dalam pengelolaan kepentingan publik.

Konsep kemitraan mengisyaratkan bahwa pengelolaan pengelolaan kepentingan publik, tidak harus menjadi monopoli negara. Sebaliknya, kecenderungan yang terjadi selama ini, pengelolaan kepentingan publik sulit mempertahankan efisiensi. Orientasi 'mengejar keuntungan' dalam pengelolaan kepentingan publik diharapkan akan menekan kecenderungan inefisiensi. Yang menjadi tantangan adalah, menciptakan mekanisme yang memungkinkan orientasi untuk mengejar keuntungan ini tidak mengurbankan kepentingan publik itu sendiri. Untuk itu, maka kemitraan mensyaratkan: (1) tegaknya, bukan ketatnya, regulasi yang fair, (2) kecermatan agar kemitraan yang terjalin bisa dipertanggungjawabkan secara moral (bukan secara administratif) terbebas dari unsur KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme).

Secara politis, kemitraan berarti pendayagunaan kekuatan politik non-negara untuk menyangga keterbatasan negara. Rakyat tidak hanya merupakan sumberdaya ekonomi (tenaga kerja) namun juga sumberdaya politik. Lebih dari itu, konsep kemitraan juga menggaris bawahi bahwa antara pemerintah dengan yang diperintah tidak semestinya terjadi hubungan atasan dan bawahan. Justru aktualisasi sumberdaya politik oleh rakyat, bernilai positif bagi penyehatan sistem politik yang bersangkutan.

Kemitraan antara organ pemerintah dengan masyarakat memungkinkan terjalinnya hubungan yang kurang jenuh dengan pertentangan, namun bukan berarti bahwa tidak memberi ruang bagi terjalinnya konflik. Kedekatan antara pemerintah dengan aktor-aktor kunci dalam masyarakat perlu ada batasnya, dan konflik yang terjadi bisa dimaknai sebagai upaya untuk menjadikan konflik sebagai sesuatu yang bermakna positif. Hal ini paralel dengan diijinkannya swasta untuk ambil bagian dalam mengelola sektor publik. Persoalannya, pertama, bagaimana agar kedekatan yang terjalin tidak berubah menjadi konspirasi untuk memeras sektor publik. Kedua, bagaimana mencari sinergi antara swasta atau masyarakat di satu fihak dengan pemerintah di fihak lain.

Upaya DPRD mengemban peran perwakilan rakyat bisa ditempuh melalui kemitraan dengan aktor-aktor politik yang ada dalam masyarakat: tokoh-tokoh masyarakat, LSM dan sebagainya. Dalam realita pengambilan kebijakan, di negara yang demokratis sekalipun, selalu terjadi pelibatan aktor-aktor non pemerintah. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana masing-masing pihak mengambil perannya dan masing-masing memberikan kontribusi positif lebih dari total perolehan masing-masing kalau dijumlahkan.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Disampaikan dalam Workshop DPRD Kabupaten Lombok Tengah, di selenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 9-10 Oktober 2000.
+ Staf pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1Chan Heng Chee, "Legislature and Legislators", dalam Government and Politics of Singapore.

Optimalisasi Fungsi DPRD: Penetapan Agenda dan Pengembangan Kemitraanv

Tidak ada komentar:

Posting Komentar