Selasa, 08 Desember 2009

Pemilu 2009: Akhir Masa Transisi?

Pemilu 2009: Akhir Masa Transisi?

Oleh : Asra Virgianita, M.A.


Izin


Cetak

"You can have election without democracy, but you can not have democracy without election"

Pada tahun 2009 bangsa Indonesia akan kembali melaksanakan pemilu demokratis setelah jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Pada zaman Orde Baru, pemilu juga dilaksanakan secara rutin setiap lima tahun, sebagai pengejawantahan Demokrasi Pancasila, yang sesungguhnya merupakan sebuah demokrasi semu yang diciptakan sebagai cara melegitimasi kekuasaan permerintahan Order Baru. Indonesia telah kembali masuk ke dalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan Soeharto jatuh. Pemilu demokratis pertama dan kedua terselenggara pada tahun 1999 dan 2004. Kedua pemilu tersebut dinilai sebagai pemilu yang cukup berhasil untuk mengantar bangsa Indonesia menuju negara demokratis yang sesungguhnya. Kini pemilu demokratis yang ketiga akan dilaksanakan pada tahun 2009. Tentunya momentum ini perlu kita sambut dengan suka cita, berharap pemerintahan yang terpilih nantinya bisa menggiring kita lebih dekat ke sistem demokrasi yang lebih mapan, tidak hanya kemapanan dalam bidang politik, tetapi juga di bidang sosial dan ekonomi.

Secara teori, ada tiga tahap yang harus dilalui dalam proses demokratisasi suatu negara, yaitu tahap liberalisasi, transisi, dan konsolidasi (Schmidtz & Sell: 1999). Tahap liberalisasi telah kita lalui, yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Saat ini kita sedang berada dan bergelut dalam masa transisi, masa yang paling penting untuk menentukan langkah ke depan reformasi di negara kita. Tak mudah memang melalui masa transisi ini, mengingat banyak sekali pekerjaan rumah yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, yang menuntut apa yang disebut dengan “democratization cost" yang tidak sedikit. Biaya ekonomi dan sosial yang tidak sedikit harus menjadi pendorong suksesnya bangsa kita melalui masa transisi ini. Kegagalan melalui masa transisi ini, akan menjadikan biaya yang sudah dikeluarkan menjadi sia-sia dan semakin menuntut cost yang besar. Bila hal ini terjadi, dikhawatirkan akan berdampak pada keapatisan masyarakat terhadap keberlangsungan proses demokratisasi di negara kita.

Ironisnya, kita sadari atau tidak, indikasi gerak mundur masa transisi ini dapat terbaca dari beberapa perkembangan akhir-akhir ini. Munculnya suara-suara yang mengusulkan digunakannya kembali sistem bipartai, karena sistem multipartai dianggap tidak memberikan dampak signifikan, menjadi salah satu indikasi tersebut. Terlepas dari motif apapun di balik berdirinya suatu partai, rasanya kita perlu memberikan sambutan positif terhadap antusiasme masyarakat tersebut. Sistem multipartai saat ini masih menjadi pilihan terbaik setelah trauma yang mendalam dari sistem bipartai yang pernah kita jalani selama 32 tahun.

Revisi UU Pemilu Legislatif 2009 juga dinilai sebagian kalangan sebagai langkah mundur karena revisi tersebut dinilai tidak membawa perubahan yang berarti. Sebaliknya, disinyalir bahwa revisi UU itu dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk menjaga peluang mendapatkan kursi baik tingkat pusat maupun daerah. Apa yang kita harapkan dari Pemilu 2009 jika kepentingan partai atau individu masih menjadi nomor satu, dan meletakkan kepentingan bangsa pada nomor kesekian? Fenomena masih dijadikannya politik sebagai alat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan kekuasaan masih banyak terjadi. Terkuaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan, kasus BLBI, dan kasus korupsi di tubuh KPU menambah suramnya masa transisi ini. KPU, sebagai lembaga pelaksana pemilu yang diharapkan bisa menggiring Indonesia menjalankan pemilu yang jujur dan adil (jurdil) seharusnya menjadi lembaga yang bersih dari praktik-praktik menyimpang. Pemilu 2009 seharusnya menjadi momentum bagi KPU untuk membuktikan bahwa tidak akan ada lagi kasus korupsi di tubuh KPU yang terkuak setelah pelaksanaan pemilu. Bukan berarti tidak terkuak karena tertutup rapat oleh karpet merah, akan tetapi karena benar- benar bersih dan transparan.

Lebih jauh, Pemilu 2009 seharusnya menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia untuk bisa segera meninggalkan masa transisi ini dan segera memasuki tahap konsolidasi. Tapi akankah Pemilu 2009 mampu mengantarkan kita mengakhiri masa transisi ini dan menuju ke pintu masuk tahap konsolidasi? Berdasarkan kondisi yang ada saat ini rasanya tidak salah jika saya katakan bahwa peluang tersebut masih kecil. Pengalaman negara-negara yang telah lebih dulu melalui proses demokratisasi seperti Filipina dan negara-negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa panjangnya masa transisi di suatu negara sangat bervariasi, tergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakatnya mempersiapkan kebutuhan "software" dan "hardware" untuk memasuki tahap konsolidasi. Masih lemahnya civil society dalam tatanan sistem politik kita juga menjadi salah satu dari sekian banyak batu kerikil yang menghalangi jalannya demokratisasi di negara kita. Hal ini bukan berarti memupuskan harapan terhadap proses transisi yang sedang berjalan. Sebaliknya, partisipasi kita untuk aktif mengawal proses transisi ini semakin dituntut. Mari kita jaga proses demokratisasi yang sedang berjalan saat ini agar tidak bergerak mundur atau hanya berjalan di tempat. Jika tidak, negara kita akan menjadi failed state yang akan kehilangan sendi-sendi penting bagi berdirinya sebuah negara yang demokratis dan kuat. Bersikap kritis, tidak apatis, dan menggunakan hak pilih dengan cermat, merupakan contoh pilihan dari sekian banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga proses demokrasi ini tetap berlangsung. Dengan demikian, jelas bahwa jawaban atas pertanyaan tentang kapankah bangsa Indonesia akan melewati masa transisi dan sampai pada tahap konsolidasi, sesungguhnya berada di tangan saya dan Anda.

Daftar Pustaka

Hans Peter Schmitz and Katrin Sell. (1999). "International Factors in Process of Political Democratization" in Jean Grugel (ed.). Democracy without Borders: Transnationalization and Conditionality in New Democracies, London & New York: Routledge/ECPR Studies in European Political Science.

Jakarta (SIB)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) meluncurkan wacana kontroversial tentang sistem penetapan calon anggota legislatif. KPU akan membuat aturan yang berlawanan dengan sistem suara terbanyak yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
KPU berpotensi melanggar Undang-Undang Pemilu. Peraturan baru tentang penetapan calon legislatif (caleg) terpilih yang akan dibuat KPU mereduksi mekanisme suara terbanyak.
Demikian kesimpulan wawancara Koran Jakarta dengan ahli hukum tata negara dari Unhas, Irman Putra Sidin, dan peneliti politik dari LIPI, Lili Romli, di Jakarta, Kamis (15/1).
Mereka menanggapi rencana KPU yang akan membuat ketentuan baru tentang penetapan calon legislator terpilih. Ketentuan tersebut ialah partai yang berhasil meloloskan tiga calegnya ke Senayan, bila yang lolos itu semuanya laki-laki, untuk calon terpilih di urutan tiga akan diganti dengan caleg perempuan. Tujuannya untuk mengakomodasi keterwakilan perempuan.
Irman Putra Sidin menilai rencana KPU itu jelas melanggar konstitusi karena dengan tegas MK telah memutuskan menggunakan mekanisme suara terbanyak. “Pokoknya apakah yang lolos itu perempuan dan laki-laki, yang dipegang adalah suara terbanyak”, cetus Irman.
RAWAN GUGATAN
Menurut Lili Romli, rencana KPU itu akan mereduksi mekanisme suara terbanyak. Tapi sebagai sebuah terobosan, tentu harus diapresiasi dengan kritis.
“Apakah itu menyalahi aturan atau tidak, perlu dikaji lebih jauh oleh KPU. Aturan yang akan dibuat KPU itu rawan konflik. Caleg yang diganti pasti tidak akan puas dengan ketentuan itu”, kata Lili.
Lili mengakui, dengan suara terbanyak affirmative action, politik perempuan menjadi terhambat. Sistem zipper (dari tiga caleg harus ada satu perempuan) menjadi tidak bermakna. Aturan yang akan dibuat KPU itu bisa dilakukan kalau partai setuju.
“Partai perlu membahas masalah ini dengan para calegnya, apakah menerima pola tersebut atau tidak. Karena jelas itu rawan dan memicu gugatan”, ujar Lili.
Pendapat senada juga diungkapkan mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan. Menurut Ferry, mekanisme yang akan dibuat KPU itu tidak bisa dilaksanakan. Affirmative policy dalam UU itu hanya dalam hal penyusunan daftar calon, yakni dengan meletakkan satu calon perempuan dalam setiap tiga calon.
“Jadi, pada domain pencalonan saja, bukan pada penentuan calon terpilihnya. Dan jika dalam penentuan calon terpilih harus berdasarkan UU, tidak bisa KPU membuat pengaturan sendiri di luar UU”, ujar Ferry.
PERLU TEROBOSAN
Anggota KPU Andi Nurpati, di Jakarta, Kamis (15/1), mengatakan tujuan dari aturan baru KPU itu untuk mengakomodasi keterwakilan perempuan yang makin terdesak dengan diberlakukannya suara terbanyak.
“Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak selanjutnya diatur dengan Peraturan KPU. Kita akan mewacanakan tentang affirmative action politik perempuan. Bila ada partai yang mendapat tiga kursi dan semuanya laki-laki, kalau calon terpilih ketiga bukan perempuan, peraih suara terbanyak perempuan yang ditetapkan sebagai caleg terpilih, kata Andi Nurpati.
Andi mengingatkan, dengan suara terbanyak, perjuangan politik perempuan yang tadi diberi peluang lewat sistem zipper, kini mendapat hambatan. KPU menilai perlu ada sebuah terobosan untuk itu.
Menurut Andi, putusan Mahkamah Konstitusi terkait suara terbanyak tidak secara otomatis menggugurkan pasal dalam UU Pemilu yang mengatur sistem zipper. Dalam sistem itu, di antara tiga calon, harus ada salah satu caleg perempuan. “Tapi ini masih wacana. Saya akan usulkan dalam rapat pleno”, papar Andi.
Anggota KPU lainnya, Endang Sulastri, mengatakan dalam rapat membahas suara terbanyak, seluruh komisioner sepakat untuk mengaji ketentuan tiga calon terpilih. Salah satunya harus perempuan. “Semua komisioner telah sepakat tentang itu”, kata Endang. (KJ/c)

This entry was posted on Senin, Januari 19th, 2009 at 12:26 pm and is filed under Berita Utama. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

Oleh: Zulkifli
Pekerja Media di Kuala Kapuas

Sejak MUI mengeluarkan Fatwa Haram Golput, terjadi pendapat pro dan kontra dalam masyarakat terutama muslim. Tetapi ada juga golongan masyarakat yang tidak peduli, bahkan tidak mengetahui tentang fatwa itu. Disatu sisi negara kita adalah sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak dan kebebasan memilih dan berpolitik, memilih adalah hak dan golput pun adalah hak setiap warga negara. Di sisi lain wakil rakyat dan pemimpin yang akan dipilih adalah kebutuhan, Mereka menjadi penentu arah dan kebijakan kemana bangsa ini akan dibawa.

Kekawatiran akan banyaknya pemilih golput pada pemilu akan datang, adalah salah satu alasan keluarnya Fatwa Haram Golput.

Demokrasi di negeri ini adalah demokrasi yang sedang tumbuh dalam pembelajaran dan penyempurnaan. Bukan tidak beralasan masyarakat yang memilih untuk golput. Sekarang terjadi krisis kepercayaan dari sebagian besar masyarakat terhadap wakil rakyat dan pemimpin, karena selama ini hanya sebagian kecil aspirasi masyarakat yang terserap. Masyarakat juga bosan pada janji muluk yang tidak kunjung terpenuhi, dan bingung karena banyaknya parpol peserta pemilu serta calon pemimpin/wakil rakyat yang ditawarkan. Ditambah, impitan ekonomi yang dialami masyarakat.

Tetapi dengan munculnya Fatwa Haram Golput, kita ambil kebaikan dan sisi positifnya. Sikapi hal itu dengan bijaksana. Pro dan kontra atas Fatwa Haram Golput jangan menjadi jurang yang menyebabkan efek negatif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bagaimana pun berbeda pendapat adalah wajar selama dalam konteks kebaikan dan niat tulus serta memberi manfaat. Tetap menghargai dan menghormati perbedaan pendapat orang lain adalah bijaksana.

Terbuka Lebar Peluang Perempuan Jadi Anggota Legislatif




Written by Daniel

Thursday, 7 Aug 2008

50 Kursi DPRD Siap untuk Diperebutkan

SURABAYA - Peluang perempuan untuk menjadi anggota legislatif pada pemilihan legislatif (Pileg) 2009, terbuka lebar. Pasalnya, dalam pencalonan anggota legislatif yang diajukan partai politik, setiap 3 nama harus ada 1 perempuan.

Eko Sasmito Pokja Pemilihan Calon Legislatif (Caleg) KPU Kota Surabaya, Rabu (06/08), mengatakan, sesuai UU Pemilu, keterwakilan perempuan tetap mendapat prosentase 30%. Namun ini berbeda dengan aturan sebelumnya, dimana prosentase 30% ditekankan pada setiap pengajuan 3 nama dimana 1 diantaranya harus perempuan.

Dalam Pemilu 2004 lalu, prosentase 30% hanya mengacu pada jumlah dari total calon. Akibatnya, calon perempuan biasanya mendapat nomor urut buncit alias terakhir. Kalau sekarang tidak, karena setiap 3 nama sesuai urutan harus perempuan,”ungkap Eko.

Menurut Eko, selain perubahan komposisi keterwakilan perempuan dalam mekanisme Pileg 2009 ini juga ada beberapa perubahan sistem. Ia mencontohkan di Surabaya, dari jumlah kursi yang semula 45 saat ini menjadi 50 kursi dengan peserta Pileg sebanyak 34 partai politik.

Dengan pertambahan kursi, otomatis setiap daerah pemilihan (Dapil) bertambah 1 kursi. “Dengan banyaknya partai, KPU harus lebih teliti kerjanya dan kerja keras untuk sosialisasi saat penyoblosan. Pasalnya, di Pileg 2009 mendatang, pemilih tidak lagi menyoblos tapi memberi cawang pada calon legislatif yang dipilih atau partainya. Ini berbeda dengan sebelumnya, kalau dulu coblos orang dan coblos partainya,”papar EKO.

Begitu pula soal peran dari nomor urut calon anggota legislatif. Ketentuan nomor urut bisa disikapi dengan 30% suara bilangan pembagi pemilihan (BPP). Kalau Pemilu 2004, BPP 100%.

Khusus untuk formulir pendaftaran, sesuai peraturan No.18 tahun 2008 peraturan KPU, KPU Kota Surabaya hanya memberikan soft copy formulir sebanyak 5 rangkap untuk masing-masing partai.

Jadi formulir pendaftaran bisa di-copy atau download di internet. Setelah itu formulir pendaftaran dikembalikan ke KPU hingga 19 Agustus 2008,” pungkasnya.

50 Kursi DPRD Siap untuk Diperebutkan

Eko Waluyo Ketua KPU Kota Surabaya juga menambahkan, sebanyak 50 kursi DPRD Surabaya akan diperebutkan 2.000 lebih calon anggota Legislatif dari 34 Partai Politik (Parpol). Untuk Surabaya dengan jumlah penduduk 2, 7 juta orang dari 5 daerah pemilihan.

Di Surabaya dengan 5 daerah pemilihan diantaranya Surabaya satu meliputi Kecamatan Gubeng, Genteng, Simokerto, Bubutan, Krembangan, dan Tegalsari ada 11 kursi.

Sedangkan daerah pemilihan Surabaya dua meliputi Kecamatan Tambaksari, Kenjeran, Bulak, Semampir, dan Pabean Cantikan punya 11 kursi.

Daerah Surabaya tiga meliputi Kecamatan Tenggilis Mejoyo, Gunung Anyar, Rungkut, Sukolilo dan Mulyorejo ada 8 kursi.

Serta daerah pemilihan Surabaya empat meliputi Jambangan, Gayungan, Wonocolo, Wonokromo, Dukuh Pakis, Wiyung, dan Sawahan dengan 11 kursi.

Dan daerah pemilihan Surabaya lima meliputi Karang Pilang, Lakar Santri, Sambikerep, Tandes, Sukomanunggal, Asemrowo, Benowo dan Pakal punya 9 kursi.

Eko menambahkan setiap Parpol berhak mencalonkan 120 persen dari jumlah kursi yang ada, kalau 34 Parpol memenuhi pencalonan ini artinya akan ada 2 ribu lebih calon yang memperebutkan 50 kursi di DPRD Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar