Selasa, 08 Desember 2009

PERDA No.8 Tahun 2007 tentangKETERTIBAN UMUM bertentangan dengan KONSTITUSI

PERDA No.8 Tahun 2007 bertentangan dengan KONSTITUSI

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 10 September 2007 telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda ini adalah pengganti dari Perda No.11 tahun 1988 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan DKI Jakarta saat ini. Proses perancangan Perda 8/2007 ini dilakukan tanpa disertai kajian akademis dan tidak melalui konsultasi publik. Selain proses pembuatan yang menyalahi prosedur sebagaimana diatur oleh UU, isi dari Perda tersebut banyak yang melanggar UUD 1945, Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya dan mengingkari asas kemanusiaan. Padahal, dalam UU 10 tahun 2004 diamanatkan bahwa peraturan perundangan yang dibuat, isinya harus sesuai dengan asas kemanusiaan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 10 September 2007 telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda ini adalah pengganti dari Perda No.11 tahun 1988 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan DKI Jakarta saat ini. Proses perancangan Perda 8/2007 ini dilakukan tanpa disertai kajian akademis dan tidak melalui konsultasi publik. Selain proses pembuatan yang menyalahi prosedur sebagaimana diatur oleh UU, isi dari Perda tersebut banyak yang melanggar UUD 1945, Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya dan mengingkari asas kemanusiaan. Padahal, dalam UU 10 tahun 2004 diamanatkan bahwa peraturan perundangan yang dibuat, isinya harus sesuai dengan asas kemanusiaan :

(1) Materi Muatan Peraturan perundang-undangan mengandung asas:

b. Kemanusiaan

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b:

Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

Kajian Terhadap masing-masing bab dan pasal.

  1. Konsideran Perda

Konsideran Perda 8/2007 tidak mencantumkan UUD 1945 sebagai sumber hukum yang tertinggi. Selain itu juga tidak mencantumkan UU yang menjamin hak-hak asasi manusia. Sementara yang akan diatur dalam Perda tersebut berkaitan dengan hak-hak sipil warga negara. Akibatnya banyak pasal yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan Hak asasi manusia. Padahal menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI Peraturan Daerah (Perda) tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya, dan UU No.10 Tahun 2004 Pasal 3 :

(1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

  1. Bab I tentang Ketentuan Umum

a. Pengertian Ketertiban Umum sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 5, dan 6 yaitu :

(5). Ketertiban Umum adalah suatu keadaan dimana Pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib dan teratur.

(6). Ketentraman masyarakat adalah suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tenteram dan nyaman.

Kami sepakat dengan pengertian tersebut di atas, akan tetapi setelah kami teliti secara seksama seluruh isi Perda tersebut tidak ada satu pasal pun yang menjamin rakyat miskin dapat melakukan kegiatan yang nyaman untuk mempertahankan hidupnya seperti yang diamanatkan dalam Konstitusi maupun UU HAM dan Ekosob. Yang ada adalah larangan dan ancaman terhadap rakyat miskin dalam mempertahankan hidupnya. Apabila isi Perda seperti tersebut diatas, maka pertanyaannya adalah siapa yang dimaksud dengan ‘rakyat” dalam perda ini?. Dengan jelas disebutkan dalam pasal-per pasal bagaimana menghabisi orang miskin di Jakarta, yang merupakan bagian dari Rakyat itu sendiri.

Kalau seperti ini jelas bahwa yang dimaksud rakyat dalam perda ini adalah “hanya orang-orang yang punya modal” dan diberikan fasilitas , peluang yang besar bagi mereka untuk berkembang.

b. Keadaan darurat, Perda ini mengartikan keadaan darurat seperti :

(20) Keadaan darurat adalah suatu keadaan yang menyebabkan baik orang maupun badan dapat melakukan tindakan tanpa meminta izin kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan, pananganan dan penyelamatan atas bahaya yang mengancam jiwa manusia.

Pengertian keadaan darurat seperti tersebut di atas adalah sangat tidak jelas, serta dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh para penguasa terutama aparat Satpol PP dalam melakukan tindakan represif terhadap rakyat miskin yang dianggap melanggar ketertiban. Pengertian ini juga dengan jelas menempatkan rakyat miskin sebagai perusuh yang harus dihilangkan dari Jakarta dengan segala macam cara.

c. Isi Perda lebih banyak mengatur larangan orang miskin dalam melakukan usahanya untuk mempertahankan hidupnya.

Ada 20 jenis pekerjaan yang dilarang, antara lain:

1. Joki 3 in 1

2. Pak Ogah/polisi cepak

3. Tukang Parkir “tidak resmi”

4. Pengamen

5. Tukang Pijat Tradisional

6. Pengobat Tradisional

7. Pekerja seks

8. Sopir bajai

9. Sopir bemo

10. Tukang ojek

11. Pedagang asongan

12. Pengelap mobil

13. Pedagang Kaki Lima

14. Pemulung

15. Lapak Pemulung

16. Perakit becak

17. Pengayuh Becak

18. Perakit bemo

19. Calo karcis

20. Pengemis

Dengan pelarangan ini, maka orang miskin akan menjadi lebih miskin padahal mereka berusaha melakukan kegiatan/pekerjaan untuk mempertahankan hidupnya secara mandiri tanpa tergantung pada negara. Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi negara melindungi mereka.

d. Larangan memanfaatkan ruang publik baik untuk tempat tinggal maupun usaha:

1. memanfaatkan ruang terbuka dibawah jembatan layang atau jalan layang,

2. larangan bertempat tinggal dan berusaha dibantaran kali, sungai, danau, setu,

3. larangan bertampat tinggal dibawah jalan layang rel kereta api, jembatan tol, jalur hijau, taman, tempay umum

4. larangan berdagang di jalan/trotoar, halte, jembatan penyebarangan dan tempat umum, pinggir rel, jalur hijau, taman, tempat umum.

Larangan-larangan di atas, menunjukan bahwa Jakarta hanya untuk orang kaya, dan bukan untuk semua. Masalah utamanya adalah tata ruang. Terjadi ketidak adilan dalam menggunakan ruang yang ada di Jakarta. Kelompok tertentu dengan mudah akan mendapatkan fasilitas memanfaatkan ruang ada (misalnya jalur hijau menjadi Hotel, Apartemen, Mall, SPBU, dll) sedangkan orang miskin tidak diakomodir keberadaannya.

e. Larangan penggunaan Sumber Daya Alam. Penggunaan Sumber Daya Alam untuk kesejahteraan rakyat. Larangan penggunaan SDA (air sungai, air tanah, dll), sangat merugikan orang miskin, karena orang miskin dalam menggunakan sumber daya tersebut hanya untuk usaha-usaha kecil mereka – misalnya usaha pembuatan tempe atau makanan kecil lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan fakta di mana permukaan air tanah semakin menurun akibat “penyerapan” air oleh perusahaan-perusahaan yang berada i gedung-gedung besar yang notabene bukan milik rakyat miskin.

f. Larangan berempati dengan orang miskin, antara lain:

1. Larangan memberi uang kepada pengamen

2. Larangan membeli di pedagang asongan atau kaki lima

3. Larangan menggunakan joki

4. Larangan memberi uang kepada pengemis dan lain-lain.

Larangan-larangan memberi maupun menggunakan jasa joki, membeli barang dari pedagang kaki lima atau asongan jelas bertentangan dengan dasar negara yakni Pancasila sila ke 2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka Departemen Dalam Negeri harus menolak Perda No.8/2007 dan memerintahkan kepada Pemda DKI Jakarta untuk membuat Perda Ketertiban Umum yang menjujung tiinggi Hak-hak Asasi Manusia dan tidak menempatkan orang miskin sebagai musuh dan penyebab ketidaktertiban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar