Selasa, 08 Desember 2009

KEWARGANEAGARAAN INDONESIA

KEWARGANEAGARAAN INDONESIA

Penduduk merupakan salah satu syarat pokok bagi terbentuknya negara. Secara lengkap syarat terbentuk negara meliputi :

1. ada wilayah

2. penduduk

3. pemerintah yang berdaulat

4. pengakuan negara lain

Beberapa pengertian mengenai…

1. rakyat : semua orang yang berada dan berdiam dalam suatu negara atau menjadi penghuni negara

yang tunduk pada kekuasaan negara itu

2. penduduk : mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah negara (menetap).

Biasanya penduduk adalah mereka yang lahir secara turun temurun dan besar di dalam suatu

negara tertentu.

3. warga negara : adalah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota negara dan tak terpisahkan

dengan negara tersebut.

Secara jelas hal-hal mengenai kewarganegaraan diatur dalam UUD 45 (amandemen)

pasal 26 (definisi warga negara0

pasal 27 ( kedudukan warga negara )

pasal 28 (hak-hak warga negara)

Mempunyai kejelasan status warga negara bagi seseorang sangat penting agar:

1. agar hak-haknya dilindungi oleh negara

2. hidupnya menjadi aman, tenteram dan dapat berusaha dengan nyaman

3. dll

Asas-Asas Kewarganegaraan

Untuk menentukan kewarganegaraan seseorang ada 3 asas yang harus dipahami :

1. Ius Soli (disebut asas kelahiran)

Asas ini menentukan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau tempat dimana dilahirkan

Dianut oleh inggris, Mesir, Amerika dll

2. Ius Sanguinis (asas keturunan)

asas ini yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut darah dan keturunan dari orangtua

yang bersangkutan. Dianut oleh RRC.

3. Naturalisasi (pewarganegaraan)

Orang dapat menjadi warga negara dari suatu negara setelah melakukan langkah-langkah hukum

tertentu. Biasanya dilakukan setelah dewasa.

Adanya perbedaan dalam menentukan kewarganegaraan di suatu negara dapat menimbulkan 2 kemungkinan bagi seseorang yaitu :

1. Apatride (tanpa kewarganegaraan)

2. Bipatride (punya kewarganegaraan ganda)

Dalam menentukan status kewarganegaraan suatu negara, pemerintah lazim menggunakan stelsel aktif dan stelsel pasif. Menurut stelsel aktif orang harus melakukan langkah-langkah hukum tertentu agar diakui kewarganegaraannya, sedang stelsel pasif orang yang berada dalam suatu negara dengan sendirinya dianggap menjadi warga negara tanpa harus melakukan tindakan hukum tertentu.

Berkaitan dengan 2 stelsel di atas, seorang warga negara dalam suatu negara pada dasarnya mempunyai hak opsi dan hak repudiasi.

a. hak opsi adalah hak untuk memilih suatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif)

b. hak repudiasi adalah hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif)

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, masalah kewarganegaraan diatur dalam UU sbb:

1. UU no 3 tahun 1946 (sudah tidak berlaku)

2. KMB 27 Desember 1949 (sudah tidak berlaku)

3. UU no 62 tahun 1958 (sudah tidak berlaku)

4. UU no 3 tahun 1976 (sudah tidak berlaku)

5. UU no 12 tahun 2006 (yang sekarang berlaku)

Menurut UU yang sekarang berlaku (UU no 12 thn 2006) maka asas yang dipakai Indonesia dalam menentukan kewarganegaraan adalah : 1. asas ius soli

2. asas ius sanguinis

3. asas kewarganegaraan tunggal

4. asas kewarganegaraan ganda terbatas (hanya berlaku bagi anak

sampai usia 18 thn)

Keunggulan UUno 12 tahun 2006 dibanding sebelumnya :

a. tidak mengorbankan keepentingan nasional (mis : kewarganegaraan ganda terbatas sampai 18 th)

b. adanya asas perlindungan maksimum (mencegah kasus ketiadaan kewarganegaraan)

c. mengakui asas persamaan dalam hukum

d. non diskriminasi (mis : dicabutnya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia/SBKRI)

Bagaimana Cara orang asing bisa masuk menjadi warga negara Indonesia? Tentunya melalui proses naturalisasi. Ada 2 cara :

1. Naturalisasi biasa

mengajukan permohonan kepada Menteri hukum dan HAM melalui kantor pengadilan negeri setempat

dimana ia tinggal atau di Kedubes RI apabila di luar negeri permohonan ini ditulis dalam bahasa

Indonesia. Bila lulus maka ia harus mengucapkan sumpah setia di hadapan pengadilan negeri.

2. Naturalisasi istimewa

diberikan kepada orang asing yang berjasa kepada negara.

Mengapa seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan Indonesia? karena :

a. kawin dengan laki-laki asing

b. menjadi tentara luar negeri

c. diangkat anak secara syah oleh laki-laki asing

d. mempunyai paspor dari negara asing

Undang-Undang Kewarganegaraan baru bagi anak yang salah satu orang tuanya warga negara asing atau anak dari orang tua WNI yang lahir di luar negeri.

Tata cara pendaftaran bagi anak untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia


Anak yang dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia

  • Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari
    • seorang ayah WNI dan ibu WNA
    • seorang ayah WNA dan ibu WNI
  • Anak yang belum berumur 18 tahun yang lahir di luar perkawinan yang sah dari:
    • Seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak berusia 18 tahun atau belum menikah
    • Seorang ibu WNI yang diakui secara sah oleh seorang ayah WNA
  • Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu WNI
  • Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA




Persyaratan / Dokumen yang diperlukan

  1. Formulir Permohonan Pendaftaran Anak untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
  2. Fotokopi akte kelahiran anak
  3. Pernyataan orang tua / wali anak bahwa anak belum menikah
  4. Fotokopi tanda penduduk atau paspor orang tua / wali anak
  5. Pas foto terbaru anak berukuran 4x6 cm sebanyak 6 lembar
  6. Fotokopi akte perkawinan, perceraian, kematian orang tua / wali anak
  7. Fotokopi penetapan pengadilan tentang pengangkatan anak

Wilayah kerja Konsulat Jenderal Republik Indonesia di New York mancakup negara-negara bagian di bawah. Apabila Anda berada di negara bagian lainnya, silahkan hubungi atau kunjungi Konsulat Jenderal yang mencakup wilayah Anda:

The Consulate General of the Republic of Indonesia in New York covers the states listed below. If you are from a state other than the ones listed below, please contact or visit the Consulate General that covers your area:

  1. Connecticut
  2. Delaware
  3. Massachusetts
  4. Maryland
  5. Maine
  6. North Carolina
  7. New Hampshire
  8. New Jersey
  9. New York
  10. Pennsylvania
  11. Rhode Island
  12. South Carolina
  13. Virginia
  14. Vermont
  15. West Virginia

Manohara Diminta Pilih Status Kewarganegaraan

JAKARTA - Departemen Luar Negeri mendesak agar Manohara Odelia Pinot memilih status kewarganegaraannya. Apakah tetap sebagai WNI atau Warga Negara Amerika Serikat.

Itu apabila informasi yang menyebutkan bahwa Manohara memiliki dua paspor, benar. Sebelumnya kakak Manohara, Dewi Sari Asih, mengaku adiknya memiliki dua kewarganegaraan, yaitu Indonesia dan Amerika Serikat.

Sementara itu, negara Indonesia tidak mengadopsi sistem dwi kewarganegaraan. "Kecuali bagi anak dari pasangan asing," terang Juru Bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada okezone di Jakarta, Rabu (22/4/2009).

Pasangan asing, muncul apabila ada pernikahan secara sah antara warga negara Indonesia dan warga negara asing. "Namun apabila anaknya sudah dewasa, maka dia diharuskan memilih status kewarganegaraannya," ujarnya.J

JAKARTA - Kasus Manohara Odelia Pinot yang diduga diculik dan dianiaya suaminya, Tengku Temenggong Muhammad Fakhry, membuat Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin angkat bicara.

Din yang telah menerima kedatangan ibunda Manohara, Daisy Fajarina, berusaha memberikan solusi. Dia menyarankan dua opsi.

"Jujur kita prihatin dan sedih. Opsi dari saya ada dua, melalui agama dan hukum," papar Din yang ditemui di Jalan Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/4/2009).

Pendekatan agama, dia menjelaskan bahwa dalam agama harus ada damai, musyawarah, kekeluargaan, dan perantara tanpa hukum. Pendekatan secara kekeluargaan ini semacam mediasi dan bisa dilakukan dua hingga lima kali.

"Kalau dilakukan cuma sekali tidak cukup. Harus didukung juga dengan penghentian pemberitaan besar-besaran di media massa," bebernya.

Pendekatan kedua, melalui jalur hukum. Cara ini harus diproses cepat dan kepada pihak berwenang. Dalam hal ini kepolisian, pemerintah, dan Departemen Luar Negeri.

"Semua institusi itu berkaitan karena ini membicarakan dua negara. Harus diselesaikan secara hukum kalau ada WNI menikah dengan orang asing dan mendapat perlakukan tidak baik. Jika terjadi kekerasan, pemerintah wajib melindungi WNI. WNI secara de facto wajib mendapat perlindungan," urainya.

Mengenai jalur hukum ini, Din sudah mengupayakan menelepon kawannya yang berada di Dirjen Departemen Luar Negeri.

"Kata kawan saya itu, Deplu di Kuala Lumpur telah mengirim surat kepada Kesultanan Kelantan untuk diberi akses karena ini sudah bicara wilayah rumah tangga. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban," jelasnya.

Din mengingatkan bahwa dari dua opsi itu harus dipilih salah satu. Tidak bisa dua-duanya dijalankan berbarengan.

"Kalau dipilih yang opsi pertama, masalah hukum harus dihentikan," sarannya. (ang)

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa Manohara Odelia Pinot, warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia oleh suaminya Pangeran Negara Bagian Kelantan, Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry diharapkan tidak mengganggu hubungan Indonesia dan Malaysia.

"Pemberitaan kasus Manohara di berbagai media cetak dan elektronik yang dimunculkan oleh Daisy Fajarina, ibunda Manohara, diharapkan tidak mengganggu hubungan baik masyarakat RI-Malaysia," kata Juru Bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia Musni Umar di Jakarta, Rabu.

Musni menilai kasus tersebut adalah masalah pribadi yang dapat diselesaikan keluarga Manohara dan Fakhry dengan sebaik-baiknya melalui mediator pihak ketiga dari keluarga masing-masing.

"Kasus ini mencuat karena kurang terjalin komunikasi, salah persepsi dan kurang memahami dan menghayati sistem yang berlaku di kedua keluarga," katanya. Sesuai ajaran agama, lanjut dia, kedua belah pihak harus mengutus juru damai (hakim) dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Sebelumnya Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Deplu RI Teguh Wardoyo mengatakan bahwa Deplu telah meminta Kementerian Luar Negeri Malaysia bersikap kooperatif dalam menangani kasus KDRT yang menimpa Manohara Odelia Pinot. Ia mengaku, beberapa hari yang lalu, pihaknya telah berkirim surat kepada Kementerian Luar Negeri Malaysia untuk meminta pertanggungjawaban moral terhadap Fakhry.

Selain itu, pihaknya meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menjalin komunikasi secara aktif dengan pemerintah Malaysia. "Demikian halnya, kami yang di sini juga selalu menjalin komunikasi dengan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta," katanya menambahkan.

Beberapa saat setelah menerima laporan dari pihak keluarga Manohara, Deplu sudah meminta Fakhry untuk melaporkan kondisi Manohara di KBRI Kuala Lumpur atau KJRI Penang. Tujuan pelaporan itu, lanjut dia, agar pihak keluarga Manohara bisa tenang dan tidak mengundang sentimen berlebihan terhadap pemerintah Malaysia.

Pemerintah Indonesia tidak bisa langsung mengatasi persoalan tersebut, lantaran sampai saat ini Manohara masih menjadi istri sah Fakhry. "Sangat tidak mungkin, kami langsung melakukan penjemputan. Kasus Manohara ini berbeda dengan kasus yang dialami para TKI dengan majikan," katanya menjelaskan.

Sementara itu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menilai kasus Manohara-yang dinikahkan ketika masih di bawah umur-tak lepas dari kesalahan orangtua. "Orangtua sudah seharusnya menjaga anaknya, kalau di bawah umur jangan (dinikahkan), apalagi mereka kan bukan dari desa, tapi orang terpelajar," kata Meutia

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa Manohara Odelia Pinot, warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia oleh suaminya Pangeran Negara Bagian Kelantan, Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry diharapkan tidak mengganggu hubungan Indonesia dan Malaysia.

"Pemberitaan kasus Manohara di berbagai media cetak dan elektronik yang dimunculkan oleh Daisy Fajarina, ibunda Manohara, diharapkan tidak mengganggu hubungan baik masyarakat RI-Malaysia," kata Juru Bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia Musni Umar di Jakarta, Rabu.

Musni menilai kasus tersebut adalah masalah pribadi yang dapat diselesaikan keluarga Manohara dan Fakhry dengan sebaik-baiknya melalui mediator pihak ketiga dari keluarga masing-masing.

"Kasus ini mencuat karena kurang terjalin komunikasi, salah persepsi dan kurang memahami dan menghayati sistem yang berlaku di kedua keluarga," katanya. Sesuai ajaran agama, lanjut dia, kedua belah pihak harus mengutus juru damai (hakim) dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Sebelumnya Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Deplu RI Teguh Wardoyo mengatakan bahwa Deplu telah meminta Kementerian Luar Negeri Malaysia bersikap kooperatif dalam menangani kasus KDRT yang menimpa Manohara Odelia Pinot. Ia mengaku, beberapa hari yang lalu, pihaknya telah berkirim surat kepada Kementerian Luar Negeri Malaysia untuk meminta pertanggungjawaban moral terhadap Fakhry.

Selain itu, pihaknya meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menjalin komunikasi secara aktif dengan pemerintah Malaysia. "Demikian halnya, kami yang di sini juga selalu menjalin komunikasi dengan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta," katanya menambahkan.

Beberapa saat setelah menerima laporan dari pihak keluarga Manohara, Deplu sudah meminta Fakhry untuk melaporkan kondisi Manohara di KBRI Kuala Lumpur atau KJRI Penang. Tujuan pelaporan itu, lanjut dia, agar pihak keluarga Manohara bisa tenang dan tidak mengundang sentimen berlebihan terhadap pemerintah Malaysia.

Pemerintah Indonesia tidak bisa langsung mengatasi persoalan tersebut, lantaran sampai saat ini Manohara masih menjadi istri sah Fakhry. "Sangat tidak mungkin, kami langsung melakukan penjemputan. Kasus Manohara ini berbeda dengan kasus yang dialami para TKI dengan majikan," katanya menjelaskan.

Sementara itu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menilai kasus Manohara-yang dinikahkan ketika masih di bawah umur-tak lepas dari kesalahan orangtua. "Orangtua sudah seharusnya menjaga anaknya, kalau di bawah umur jangan (dinikahkan), apalagi mereka kan bukan dari desa, tapi orang terpelajar," kata Meutia

KIRIM EMAIL KE TEMAN

Informasikan ke teman-teman Anda mengenai berita di bawah melalui email.

Nama Anda

Alamat Email Anda

Kirim Ke

Nama

Email



kirim copy ke email saya



KOMENTAR PEMBACA

Berikan komentar Anda untuk berita di bawah.
Komentar akan ditampilkan di halaman ini, diharapkan sopan dan bertanggung jawab.

Nama Anda

:

Email Anda

:

Komentar

:

KapanLagi.com berhak menghapus komentar yang tidak layak ditampilkan

KOMENTAR FANS Manohara Odelia Pinot

Anda fans Manohara Odelia Pinot? Berikan komentar Anda. Komentar akan ditampilkan di halaman biografi Manohara Odelia Pinot, diharapkan sopan dan bertanggung jawab.

Nama Anda

:

Email Anda

:

Pesan

:

KapanLagi.com berhak menghapus komentar yang tidak layak ditampilkan

NEWSLETTER KAPANLAGI.COM

Dapatkan berita terbaru di email Anda setiap hari.

Nama:

Email:


Kategori berita yang diinginkan:

Selebriti

Film

Musik

Televisi

Hollywood

Bollywood

Asian Star

Sinetron

Bola Internasional

Bola Nasional

Seleb-OR

Olahraga Lain-lain

Hukum-Kriminal

Kasus Narkoba

Politik Nasional

Politik Internasional

Ekonomi Nasional

Ekonomi Internasional


Selasa, 28 April 2009 22:25


- Kasus Manohara Odelia Pinot memasuki babak baru. Dari perkembangan terakhir didapat kabar bahwa Komisi I DPR RI bidang Luar Negeri yang diketuai Theo L. Sambuaga akan segera mengagendakan rapat dengan memanggil Deplu dan Dubes RI untuk Malaysia. Sidang itu sendiri baru akan digelar setelah ada surat pengajuan resmi dari pihak Manohara.

Salah satu anggota Komisi I DPR RI, Anwar Nasution, saat ditemui di Hotel Nikko Jakarta, Selasa (28/4), berpendapat kasus Manohara patut mendapat perhatian karena bagaimana pun menyangkut nasib warga negara Indonesia.

asukkan alamat: "Secuil apapun bagi DPR, hal itu wajib dilakukan," tegasnya.

Secara khusus anggota dewan asal Partai Bulan Reformasi itu meminta agar Dubes RI untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, agar tidak 'ewuh pekewuh' (sungkan - red) dalam soal ini, mengingat dia pernah menerima penghargaan dari Diraja Malaysia.

"Saya memang belum ketemu dengan Pak Da'i, mungkin ada sekat tertentu yang tidak bisa dilewati beliau. Makanya kita akan mempertanyakan hal itu dan memusyawarahkan. Kita sama sekali tidak menerima kalau harkat dan martabat bangsa kita dilecehkan," tandasnya.

VIVAnews - Keluarga Model Indonesia, Manohara Odelia Pinot (17), mendatangi Bareskrim Mabes Polri untuk melaporkan dugaan kekerasan yang dilakukan Tengku Muhammad Fakhry Petra (31), suaminya sendiri.

Namun, Mabes Polri tidak dapat langsung menerima, karena harus ditelusuri dahulu. Apalagi ini antar negara. "Kalau laporan semua pasti kami terima tapi dilihat dulu laporannya, tentunya kami akan cek seperti apa," kata Wakil direktur, Direktorat Satu Keamanan Trans Nasional, Kombes Carlo Tewu kepada VIVAnews, Rabu 29 April 2009.

Apalagi, lanjut Carlo Tewu, kejadian ini berada di luar negeri yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu melalui jalur diplomatik.

Sementara Daisy Fajarina, ibu kandung Manohara usai melapor ke Bareskrim Mabes Polri mengatakan, laporan masih dalam proses, dan belum selesai, baru besok pukul tiga akan datang kembali untuk menceritakan kronologisnya.

"Hari ini saya membawa barang bukti berupa CD rekaman Manohara," tuturnya. Ibu kandung Manohara datang pukul 12.00 dan baru selesai pukul 19.30 Wib.

Jakarta - Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengaku prihatin atas kasus yang menimpa Manohara Odelia Pinot. Model cantik yang dinikahi Pangeran Kelantan Malaysia Tengku Muhammad Fakhry ini diberitakan disiksa suaminya.

"Saya prihatin dengan kasus Manohara Pinot, pemberitaan di media menunjukan pemerintah angkat tangan," kata Din.

Hal itu disampaikan Din usai peluncuran buku 'Memecah Kebisuan Muslim Kristen Katolik, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan" di Hotel Harris, Jl Dr Sahardjo, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (22/4/2009).

Din juga menyatakan kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak bisa melindungi warga negaranya yang mengalami penganiayaan di luar negeri. "Pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah untuk melindungi setiap warga negaranya di luar negeri," katanya.

Kekecewaan yang sama diungkapkan istri mantan Presiden Gus Dur, Sinta Nuriah Wahid. Menurut Sinta, pemerintah kurang tanggap dalam menangani kasus ini.

"Jangan warga kita mendapat perlakuan tidak karuan dibiarkan saja seolah-olah begitu murahnya warga negara kita," katanya.

Sinta juga meminta berbagai instansi terkait seperti Deplu, kepolisian dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk untuk bersama-sama menangani kasus ini. Ngobrolin model cantik Manohara Odelia Pinot? Gabung di sini. enteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta menilai, kasus Manohara Odelia Pinot tak lepas dari kesalahan orangtua.

“Orangtua sudah seharusnya menjaga anaknya, kalau di bawah umur jangan (dinikahkan -red), apa lagi mereka kan bukan dari desa, tapi orang terpelajar,” kata Meutia menjawab wartawan di Jakarta, Jumat (24/4).

Saat ini, lanjut Meutia, kasus ini sedang dalam proses di kepolisian dan sedang mempertimbangkan sejumlah hal, seperti bagaimana pembuktian Manohara disiksa, ketentuan hukumnya, serta tingkat kesulitan dalam mengatasi masalah itu sehubungan dengan status Manohara yang masih istri sah pangeran Kelantan, Tengku Tumenggung Muhammad Fakhry.

Meutia mengimbau agar pers jangan terlalu terpengaruh pada kasus Manohara saja, karena banyak sekali kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia yang disiksa majikannya atau terpaksa tertangkap aparat karena masuk dengan ilegal.

“Ibu Daisy (ibunda Manohara -red) beruntung bisa bertemu pers, tetapi bagaimana dengan wanita-wanita lainnya. Pers harus mencari tahu tentang itu,” katanya.

Meutia menambahkan, persoalan perempuan di negara lain harus diselesaikan tidak hanya oleh satu instansi pemerintah, tetapi juga bersama dengan Departemen lainnya seperti Depnaker atau Deplu. ant

AKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa Manohara Odelia Pinot, warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia oleh suaminya Pangeran Negara Bagian Kelantan, Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry diharapkan tidak mengganggu hubungan Indonesia dan Malaysia.

ADVERTISEMENT

"Pemberitaan kasus Manohara di berbagai media cetak dan elektronik yang dimunculkan oleh Daisy Fajarina, ibunda Manohara, diharapkan tidak mengganggu hubungan baik masyarakat RI-Malaysia," kata Juru Bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia Musni Umar di Jakarta, Rabu.

Musni menilai kasus tersebut adalah masalah pribadi yang dapat diselesaikan keluarga Manohara dan Fakhry dengan sebaik-baiknya melalui mediator pihak ketiga dari keluarga masing-masing.

"Kasus ini mencuat karena kurang terjalin komunikasi, salah persepsi dan kurang memahami dan menghayati sistem yang berlaku di kedua keluarga," katanya. Sesuai ajaran agama, lanjut dia, kedua belah pihak harus mengutus juru damai (hakim) dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Sebelumnya Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Deplu RI Teguh Wardoyo mengatakan bahwa Deplu telah meminta Kementerian Luar Negeri Malaysia bersikap kooperatif dalam menangani kasus KDRT yang menimpa Manohara Odelia Pinot. Ia mengaku, beberapa hari yang lalu, pihaknya telah berkirim surat kepada Kementerian Luar Negeri Malaysia untuk meminta pertanggungjawaban moral terhadap Fakhry.

Selain itu, pihaknya meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menjalin komunikasi secara aktif dengan pemerintah Malaysia. "Demikian halnya, kami yang di sini juga selalu menjalin komunikasi dengan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta," katanya menambahkan.

Beberapa saat setelah menerima laporan dari pihak keluarga Manohara, Deplu sudah meminta Fakhry untuk melaporkan kondisi Manohara di KBRI Kuala Lumpur atau KJRI Penang. Tujuan pelaporan itu, lanjut dia, agar pihak keluarga Manohara bisa tenang dan tidak mengundang sentimen berlebihan terhadap pemerintah Malaysia.

Pemerintah Indonesia tidak bisa langsung mengatasi persoalan tersebut, lantaran sampai saat ini Manohara masih menjadi istri sah Fakhry. "Sangat tidak mungkin, kami langsung melakukan penjemputan. Kasus Manohara ini berbeda dengan kasus yang dialami para TKI dengan majikan," katanya menjelaskan.

Sementara itu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menilai kasus Manohara-yang dinikahkan ketika masih di bawah umur-tak lepas dari kesalahan orangtua. "Orangtua sudah seharusnya menjaga anaknya, kalau di bawah umur jangan (dinikahkan), apalagi mereka kan bukan dari desa, tapi orang terpelajar," kata Meutia.

SBKRI, Nasionalisme dan Amoi Kawin ke Taiwan
Tanggal: Wednesday, 01 February 2006
Topik: Singkawang

PANSUS RUU KEWARGANEGARAAN KE PONTIANAK DAN SINGKAWANG:
Rencana Undang-undang Kewarganegaraan (selanjutnya RUU) sedang digodok oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI. Untuk memenuhi harapan sesuai semangat anti-diskriminasi yang menjiwainya, Pansus proaktif turun ke lapangan untuk menyerap aspirasi dari pelbagai kalangan dan komponen bangsa ini. Secara filosofis dan idealis, RUU yang nantinya akan menjadi Undang-undang (UU) itu adalah untuk kepentingan seluruh bangsa, dan bukan hanya untuk segelintir kelompok atau golongan masyarakat. Sayangnya kadang-kadang filosofi dan idealisme ini disalahartikan dan dicurigai oleh banyak kalangan.

Kunjungan Pansus ke Kalimantan Barat (Kal-Bar) ini jelas bukan suatu kebetulan, namun sudah direncanakan. Meski Kal-Bar bukan satu-satunya provinsi yang mendapat perhatian dan mendapat kunjungan khusus, namun karakteristik masyarakat Kal-Bar jelas menarik dan merupakan representasi yang dapat melengkapi bahan, data, informasi, dan sebagainya untuk penyempurnaan draft RUU yang dimaksud. Sudah bukan rahasia bahwa Kal-Bar memiliki masalah seperti: banyak penduduk etnis Tionghoa yang urusan kewarganegaraannya masih terkatung-katung, meskipun sudah turun-temurun hidup di bumi Khatulistiwa ini; banyaknya wanita Tionghoa yang menikah ke Taiwan, dan lain-lain. Bagi mereka masih berlaku pelbagai ketentuan kewarganegaraan yang berbau diskriminasi, belum lagi tingkat pengetahuan dan kemiskinan yang sangat menyulitkan mereka untuk memproses dokumen-dokumen itu.

Bagi etnis Tionghoa, saat ini masih berlaku UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan dan pencatatan sipil menurut Staatsblad 1917 No. 130 jo. 1919 No. 81 peninggalan Belanda yang sudah tidak sesuai, diskriminatif. Pada masa kolonial, masyarakat Indonesia digolongkan menjadi golongan Eropa, Timur Asing dan Inlanders (Pribumi). Ibaratnya mutu, suku bangsa Indonesia ini dibagi-bagi menjadi mutu No. 1, 2 dan 3, padahal Tuhan tidak pernah menciptakan manusia untuk dikelompokkan dalam kategori-kategori tertentu, dan lagi, manusia tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan sebagai suatu suku atau ras tertentu. Namun dalam kenyataannya diskriminasi ini masih dipraktekkan di Indonesia. Menyadari fakta dan praktek-praktek yang dapat menggoyahkan dan bahkan meruntuhkan nation and character building bangsa Indonesia inilah, Pansus yang dimaksud itu dibentuk untuk segera menuntaskan tugasnya. RUU yang akan terbentuk itu diharapkan tidak lagi menyisakan produk-produk hukum divide et impera warisan penjajah atau yang sengaja dihasilkan oleh negara ini untuk tujuan diskriminasi di masa lalu. Dengan demikian diharapkan, segenap komponen bangsa dapat menyadari arti pentingnya landasan dalam berbangsa dan menjadikannya sebagai patokan dalam menghasilkan pelbagai peraturan-peraturan pelaksanaannya. Setidak-tidaknya idealisme ini dengan tegas dicetuskan oleh Ketua Pansus, H. Slamet Effendy Yusuf, bahwa kita menginginkan UU yang secara eksplisit menghargai HAM (Hak Azasi Manusia), sehingga bisa mengakhiri bias diskriminatif.
Masyarakat Kal-Bar tentu berharap banyak agar segenap masukan, fakta dan data yang diperoleh Pansus selama berinteraksi dan meninjau lapangan itu bisa dijadikan bahan baku untuk menyempurnakan UU yang memenuhi kehendak rakyat banyak itu. Tim Pansus RUU yang mengunjungi Kal-Bar tersebut terdiri atas H. Slamet Effendy Yusuf (Ketua; Golkar), Murdaya Poo (Wakil Ketua; PDIP), H. Mamat Rahayu Abdullah (Anggota; Golkar), Asiah Salekan (Anggota; Golkar), Nursuhud (Anggota; PDIP), H. Moch. Hasib Wahab (Anggota; PDIP), H. Arief Mudatsir Mandan (Anggota; PPP), H. Lukman Hakim Saifuddin (Anggota; PPP), H. Daday Hudaya (Anggota; Demokrat), Patrialis Akbar (anggota; PAN).
Tim ini sejak tanggal 21-23 Januari 2006, telah mengadakan beberapa kali tatap muka dan peninjauan lapangan di Pontianak dan Singkawang. Tanggal 21 siang dilangsungkan dialog interaktif dengan Muspida, instansi-instansi terkait Pemprov Kal-Bar, dan beberapa tokoh masyarakat di Hotel KP. Usai pertemuan, rombongan mengunjungi lokasi budidaya lidah buaya (aloe vera) dan perkampungan padat penduduk di Siantan. Malamnya diadakan lagi pertemuan dengan masyarakat luas yang difasilitasi oleh Yayasan Bhakti Suci di auditorium Hotel KP. Pertemuan ini dihadiri oleh masyarakat dan tokoh dari berbagai kalangan yang memenuhi gedung auditorium Hotel KP, bahkan Sultan Pontianak juga hadir dan mengikuti acara sampai selesai kira-kira pukul 22.00 WIB. Dalam pertemuan ini juga diadakan dialog interaktif yang dimoderatori oleh Hartono Azas. Tanggal 22 pagi, rombongan menuju ke Singkawang. Tiba di Singkawang sekitar jam 11.30 langsung diadakan pertemuan dengan masyarakat dan tokoh masyarakat yang telah memenuhi ruang pertemuan Pemkot Singkawang. Acara dialog dimoderatori oleh Wakil Walikota Singkawang, Raymundus Saelan, dan berlangsung baik sampai sekitar pukul 13.00. Selesai pertemuan, rombongan makan siang di restoran “Dangau,” kemudian mengunjungi STIE Mulia dan diteruskan ke perkampungan Kopisan, pembuatan keramik di Sedau dan perkampungan Kali Asin. Menjelang sore, rombongan menuju ke Pontianak, dan tanggal 23 pagi kembali ke Jakarta.
Penulis yang turut dalam rombongan sejak dari Jakarta, mencatat beberapa hal penting dan aspirasi masyarakat Kal-Bar yang selama ini mengalami diskriminasi berat dalam hal SBKRI dan masalah kewarganegaraan lainnya, yakni:

Pertama: Adanya keluhan para aparat dan instansi terkait mengenai tidak adanya [baca: tidak jelasnya] peraturan pelaksanaan, seperti juklak (petunjuk pelaksanaan) atau juknis (petunjuk teknis) yang dengan jelas tegas menyatakan telah dihapuskannya keharusan untuk melampirkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan RI) dalam mengurus paspor, permohonan hak, sekolah, melamar pekerjaan dan sebagainya.
Penyebab kesimpangsiuran ini mungkin dikarenakan ketidaktahuan aparat, atau bahkan mungkin juga karena kesengajaan oknum-oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan di atas penderitaan etnis Tionghoa yang kita pahami tidak semuanya kaya secara material di Kal-Bar. Padahal tak kurang pernah diterbitkan Keppres No. 56 Tahun 1996, Inpres No. 26 Tahun 1998 dan Inpres No. 4 Tahun 1999 [lihat copy surat terlampir], yang kesemuanya menyinggung masalah SBKRI, yang antara lain menyatakan bahwa “Bagi Warga Negara Republik Indonesia yang telah memiliki KTP atau KK atau Akta Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu, cukup menggunakan KTP atau KK atau Akta Kelahiran ”.
Penerapan amanat untuk menghilangkan peraturan diskriminatif warisan kolonial tersebut hendaknyan disikapi dengan nurani yang jernih: apapun etnis atau latar belakang kita, maukah kita didiskriminasi? Jelas tidak. Nelson Mandela menghabiskan sebagian hidupnya di penjara karena memperjuangkan penghapusan Apartheid yang sangat mendiskriminasi bangsanya hanya karena perbedaan warna kulit. Kita yang sudah merdeka dengan berbagai komponen bangsa yang sudah lahir turun-temurun di bumi tercinta ini, kok masih tidak mau melepaskan diri. Jika tidak ingin didiskriminasi, janganlah mendiskriminasi.

Kedua: Pencantuman sanksi di dalam RUU yang akan datang.
Dalam pertemuan tanggal 21 dengan Muspida Pemprov Kal-Bar di Hotel KP, penulis mengusulkan agar RUU tersebut mencantumkan sanksi kepada para aparat dan instansi yang nyata-nyata masih bersikap diskriminatif dalam menerapkan UU yang datang tersebut. Pansus menyambut baik, dan mengatakan bahwa ini merupakan sesuatu yang baru dan belum terpikirkan sebelumnya. Kita berharap Pansus tidak sekedar basa-basi. Pencantuman sanksi ini perlu, karena selama ini mereka yang melanggar, tidak peduli, dan yang menyebabkan pelayanan berbelit-belit, tidak pernah mendapat sanksi yang dapat membuat mereka jera. Hendaknya ada kepastian hukum, dan kita sangat berharap di masa mendatang jika RUU tersebut sudah menjadi UU, ketentuan atau peraturan pelaksanaan (juklak maupun juknis) yang diturunkan harus dengan tegas menyebutkan sanksi. Sanksi ini tidak perlu disikapi dengan resistensi para aparat, karena jika nurani kita bersih dan benar-benar ingin memberikan pelayanan kepada umum secara baik, pasti pahalanya juga akan besar, di dunia maupun di akherat.

Ketiga: Masalah nasionalisme.
Aparat dan saudara-saudara non-Tionghoa sering mempersalahkan nasionalisme etnis Tionghoa, sebaliknya etnis Tionghoa yang diberi ‘cap’ tidak nasionalis menjadi serba-salah. Hanya karena segelintir etnis Tionghoa yang dikenal sebagai konglomerat hitam kabur ke luar negeri atau memegang green card (‘kartu hijau’, sejenis kartu identitas untuk menetap di luar negeri) atau PR (permanent resident, penduduk permanen/tetap), semua etnis Tionghoa digeneralisir menjadi ‘tidak nasionalis’.
Dalam pertemuan masyarakat dengan Pansus yang difasilitasi Pemkot Singkawang tanggal 22 di atas, penulis mengklarifikasi masalah ini. Rasanya dosa besar, jika masalah ini tidak dituntaskan dan Pansus tidak mendapat fakta yang sebenar-benarnya. Penulis berandai-andai, jika ada suatu standar yang bisa dijadikan alat untuk mengukur nasionalisme seseorang, maka biarlah digunakan untuk mengukur nasionalisme warga Tionghoa maupun non-Tionghoa. Penulis yakin banyak sekali etnis Tionghoa di Kal-Bar akan membuktikan mereka nasionalis, karena mereka sudah turun-temurun lahir di sana, terlebih lagi ikrar 3 pilar suku besar pernah didengungkan di bumi ini, sesuatu yang tidak ditemukan di provinsi lain.
Masalah tidak nasionalis sangat tidak relevan untuk ‘ditodongkan’ kepada etnis Tionghoa. Masalahnya adalah kepentingan dan kebutuhan, bukan soal nasionalisme. Orang yang memiliki materi lebih [baca: kaya], cenderung bisa menikmati banyak hal, termasuk ke luar negeri dan tinggal di luar negeri, apapun etnisnya. Mereka juga ke luar negeri karena bisnis, sekolah, atau untuk mempermudah hubungan kepentingan. Bukan rahasia lagi bahwa bangsa Indonesia non-Tionghoa yang kaya [bisa pengusaha atau pejabat], banyak yang tinggal dan bahkan memiliki property di luar negeri. Mereka juga memiliki green card atau PR, lalu apakah mereka dapat dinilai tidak nasionalis seperti yang dikenakan terhadap etnis Tionghoa? Contoh yang sangat jelas adalah mantan Presiden B.J. Habibie yang konon bahkan memiliki kewarganegaraan Jerman. Seorang Christianto Wibisono yang kini tinggal di Amerika dan seorang Kwik Kian Gie yang tinggal di Indonesia jelas tidak diragukan nasionalismenya. Pasangan pebulutangkis nasional, Alan Budikusuma dan Susi Susanti, meski pernah mengalami pendiskriminasian dalam SBKRI, tidak kita ragukan nasionalismenya. Kepada saudara-saudara etnis Tionghoa lainnya, hendaknya tokoh-tokoh panutan ini menjadi rujukan, sebaliknya mereka yang bertingkah-laku negatif jangan dicontoh, namun harus dikecam, karena mereka tidak mewakili etnis Tionghoa.
Saat ini banyak negara yang menerapkan sistem Dwi-Kewarganegaraan, dan sebagai bangsa yang tidak ingin ketinggalan, sebaiknya tidak perlu alergi dengan sistem yang berbeda dengan kita, yang saat ini menerapkan Kewarganegaraan Tunggal. Masing-masing sistem memiliki kelebihannya sendiri, dan setiap negara memilih sistem yang cocok untuk mengakomodasikan kepentingan bangsanya.
Masalah nasionalisme harus dikembalikan kepada pribadi masing-masing, bukan dikenakan kepada kesukuan atau rasnya. Jika mau jujur, bukan hanya segelintir konglomerat hitam etnis Tionghoa saja yang menyusahkan perekonomian Indonesia, namun koruptor-koruptor non-Tionghoa juga banyak yang turut membangkrutkan negeri ini, dan mereka ini berasal dari pelbagai suku-bangsa Indonesia yang majemuk ini. Kiranya wawasan ini dapat dimasukkan sebagai pertimbangan dalam mengartikan nasionalisme yang sebenarnya dan hakiki.

Keempat: Masalah penggunaan istilah pribumi, Indonesia asli, non-pribumi, keturunan, WNI, dan sejenisnya.
Warisan kolonial memang telah kita rasakan dampak negatifnya, namun sayangnya sangat lamban diubah. Setelah merdeka penggunaan istilah-istilah yang diskriminatif masih saja lestari. Jika orang mengatakan ‘pribumi’ atau ‘Indonesia asli’, maka kita sudah tahu maknanya, walaupun mereka itu pendatang di suatu daerah dan bukan kelahiran setempat. Jika menggunakan istilah ‘non-pribumi’, ‘keturunan’, atau ‘WNI”, herannya pasti mengarah ke etnis Tionghoa, padahal masih ada etnis lain keturunan India, Pakistan, Arab, dan sebagainya. Salah kaprah ini jelas karena etnis Tionghoalah yang paling mengalami diskriminasi pada masa Orde Baru, sementara diskriminasi terhadap keturunan lainnya jarang mencuat.
Kesadaran untuk menghapuskan istilah demikian bukan hanya merupakan tanggungjawab Pansus, namun tanggungjawab segenap bangsa. Penghapusan diskriminasi ini bukan sekedar urusan sepele, namun ia adalah urusan harkat dan martabat bangsa ini sendiri, karena selain menuntut kedewasaan, kita juga dilihat oleh seluruh bangsa di dunia ini. Seharusnya istilah yang ada hanya WNI, tanpa perlu menyebut keturunan, pribumi atau tidak pribumi, asli atau palsu (lawan kata ‘asli’, adalah ‘palsu’). Kalaupun harus menggunakan istilah-istilah itu hendaknya hanya untuk kebutuhan praktis saja. Jangan lagi dilestarikan untuk konotasi diskriminatif.
Adalah sangat membesarkan hati ketika salah seorang anggota Pansus, Patrialis Akbar, menjelaskan dalam pertemuan tanggal 22 di atas, bahwa istilah ‘Indonesia asli’ adalah bagi seseorang yang lahir dari ibu dan bapak yang sudah menjadi warga negara Indonesia, apapun keturunannya. Beliau juga menegaskan, jangan ragu-ragu dengan status tersebut. Penulis menyaksikan sendiri, Patrialis menunjukkan pernyataannya yang menghapus habis kecurigaan diskriminatif itu ketika berkunjung ke perkampungan Tionghoa miskin di Kopisan, Singkawang. Satu bapak dengan 7 anak yang ibunya telah tiada dengan rumah yang kondisinya sangat memprihatinkan, menyentuh nurani Patrialis untuk merogoh koceknya dan memberikan selembar uang berangka 5 nol. Hal sama juga dilakukan oleh Murdaya Poo dan lainnya. Jika saat itu bukan perkampungan Tionghoa miskin, penulis yakin mereka juga akan melakukan hal yang sama, karena rasa kemanusiaan. Etnis Tionghoa yang sudah turun-temurun hidup di Kal-Bar banyak yang masih dalam kondisi demikian, sehingga jangankan mengurus surat dan dokumen SBKRI, untuk makan sehari-hari saja sulit. Kondisi ini diperberat dengan berbagai istilah yang dikenakan kepada mereka.
Jika hal-hal ini diakomodasikan di dalam RUU, maka banyak hal positif yang dapat dipetik. Etnis Tionghoa bisa memulihkan luka atau trauma lamanya, dan tentu juga tidak boleh merasa ‘dianakemaskan’, sebaliknya karena hak-nya sebagai warganegara sudah sejajar dengan yang lain, maka kewajiban-nya sebagai WNI juga harus dipenuhi dengan segenap hati.

Kelima: Masalah bahasa (baca: dialek) yang digunakan oleh etnis Tionghoa Kal-Bar.
Banyak yang masih mempermasalahkan bahasa sehari-hari etnis Tionghoa yang di Kal-Bar, yaitu bahasa Hakka (Khek) dan Teochiu. Mereka masih menilai bahasa-bahasa itu ‘bahasa asing’. Dalam pertemuan tanggal 22 di Singkawang, penulis mengemukakan, bahwa bahasa ibu yang digunakan etnis Tionghoa tersebut sama sekali bukan bahasa asing lagi, namun sudah merupakan salah satu bahasa daerah. Jika ditelusuri sejarah Tionghoa di Kal-Bar, tak kurang dua setengah abad mereka sudah di sini. Kawin campur telah terjadi. Masyarakat Melayu, Dayak, dan etnis lainnya yang sering berinteraksi dengan etnis Tionghoa sama sekali tidak asing dengan bahasa Hakka maupun Teochiu, bahkan sebagian malah sangat fasih menggunakannya. Tahun 2005 saya ke Lumar, Bengkayang, dan bertemu dengan seorang kakek berusia 70 tahun lebih yang fasih berbahasa Hakka dan juga seorang bapak berusia 40-an yang juga fasih menggunakan bahasa Hakka, padahal mereka itu etnis Dayak. Sebaliknya etnis Tionghoa yang lahir di pedalaman maupun pesisir Kal-Bar juga menguasai bahasa Dayak maupun Melayu. Kekurangan etnis Tionghoa Kal-Bar yang tidak fasih menggunakan Bahasa Indonesia adalah hal yang sangat lumrah dan hendaknya disikapi sama seperti suku-suku lain di kepulauan Indonesia yang hanya bisa menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibunya. Meski demikian bukan berarti mengurangi nilai dan nasionalisme mereka sebagai komponen bangsa Indonesia. Menghilangkan atau bahkan melarang penggunaan bahasa ibu seseorang adalah sangat tidak adil, bahkan melanggar HAM, sebaliknya menerimanya sebagai aset untuk memperkaya budaya bangsa adalah sikap dan tindakan yang sangat terpuji. Kekurangan mereka dalam berbahasa Indonesia adalah murni karena pendidikan yang belum menjangkau mereka, baik karena kemiskinan maupun karena sistem pendidikan kita sendiri. Jika pendidikan ini telah dibenahi, pasti kekurangan ini akan dapat dibenahi.

Keenam: Kasus Amoi yang kawin ke Taiwan
Oleh beberapa kalangan, perkawinan amoi-amoi Kal-Bar ke Taiwan dinilai sebagai suatu kesenangan atau sesuatu yang sangat didambakan. Dikatakan bahwa ketika menikah ke Taiwan mereka senang-senang, namun ketika bercerai karena berbagai alasan, mereka kembali ke Kal-Bar dan menimbulkan masalah mengenai kewarganegaraannya maupun anak yang dilahirkan.
Satu hal yang jelas adalah bahwa amoi-amoi yang menikah ke Taiwan sama sekali bukan suatu peristiwa yang sepenuhnya menyenangkan. Kalau boleh dianalogikan, maka mereka itu serupa dengan TKW yang bekerja ke luar negeri. Mereka berangkat ke luar negeri bagaikan membeli kucing dalam karung, sama sekali tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Mereka adalah pahlawan-pahlawan keluarga yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Seandainya mereka punya pilihan, yakinlah mereka tidak akan memilih ke sana. Pengorbanan mereka nyata bisa dilihat di sepanjang pesisir maupun ke arah pedalaman Kal-Bar. Penulis katakan kepada Pansus, bahwa jika kita melihat ada ‘gubuk derita yang memasang parabola’ atau rumah semen berparabola yang penghuninya hidup pas-pasan, maka patut diduga, bahwa ‘kemewahan’ itu adalah hasil kiriman dari anaknya yang menikah ke Taiwan.
Jika terjadi prahara dalam pernikahan dengan pria Taiwan, maka ke mana lagi mereka mengungsi kalau bukan ke kampung halaman? Dalam kasus demikian patutlah status kewarganegaraan mereka diatur, ini bukan hanya untuk amoi-amoi itu saja, karena sangat mungkin ada kasus etnis lain yang demikian, misalnya TKW yang sering kedapatan hamil dan pulang ke Indonesia. Sementara menurut hukum Indonesia, status anak yang lahir dari wanita Tionghoa yang pernikahannya tidak dicatatkan ke Catatan Sipil akan dianggap sebagai anak luar nikah dan mengikuti kewarganegaraan ibunya, sebaliknya yang tercatat pernikahannya di Catatan Sipil akan tercatat sebagai anak sah dan mengikuti kewarganegaraan ayahnya, perlu ditegaskan untuk kasus-kasus tertentu, apakah amoi-amoi yang menikah ke luar negeri itu otomatis akan kehilangan status WNInya, atau bagaimana antisipasi jika mereka kembali ke Indonesia, karena mengalami pernikahan yang hancur dan memiliki anak yang lahir dari pernikahan itu?

Penutup

Peninjauan lapangan dan pencarian fakta hanya merupakan bahan dan referensi di dalam menyusun RUU tersebut. Hasil tinjauan itu tak satupun bisa dipaksakan. Yang terpenting dari kesemuanya adalah nurani para anggota Pansus. Jika kita merupakan kelompok yang didiskriminasikan sebagai warganegara, apakah yang kita inginkan agar tidak didiskriminasikan lagi? Jika nurani Pansus jernih dan menempatkan diri di dalam posisi sebagai kelompok yang tidak diskriminatif, maka kita dapat berharap banyak RUU yang akan dihasilkan pasti memenuhi kepentingan bangsa ini. Semoga.

© Hasan Karman.

Tak bisa kuungkapkan betapa aku mengagumi Hendrawan. Pebulutangkis kelahiran Malang, 27 Juni 1972 ini acap kali mengukir prestasi, mengharumkan nama negeri. Banyak orang terinspirasi oleh sosoknya yang gigih dan rendah hati. Pagi hari, ia memulai latihan lebih awal daripada jadwal latihan resmi. Ia juga sering melanjutkan latihan setelah jadwal latihan resmi. Dalam pertandingan , ia pantang menyerah, sekalipun sampai terjatuh-jatuh. Yang lebih mengharukan adalah pernyataannya bahwa ia tidak mau disebut sebagai pahlawan. "Semua hasil kerja tim," ujarnya merendah.

Mendengar berita mengenai masalah dalam perngurusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) Hendrawan, hati siapa yang tidak terkoyak? Seorang atlet yang berjasa pada negara saja sulit mendapatkan bukti bahwa dia berkewarganegaraan RI. Ibarat anak, Hendrawan telah berkorban banyak demi ibu pertiwi, namun sang ibu masih saja sulit mengakui Hendrawan sebagai anaknya. Meskipun masalah tersebut sudah diselesaikan melalui turun tangan Presiden Megawati, tidak ada salahnya esai ini mencoba mengulas kembali, agar dapat menjadi pelajaran dalam perjalanan tanah air tercinta.

Sejak Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949, dinyatakan bahwa semua orang yang lahir di Indonesia sebelum tanggal itu adalah Warga Negara Indonesia (WNI). Keputusan ini tertuang dalam Lembaran Negara No. 2 Tahun 1950. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran seperti pada situasi di atas dinamakan asas Ius Soli, sedangkan asas Ius Sanguinis adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan (sanguin : darah). Republik Rakyat Cina adalah salah satu negara yang menganut asas Ius Sanguinis, sehingga orang keturunan Cina yang lahir di Indonesia memiliki 2 kewarganegaraan (bipartride/kewarganegaraan rangkap/kewarganegaraan ganda). Masalah ini mendapat jalan keluar pada Konferensi Asia Afrika di Bandung, April 1955. Menteri Luar Negeri masing-masing, yaitu Sunario dari Indonesia dan Chou En-lai dari RRC, mencapai kesepakatan yang dituliskan dalam UU No. 2 Tahun 1958. Isinya adalah mewajibkan orang yang berkewarganegaraan ganda untuk memilih salah satu : menjadi warga negara Indonesia atau RRC.

Sepintas lalu, dengan keluarnya UU tersebut seharusnya kewarganegaraan orang keturunan Cina di Indonesia tidak perlu dipermasalahkan. Bila ia memilih menjadi warga negara RRC, maka ia dan keturunannya menjadi warga negara RRC. Bila ia memilih menjadi warga negara Indonesia, maka ia dan keturunannya menjadi warga negara Indonesia. Sederhana, bukan? Apalagi UU No. 5 Tahun 1958 pasal 1 huruf b menyatakan bahwa semua anak dari WNI, yang lahir di Indonesia, otomatis menjadi WNI. Seharusnya tidak ada istilah WNI keturunan, yang ada hanya Warga Negara RRC atau Warga Negara Indonesia.

Namun, kenyataan berkata lain. UU No. 2 Tahun 1958 yang sudah berusia 44 tahun ternyata belum menyelesaikan masalah. Contohnya kasus kewarganegaraan Hendrawan. Pada tahun 1960, orang tua Hendrawan memilih menjadi WNI dan Hendrawan lahir di Malang, Jawa Timur, Indonesia. Otomatis sejak lahir, Hendrawan adalah WNI. Seperti WNI lain, ia tidak memerlukan SBKRI. Mengapa ia harus dibedakan dari WNI lainnya? Apalagi Presiden Habibie telah mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 1999 yang menghapuskan SBKRI dan mengizinkan pelajaran Bahasa Mandarin. Sayangnya Instruksi Presiden tersebut hanya dianggap angin lalu. Sebagai contoh, proses permohonan paspor masih mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-IZ.03.10 Tahun 1995 dan petunjuk pelaksanaan (Juklak) Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-458.IZ.03.02 Tahun 1997 yang mewajibkan SBKRI sebagai syarat penerbitan paspor. Bertahannya suatu peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum di Indonesia masih perlu dipertanyakan.

Selain itu, birokrasi yang panjang mendapat sorotan dari masyarakat. SBKRI Hendrawan dapat terselesaikan ketika Presiden turun tangan. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika Hendrawan bukan tokoh yang berprestasi untuk bangsa. Ketika Hendrawan mengurus sendiri SBKRI-nya, 4 bulan berlalu tanpa mendapat tanggapan dari pihak yang berwenang, padahal persyaratan yang diminta sudah dilengkapinya. Jika dia tidak bilang pada Presiden, mungkin sampai sekarang pun SBKRI-nya belum turun, padahal ia sudah sangat membutuhkan SBKRI untuk mengurus akta kelahiran putrinya. Mungkin petugas pengurus surat SBKRI tidak menyadari betapa lamanya mereka bekerja. Mungkin mereka tidak merasakan betapa orang lain membutuhkan mereka. Atau mungkin penghasilan mereka masih kurang sehingga belum bisa bekerja sepenuh hati.

Bagaimana nasib keturunan Tionghoa yang bukan juara olahraga? Haruskah mereka menjadi korban - korban perasaan, waktu, tenaga, pikiran, dan mungkin juga uang - dari peraturan yang sudah tidak berlaku lagi ? Pantaskah rasa cinta tanah air mereka terhalang oleh kenyataan bahwa mereka diperlakukan berbeda dibanding WNI lainnya ? Walaupun tidak sehebat Hendrawan, sama seperti WNI lainnya, mereka juga sedikit banyak berjasa kepada Indonesi

NILAH.COM, Jakarta - Berlarutnya kasus Manohara membuat Komnas HAM merasa perlu menanganinya secara khusus. Mulai malam ini, mereka akan bekerja keras untuk menangani kasus tersebut.

Malam tadi (24/4), Daisy Fajarina, ibunda Manohara mengadukan nasib anaknya ke Komnas HAM Perempuan di Menteng, Jakarta Pusat. "Mungkin ini stigma dari suaminya Manohara yang menganggap istrinya tidak sempurna. Padahal semua orang punya hak," kata M. Ridha Saleh, Wakil Ketua 1 Bidang Internal, malam ini (24/4) di kantornya.

"Mulai hari ini, kami akan bekerja. Kami akan hubungi Komnas HAM Malaysia dan pihak yang terkait. Yang diminta Deasy hanya ingin bertemu anaknya," jelas Ridha.

"Nanti kami akan bekerja sama dengan Komnas HAM Malaysia. Siapa tahu mereka bisa menemukan tempat yang aman dan netral untuk pertemuan," harap Ridha.[rom

NILAH.COM, Jakarta - Sempat tersiar berita di surat kabar kalau Manohara menolak bertemu ibunya karena ada masalah. Namun hal itu disangkal oleh Daisy, ibunda Manohara.

Kasus Manohara semakin simpang siur saja. Berapa waktu lalu, seorang bernama Iqbal mengaku sudah bertemu pihak kerajaan Kelantan dan Manohara. Katanya, Manohara menolak bertemu ibunya karena ada masalah.

Deasy, ibunda Manohara yang ditemui INILAH.COM di Komnas HAM Perempuan di Jakarta, malam tadi (24/4), mengaku kenal dengan Iqbal. "Tapi Iqbal bukan dari sana. Dia orang Jambi yang pernah bekerja di sana sebagai mandor," kata Daisy.

"Saya menanyakan langsung ke Iqbal. Ternyata dia tidak pernah bilang hal seperti itu di media. Itu bohong. Menurutnya, itu permainan jurnalistik. Berita sengaja dipelintir," jelas Daisy.

Deisy menduga berita itu memang sengaja dibuat oleh sesorang yang disuruh oleh pihak kerajaan Kelantan, Malaysia.[rom]

NILAH.COM, Jakarta - Pengaduan ibunda Manohara Odeila Pinot, Daisy Fajarina memang masih perlu bukti. Pasalnya, kekerasaan fisik dan mental baru sebatas dugaan. Namun begitu Daisy merasa yakin psikis Manohara tertekan.

"Memang saya mendapatkan info seperti itu, tapi kita masih perlu bukti. Yang jelas kekerasan fisik dan mental baru dugaan, masih mengumpulkan bukti," ujar ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, kemarin (23/4) di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat.

Biar pun belum ada bukti, Daisy merasa yakin Manohara berada dalam tekanan. "Tapi saya tahu psikis Manohara tertekan karena dalam diary ia sempat menulis curahan hatinya," papar Daisy.

Isi curahan hati Manohara itu lebih berisi tentang ungkapan cintanya kepada Tengku Muhammad Fakhry yang berada dalam tekanan. “Manohara menulis, saya menikah dengan kamu karena cinta, tapi jangan perlakukan kami sebagi propertimu, Jangan anggap orang Indonesia bisa dibeli. Intinya Manohara tetap minta dihargai sebagai perempuan," tuturnya.[aji]

NILAH.COM, Jakarta - Untuk kembali bertemu anaknya, Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina sudah menempuh berbagai macam cara. Mulai dari mengirim surat ke Deplu sampai surat kepada ibu negara Indonesia. Daisy berharap pemerintah cepat tanggap terhadap kasus anaknya.

"Saya sudah melaporkan ke Deplu sebulan lalu, tapi belum ada tanggapan apa-apa. Tapi setelah berita ini beredar. Deplu bersedia menfasilitasi saya bertemu dengan anggota kerajaan," tegas Ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, kemarin (23/4), di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat.

Untuk lebih memudahkan jalannya, Daisy juga melayangkan surat kepada ibu negara Indonesia.

"Surat kepada ibu Presiden juga sudah saya sampaikan sebulan yang lalu, tapi belum juga ditanggapi," ungkapnya.

Kenyataan itulah yang akhirnya membuat Daisy beraharap pemerintah cepat tanggap. "Saya berharap pemerintah bisa bergerak cepat untuk anak saya. Jangan sampai saya mendengar anak saya nggak ada, baru pemerintah ramai. Mumpung sekarang anak saya masih bisa diselamatkan," tutupnya.[aji]

NILAH.COM, Jakarta - Daisy Fajarina tetap memperjuangkan nasib anaknya Manohara Odelia Pinot. Daisy berharap bisa berkomunikasi dengan anaknya. Lebih dari itu, Daisy berharap Manohara bisa kembali dan berkumpul lagi bersama keluarga. Sebagai manusia, Manohara berharap bebas.

"Kita nggak melakukan tindakan apapun (hukum, red), yang penting anak saya kembali," jelas Ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, kemarin (23/4), di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat.

Keinginanan tersebut tak serta-merta batal karena Manohara sudah menikah. Pasalnya, biar bagaimana pun Manohara tetaplah anak Daisy Fajarina.

"Walaupun dikatakan Manohara sudah menikah, tapi dia tetap anak saya dan punya hak untuk bisa berkomunikasi dengan mama dan keluarganya. Islam tidak ada hak pemutusan hubungan ibu dan anak. Manohara juga berharap bebas sebagai manusia," tegasnya.

Atas kejadian itu, Daisy pun berharap mendapatkan keadilan karena telah dilanggar hak asasinya.

"Saya melaporkan ke Komnas Perempuan karena adanya pelanggaran hak asasi mengenai pemutusan komunikasi dan informasi antara ibu dan anak," pungkasnya.[a

ILAH.COM, Jakarta - Apa yang kini terjadi kepada model cantik, Manohara Odelia Pinot, kabarnya sudah semestinya menjadi tanggung jawab ibu dan keluarganya. Gosip beredar, demi harta Manohara dijual keluarganya. Benarkah?

"Saya tidaklah begitu. Andai saya melihat itu (harta), saya tidak akan memilih Tengku, karena ada putra dari keluarga teman baik kami yang serius berhasrat meminang Manohara. Mereka jauh lebih kaya," papar ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, di Warung Ampera, Jalan KH Ahmad Dahlan No. 28, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (20/4).

Perkataan Daisy itu sama artinya keluarga sama sekali tak 'menjual' Manohara. "Kalau saya mau 'menjual’ anak, saya sudah senang hati menerima mereka. The society akan melihat kami sebagai gold digger dan lain-lain," ungkap Daisy.

Atas apa yang sudah terjadi, sampai sejauh ini Daisy hanya bisa meratapi nasib buah hatinya. "Kasihan Manohara, karena kecantikannya banyak sekali orang-orang yang mempunyai penyakit hati yang membenci, yang menghalalkan segala cara,"

NILAH.COM, Jakarta - Tragedi yang menimpa Manohara Odelia Pinot membuat sahabatnya penyanyi cantik, Rebecca kaget dan tak percaya. Rebecca berharap semoga masalahnya cepat selesai. Manohara pun dapat kembali kepada keluarganya.

"Saya kenal dia baik sekali. Saya kenal dari teman saya. Pernah jalan anaknya sopan. Nice girl," jelas Rebecca, saat ditemui diacara peragaan busana The Simplicity of house of Adjie by Adjie Notonegoro, di Loungue, Mulia Hotel Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (23/4) petang.

Kedekatan itulah yang membuat Rebecca sempat kaget dan tak percaya atas kasus yang menimpa Manohara Odelia Pinot. "Aku sama sekali nggak percaya. Saya kaget. Saat saya telpon temen, ternyata benar," ujar Rebecca.

Atas kejadian yang menimpa Manohara, sebagai seorang sahabat, Rebeca berharap Manohara bisa kembali lagi kepada keluarganya. "Mudah-mudahan Manohara kembali," pungkasnya.[aji]

ILAH.COM, Jakarta - Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia berupaya agar ibunda model cantik Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, bisa masuk ke Malaysia untuk bertemu dengan putrinya. Sebab penolakan terhadap Daisy oleh pemerintah Malaysia sungguh mengherankan.

"Tentu kami KBRI membuat surat kepada pemerintah Malaysia untuk mempertanyakan mengapa Ibu Manohara yang ingin bertemu anaknya ditolak. Itu langkah-langkah yang kami lakukan," kata Dubes RI untuk Malaysia Da'i Bachtiar di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (23/4).

Manohara diduga merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya, Pangeran Kelantan Tengku Muhammad Fahri. Namun kondisi Manohara sendiri, menurut Da'i, dalam keadaan sehat. "Itu menurut penjelasan dari pihak Kesultanan Kelantan," ujar Da'i.

Sementara mengenai kemungkinan Manohara dapat pulang kembali ke Tanah Air, menurut Da'i, hal itu menjadi keputusan keluarga. "Yang bersangkutan kan terikat perkawinan," pungkasnya. [sss]

NILAH.COM, Jakarta - Tragedi Manohara Odelia Pinot membuat Revalina S. Temat prihatin dan takut. Biar tak kenal, Revalina berharap Manohara dan keluarga diberikan hasil terbaik. Atas peristiwa itu, Revalina pun mendapatkan hikmah. Harta dan kekayaan bukan jaminan kebahagian.

"Kebetulan saya nggak kenal dia. Tapi atas kejadian yang menimpa Manohara, saya berpikir harta dan kekayaan nggak jaminan bahagia," jelas Revalina S. Temat, saat ditemui seusai acara jumpa pers Indonesan Movie Awards, di Hard Rock Cafe Jakarta, EX, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (23/4).

"Jujur saya sendiri prihatin dengan Manohara. Tapi disisi lain, saya juga takut kalau jadi Manohara. Soalnya nggak aman aja kalau kemana-mana sendiri juga. Pasti banyak yang incer. Maklum kan, kaya. Sebaliknya, nggak nyaman aja kalau jalan selalu dalam pengawalan," ungkapnya.

"Terlepas dari itu semua, saya hanya bisa berdoa semoga hasilnya baik. Mudah-mudahan dia dan keluarga diberikan kesabaran," katanya.[aji]

NILAH.COM, Jakarta - Rumor keluarga menjual Manohara Odelia Pinot kepada Putra Sultan Kelantan, Tengku Muhammad Fakhry dibantah ibunda Manohara, Daisy Fajarina. Pasalnya, sama sekali pihak keluarga Manohara tak meminta apapun dalam bentuk materi.

"Waktu itu Tengku Anissa adik Raja Kelantan menanyakan kepada saya, mau minta uang hantaran berapa. Saya jawab tidak meminta apapun," papar ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, di Warung Ampera, Jalan KH Ahmad Dahlan No. 28, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (20/4).

Daisy dan keluarga hanya menginginkan Manohara dijaga sebaik-baiknya. "Saya hanya minta Tengku untuk menjaga Manohara dengan baik, melindungi, menjaga perasaannya dan bertanggung jawab," ungkapnya.

Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. "Tak lama berselang, yang lebih menyakitkan lagi, seorang utusan raja mengatakan, 'Ibu raja titah ibu mau berapa? Lepaskanlah anak ibu, karena Tengku mau tiduri dia," tutupnya.[aji]

NILAH.COM, Jakarta - Kasus penganiyaan Manohara Odelia Pinot oleh suaminya, putra Sultan Kelantan Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry sudah dilaporkan ke Kedutaan Besar RI di Malaysia, 20 Maret 2009 lalu. Sayangnya, sampai sejauh ini belum mendapat respon.

"Saya sudah ke Mabes Polri, tapi disarankan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia," jelas ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, saat ditemui di Warung Ampera, Jalan KH. Ahmad Dahlan No. 28, Kebayoran baru, Jakarta selatan, Senin (20/4) malam.

Saran pihak Mabes Polri pun diikuti Daisy dengan langsung mendatangi Kedutaan Besar RI di Malaysia. Sayangnya belum direspon balik. "Saya pun akhirnya mendatangi Kedutaan Besar RI di Malaysia tanggal 20 Maret 2009 lalu, sampai sekarang belum direspon," ungkapnya.

Kenyataan itulah yang mesti diterima Daisy. Sejauh ini sama sekali tak ada perlakuan lebih dari pihak kedutaan, selain meberikan lembar formulir kosong. "Waktu itu, saat mendatangi Kedutaan Besar RI, pihak kedutaan hanya memberikan formulir kosong. Tidak yang lain," tutupnya.[aji]

NILAH.COM, Jakarta - Usai dianiaya, Manohara Odelia Pinot sempat melarikan diri dan pulang ke Indonesia. Manohora melakukannya setelah kabur dari sebuah rumah sakit di Singapura. Sayangnya, setelah itu Manohara diculik dan dibawa ke Malaysia.

"Waktu itu Manohara yang sempat berobat ke Singapura berhasil kabur, dan pulang ke Indonesia. Tetapi setelah itu diculik dan dibawa lagi ke Malaysia, setelah pihak Kerajaan Kelantan mengakalinya," jelas ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, saat ditemui di Warung Ampera, Jalan KH. Ahmad Dahlan No. 28, Kebayoran baru, Jakarta selatan, Senin (20/4) malam.

"Cara mengakalinya, waktu itu Manohara, saya dan keluarga diajak ke Mekkah untuk umroh. Persisnya pada 9 Maret 2009 lalu. Ternyata saat di Jeddah, semuanya sudah diatur. Mereka jalan duluan ke bandara. Ternyata mereka menculiknya dengan pesawat pribadi. Saya yang belum naik pesawat terus ditinggalnya," ungkapnya.

Sejak hari penculikan, Daisy masih bisa berkomunikasi dengan Manohara 10 hari lamanya. "Komunikasi terakhir tanggal 19 Maret 2009 lalu. Tapi, karena ketahuan, setelah itu nggak ada komunikasi sampai sekarang," imbuhnya.[aji]

Penyiksaan terjadi terhadap model cantik berusia 17 tahun, Manohara Odelia Pinot. Penyiksaan tersebut dilakukan suaminya, Tengku Muhammad Fakhry, putra Sultan Kelantan, Malaysia. Salah satu bukti penyiksaan, ada bekas silet di dada Manohara.

"Anak saya disiksa, di bagian dadanya disilet-silet. Itu yang ngomong dari pihak dalam istana yang punya hati nurani dan nggak tega melihat penderitaan Manohara," jelas ibunda Manohara Odelia Pinot, Daisy Fajarina, saat ditemui di Warung Ampera, Jalan KH. Ahmad Dahlan No. 28, Kebayoran baru, Jakarta Selatan, Senin (20/4) malam.

Pernyataan Daisy itu dibenarkan Manohara. Daisy memiliki bukti rekamannya. "Saya ada rekamannya. Dia telepon saya sambil nangis. Dia bilang disiksa," ujar Daisy sambil mengusap air matanya.

Manohara sendiri resmi menikah dengan Tengku Muhammad Fakhry, 26 Agustus 2008 lalu. "Saya merasa kecurian dan tertipu. Apalagi setiap saya menjabat tangan Tengku, dia bersumpah tak akan melakukan hal-hal maksiat," ujar Daisy Fajarina.[aji]

Wahyu Effendi

Puluhan ribu hingga ratusan ribu warga negara Indonesia yang bermukim di

Malaysia menjadi tenaga kerja Indonesia terancam tidak memiliki kewarganegaraan

atau stateless (Kompas, 8/12/2005). Apakah penyelesaian ad hoc pemerintah

dengan bagi-bagi paspor kepada mereka-seperti yang ditulis oleh Menteri Hukum

dan HAM- akan menyelesaikan masalah?

Warga negara Indonesia (WNI) telah bermukim di negara jiran itu belasan

tahun hingga puluhan tahun dengan hanya memegang surat akuan pengenalan (SAP)

yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Malaysia. Sebagian lagi di antaranya hanya

memiliki kartu penduduk tetap (permanet resident/PR) Malaysia dan sebagian

lainnya lagi tidak memiliki identitas karena menjadi pendatang tanpa izin.

Prinsip "non-apatride"

Berdasarkan peraturan kewarganegaraan Indonesia yang berlaku saat ini,

yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Pasal 17 huruf (k), seorang tenaga

kerja Indonesia (TKI) yang telah bertempat tinggal di Malaysia dalam kurun

waktu lima tahun berturut-turut tanpa menyatakan diri untuk tetap menjadi warga

negara kepada perwakilan Republik Indonesia akan kehilangan status

kewarganegaraan Indonesia-nya. Bukan hanya itu, kepemilikan SAP, yang dapat

diidentikkan sebagai surat berbentuk paspor, oleh para TKI sesuai aturan Pasal

17 huruf (j) dapat pula mengakibatkan kehilangan kewarganegaraannya.

Namun, karena kehilangan kewarganegaraan Republik itu tidaklah disertai

kepemilikan kewarganegaraan Malaysia, maka kehilangan kewarganegaraan akan

mengakibatkan para TKI tersebut menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless)-tidak

berkewarganegaraan Malaysia maupun Indonesia.

Meskipun begitu, pengaturan kehilangan kewarganegaraan Indonesia seperti

yang diatur dalam UU Nomor 62 Tahun 1958 tidaklah atau seharusnya tidaklah

serta-merta menghilangkan kewarganegaraan seorang WNI, terutama dalam konteks

kealpaan untuk menyatakan kembali kewarganegaraan Indonesia. Walaupun eksplisit

diatur beberapa kondisi yang dapat mengakibatkan kehilangan kewarganegaraan

Indonesia, secara prinsip UU Kewarganegaraan Indonesia tersebut tidak mengenal

bahkan mencegah apa yang dinamakan tanpa kewarganegaraan atau stateless

(prinsip non-apatride). Yang artinya suatu kehilangan kewarganegaraan Indonesia

tidak otomatis terjadi apabila karena kehilangan tersebut seseorang menjadi

tanpa kewarganegaraan (stateless).

Prinsip non-apatride yang terekam dalam memori penjelasan UU Nomor 62

Tahun 1958, yaitu "Dalam Undang-Undang ini kewarganegaraan Republik Indonesia

diperoleh karena kelahiran berdasarkan keturunan dan berdasarkan kelahiran di

dalam wilayah Republik Indonesia untuk mencegah adanya orang yang tanpa

kewarganegaraan", seharusnyalah dapat menjadi jiwa dan prinsip pengaturan UU

ini. Namun, karena pengaturannya yang tersurat dalam batang tubuh UU hanya pada

konteks kehilangan kewarganegaraan karena pertalian keluarga, dalam

implementasinya kemudian, prinsip non- apatride (pencegahan tanpa

kewarganegaraan) harus dikalahkan oleh ketentuan Pasal 17 tentang kehilangan

kewarganegaraan Indonesia.

Dalam berbagai kasus, misalnya, apa yang dialami oleh penduduk Tionghoa

di Tegal Alur, yang secara de facto adalah WNI, namun secara formal

diperlakukan sebagai stateless bahkan WNA ataupun WNI yang di masa silam karena

persoalan politik terpaksa bermukim di negara lain tanpa kejelasan status

kewarganegaraan Indonesia-nya, yang walaupun masing-masing mempunyai konteks

yang berbeda, menunjukkan betapa masih tidak konsistennya pengaturan dan

penerapan konsepsi kewarganegaraan Indonesia.

RUU Kewarganegaraan

Fakta sosial ini seharusnya menjadi pertimbangan berharga untuk pembaruan

RUU Kewarganegaraan Indonesia yang saat ini sedang dalam pembahasan di DPR,

terutama tentang kehilangan kewarganegaraan yang disebabkan oleh kealpaan

menyatakan kembali kewarganegaraan Indonesia-nya dan penegasan prinsip

non-apatride.

Yang menarik walaupun masih dirasakan belum cukup pengaturannya, sudah

dimasukkannya prinsip non-apatride sebagai salah satu prinsip dalam penjelasan

RUU Kewarganegaraan Indonesia-Badan Legislasi DPR yang sedang dalam pembahasan.

Dan dalam RUU yang sama pula, ketentuan tentang kealpaan untuk pernyataan

kembali kewarganegaraan Indonesia bagi mereka yang berdomisili di luar negeri

selain karena dinas negara masih dicantumkan sebagai salah satu kondisi yang

mengakibatkan kehilangan kewarganegaraan. Kondisi-kondisi lainnya antara lain

karena keinginan sendiri untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesia, bergabung

dengan dinas kemiliteran atau sipil negara lain, belum berumur 18 (delapan

belas) tahun diakui atau diangkat secara sah oleh warga negara lain ataupun

karena memiliki paspor negara lain.

Apa yang dialami oleh jutaan TKI yang bekerja di luar negeri yang sering

kali dalam kondisi "tidak bebas" atau karena paksaan keadaan bekerja tanpa izin

di negara lain untuk dapat setiap saat "menyatakan diri" kepada perwakilan

negara Indonesia atau penduduk Tionghoa di Tegal Alur yang divonis stateless

karena impitan kemiskinan untuk mengurus dokumen kewarganegaraannya ataupun WNI

yang terpaksa berdiam di negara lain karena persoalan politik masa lalu,

ketentuan tentang kehilangan kewarganegaraan karena kealpaan menyatakan kembali

kewarganegaraan Indonesia dalam lima tahun patut dipertimbangkan kembali. Atau

paling tidak diperlukan penegasan tersurat tentang prinsip non-apatride dalam

batang tubuh RUU Kewarganegaraan-bukan hanya dalam penjelasan-di DPR nanti.

Harapannya di masa depan, tidak seorang pun WNI dapat serta-merta

dihilangkan kewarganegaraannya terlebih karena kehilangan kewarganegaraan

tersebut menjadikannya menjadi tanpa kewarganegaraan atau stateless.

Wahyu Effendi Koordinator Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI) dan

Ketua Umum GANDI

Status Kewarganegaraan Diubah, WNI Keturunan Protes

SEMARANG- Seorang WNI keturunan, Stanislaus Handjojo Rahardjo (52), warga Kelurahan Tinjomoyo RT 005 RW 006, Kecamatan Banyumanik mengadu kepada anggota DPRD, atas kesalahan data di kartu keluarga (KK) miliknya. Pasalnya, kewarganegaraan dia dalam KK yang diterbitkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Capil) Kota Semarang, diubah menjadi warga negara asing (WNA).

''Padahal, saya jelas-jelas warga negara Indonesia (WNI). Semua bukti saya punya, mulai dari KTP, paspor, dan juga SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan RI-Red),'' kata Handjojo.

Senin (22/10), dia menyampaikan persoalannya kepada sejumlah wartawan. Pada kesempatan itu, dia didampingi anggota DPRD Kota Semarang, Kristanto, dan Hidayat Pranandya dari Pecinan Semarang.

Persoalan bermula ketika dia mengurus kepindahan alamat. Semula dia tinggal di Puri Anjasmoro, Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Semarang Barat. Tahun 2006, karena menempati rumah baru, dia pindah alamat ke Kelurahan Tinjomoyo, Kecamatan Banyumanik. Pada KK baru yang diterbitkan Dispenduk dan Capil pada 11 Juli 2006, status kewarganegaraannya berubah dari warga negara RI menjadi warga negara China.

''Saya khawatir perubahan status kewarganegaraan itu akan berpengaruh dan menyulitkan ketika saya memperpanjang paspor atau mengurus dokumen kependudukan lainnya,'' katanya.

Sudah meminta klarifikasi Dispenduk dan Capil? ''Kalau ke Dispenduk dan Capil belum, saya tidak tahu jalurnya. Tapi, sudah saya sampaikan ke kelurahan, tak lama setelah KK saya terima tahun lalu. Oleh kelurahan dijawab aturannya memang begitu,'' tuturnya.

Minta Klarifikasi

Terkait dengan kasus yang dialami Handjojo, anggota DPRD Kristanto menilai, Dispenduk dan Capil telah bertindak gegabah. Menurut dia, tidak ada hak dinas tersebut untuk mengubah status kewarganegaraan seseorang.

''Kalau lewat naturalisasi, perubahan status kewarganegaraan ada di tangan presiden. Bisa juga ditetapkan lewat keputusan pengadilan,'' kata anggota Fraksi Partai Golkar itu.

Dia meminta Dispenduk dan Capil mengklarifikasi kasus yang dialami Handjojo. Kasus semacam itu acap dialami oleh WNI keturunan, baik Tionghoa, Arab, maupun India. ''Cuma selama ini jarang terungkap, karena korban tidak berani menyampaikan.''

Ketika dikonfirmasi, Kepala TU Dispenduk dan Capil HR Triyanto menyampaikan, kasus perubahan kewarganegaraan yang dialami Handjojo belum dilaporkan ke kantornya. Dia menyarankan Handjojo datang sendiri atau mengutus perwakilan ke Dispenduk dan Capil, untuk menyelesaikan persoalan itu. ''Kalau salinan KK ditunjukkan disertai bukti-bukti kewarganegaraan, saya kira kesalahan itu bisa dikoreksi,'' katanya.

Mengenai kesalahan itu, Triyanto menolak kalau hal itu disebut kecerobohan Dispenduk dan Capil. ''Dilihat dari tanggal penerbitannya, KK itu dikeluarkan pada masa transisi, perubahan dari Simduk ke SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan-Red). Karena masa transisi, yang di dalamnya terdapat perubahan-perubahan, dimungkinkan ada kesalahan dalam pelaksanaan.'' (H9,H12-37

UNDANG UNDANG KEWARGANEGARAAN INDONESIA YANG BARU

Daryl's Site - 13 Juli 2006

Lepas dari berbagai keberatan seperti dimuat di media (seperti RUU Kewarganegaraan belum lindungi perempuan, Kompas, 10/7), pengesahan RUU Kewarganegaraan menjadi UU Kewarganegaraan di DPR (11/7) layak diapresiasi.

Penulis sepakat pengesahan UU ini memang revolusioner karena di antaranya mengakhiri polemik tentang siapakah warga negara Indonesia asli. Harus diakui, dari 17/8/1945 hingga 11/7/2006, kata-kata asli itu sering menyita energi. Bahkan dalam perjalanan kita, banyak nyawa menjadi korban dalam kerusuhan rasial dengan korban warga keturunan yang sering dianggap orang "asing" atau sekadar second class people atau warga kelas dua.

Ironisnya, selama ini diskriminasi diberi landasan hukum, seperti UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 dan UU lain yang mewajibkan orang membuktikan diri sebagai WNI dengan selembar surat bernama Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Padahal, terkait etnis atau asal-usul, kita tidak bisa meminta kepada Sang Pencipta agar dilahirkan sebagai etnis tertentu.

Betapa memilukan, ketika orang sudah bertahun-tahun lahir dan hidup di negeri ini, tetapi secara hukum dinyatakan atau diolok-olok sebagai bukan orang Indonesia. Coba tanyakan bagaimana perasaan Ivana Lie atau Susi Susanti atau orang lain yang sudah membela merah putih di dunia internasional, pernah mentok dan dinyatakan secara hukum sebagai bukan warga negara Indonesia karena tidak punya SBKRI?

Karena itu, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru, apresiasi layak diberikan kepada Pansus RUU Kewarganegaraan, juga kepada Prof Eko Sugitario, Pakar Hukum Tata Negara Ubaya dan aktivis multietnis di Surabaya, yang sejak 2002 terus menggodok dan mengupayakan legal drafting UU ini.

Baru langkah awal

Meski begitu, pengesahan UU ini baru merupakan langkah awal untuk mengakhiri segala praktik diskriminasi. Apalagi setelah pengesahan UU ini penulis mendapat berondongan pertanyaan bagaimana petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya atau singkatnya implementasi UU ini di lapangan. Bagaimana nasib ratusan ribu warga keturunan, seperti warga China Benteng yang selama ini tidak memiliki KTP atau akta kelahiran tetapi sudah bergenerasi tinggal di Indonesia? Otomatiskah mereka menjadi WNI? Bagaimana pula mereka akan mengurus hal lain, tetapi terganjal tidak memiliki KTP atau akta kelahiran, apa solusinya? Karena itu, sebagai follow up UU Kewarganegaraan mendesak dibuat peraturan pemerintah sebagai implementasi UU ini.

Sekali lagi, pengesahan UU ini baru langkah awal dari upaya menghapus praktik diskriminasi. Mengapa? Dengan pengesahan UU ini, negara atau pemerintah berupaya mencabut produk hukum yang diskriminatif yang selama ini diterapkan. Dengan kata lain, orang-orang yang selama ini tidak termasuk kategori WNI asli, hendak dirangkul dan diakui eksistensinya oleh negara atau pemerintah sebagai bagian sah bangsa atau negeri ini. Bahkan UU ini menjamin dan menegaskan para pejabat negara yang berani melakukan praktik diskriminasi, seperti birokrat di imigrasi yang meminta SBKRI, bisa dikenai sanksi hukum satu tahun penjara. Jelas ini membanggakan karena selama ini oknum-oknum yang mengharuskan SBKRI itu tega berdiri di atas penderitaan orang lain. Ratusan ribu bahkan jutaan orang sudah menjadi korban penerapan SBKRI.

Menghargai keragaman

Melalui UU Kewarganegaraan yang baru disahkan, hukum kita telah mengupayakan jaminan, siapa pun dari latar belakang etnis apa pun bisa menjadi bagian integral bangsa ini atau menjadi warga negara Indonesia asal dilahirkan di Indonesia dan sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri (Pasal 2).

Spirit pasal itu amat dalam karena keragaman yang selama ini de facto ada, secara de iure atau secara hukum diakui keabsahannya oleh negara atau pemerintah. Dengan ini diharapkan keragaman dan perbedaan yang selama ini ada (seperti etnis) bisa menjadi potensi positif untuk membangun bangsa ke depan menuju bangsa besar yang menghargai keragaman dan perbedaan. Bukan sebaliknya, perbedaan menjadi modal untuk menghancurkan masa depan bangsa.

Lagi, UU Kewarganegaraan ini masih merupakan langkah awal. Lewat UU ini negara menjamin diakhirinya diskriminasi. Bagaimana praktiknya nanti? Ini adalah pekerjaan rumah bagi segenap elemen dan tiap anak bangsa. Sebab apalah artinya sebuah payung hukum bernama UU Kewarganegaraan yang menjamin diakhirinya diskriminasi, tetapi jika di alam nyata praktik berbangsa dan bernegara, diskriminasi, masih bercokol di dalam hati?

Apalah arti bahasa hukum, tidak ada lagi pemisahan pribumi dan nonpribumi, tidak ada asli atau bukan, tetapi di alam nyata orang suka menunjuk hidung atau berbisik menunjukkan etnis dengan nada sinis? Karena itu setelah UU Kewarganegaraan ini disahkan, menjadi PR bagi kita untuk bisa menerima perbedaan (seperti etnis) dengan keikhlasan dan tanpa prasangka.

Semoga dengan diresmikannya UU ini, ruang kebersamaan kita bukan kian menyempit, justru makin luas dan lapang, sehingga kita bisa berbuat sesuatu yang lebih bermakna bagi bangsa daripada harus berpolemik atau berkonflik etnis yang hanya membuang energi. Negeri ini akan jaya jika perbedaan dan potensi tiap warganya bisa diakomodasi dan diakui.

Sumber: Daryl's Site - darylcom.multiply.com

RUU Kewarganegaraan Anak-anak Kawin Campur bisa Ikut Kewarganegaraan IbunyaOleh arixs

Senin, 24-April-2006, 14:48:45

10742 klik

Sampaikan Kisah ini kepada Temanmu

Versi Cetak

Di antara gemuruh pro-kontra RUU Porno yang sedang dibahas DPR-RI, tak banyak orang tahu kalau lembaga perwakilan rakyat yang berkantor di Senayan itu juga sedang berkutat membahas sebuah RUU yang tak kalah penting, yakni RUU Kewarganegaraan. Dalam kaitan itulah pekan lalu (19/4) Puslitbang Hukum dan HAM Dep. Hukum dan HAM menyelenggarakan seminar tentang hak wanita dan anak dengan topik ”Hak Keperdataan sebagai Akibat Perkawinan Campur Wanita Indonesia dengan Pria Asing” di Denpasar.

Lies Sugondo, Ketua Subkomisi Hak Sipil dan Politik Komnas HAM yang tampil sebagai salah seorang pembicara dalam seminar itu menyatakan, pada hakekatnya hukum di negeri ini cukup memberi perlindungan bagi perempuan Indonesia yang menikah dengan warga asing. Masalah akan muncul bila anak-anak lahir dari pasangan berbeda warga negara itu. Pasalnya, UU Nomor 60 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan masih menganut asas Ius Sanguitis (berdasarkan pada garis keturunan sang ayah). Karena itu, anak-anak yang mereka lahirkan dengan sendirinya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, kecuali kalau dengan itu si anak bisa kehilangan kewarganegaraannya. Kedengarannya mudah. Tapi, ingat, si anak dari ibu WNI itu sangat mungkin dideportasi dari Indonesia bila orangtuanya lalai memperpanjang izin tinggalnya di Indonesia, sebab si anak —kendatipun, misalnya, masih menetek— dianggap orang asing.
Persoalan akan menjadi ”sangat ruwet” bila sang ayah berasal dari negara yang menganut asas Ius Soli (berdasarkan tempat kelahiran) seperti Amerika Serikat. Katakanlah, misalnya, Arsini (WNI) menikah dengan Michael (WN AS) dan melahirkan anak lelaki di Denpasar. Bagi Amerika Serikat, anak tersebut dianggap ”bukan” anak AS karena kelahirannya dianggap ”tidak diketahui”. Indonesia, memang, memberi peluang anak tadi menjadi WNI karena —bila tidak— anak itu akan tidak memiliki kewarganegaraan. Masalahnya, kalau nanti sang ayah meninggal, maka si anak sama sekali tidak mendapatkan hak waris.
Masih banyak, sesungguhnya, keruwetan hukum yang terjadi dalam kasus pernikahan campur ini. Karena itulah beberapa kelompok perempuan mendesak agar RUU Kewarganegaraan yang sedang dibahas DPR mengakomodasi kemungkinan anak-anak yang lahir dari kawin campur antarnegara diberi kewarganegaraan ganda sampai anak itu berusia 18 tahun. Nanti, bila melewati usia 18 tahun (dewasa), anak itu berhak memiliki (memilih) kewarganegaraannya sendiri.
”Jalan keluar seperti itu saya anggap tidak permanen,” ujar Lies Sugondo. Pasalnya, selama anak belum berusia 18 tahun tidak ada jaminan tidak akan muncul persoalan yang berkaitan dengan kewarganegaraan. Sebutlah, misalnya, kasus anak yang dilahirkan Arsini dan Michael. Karena AS ”tidak mengetahui” kelahiran anak mereka, maka tentu saja si anak akan menjadi ”orang asing” di negeri ayahnya. ”Jadi hal itu hanya bisa menjadi jalan keluar kalau si anak masih berada di Indonesia, tetapi tidak berfungsi di beberapa negara yang menganut sistem kewarganegaraan tunggal,” ungkap Lies Sugondo. ”Jadi dari sudut HAM, sepanjang bersangkutan dengan negara yang menganut asas kewarganegaraan ius soli atau ius sanguinis, maka jalan keluar tadi akan sulit diterapkan, karena masing-masing negara memiliki kedaulatan sendiri. Manakala HAM individu dihadapkan dengan kepentingan kedaulatan suatu negara, sudah bisa dipastikan kedaulatan negara-lah yang lebih dikedepankan,” ujar Lies.
Kendati demikian, tampaknya jalan keluar itulah yang paling mungkin diterapkan. Tampaknya pula, Pokja RUU Kewarganegaraan DPR-RI sepakat dengan usulan ibu-ibu yang bersuamikan orang asing itu. Lagi pula, menurut pandangan Lies, usulan itu tidak bertentangan dengan asas-asas HAM. Pasal 4 Konvensi tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan, menurut penjelasan Lies, pada dasarnya menyatakan, apabila anak-anak yang lahir akibat kawin campuran mengalami masalah dalam hal mengikuti kewarganegaraan ibu atau ayahnya, kalau ia lahir di negeri asal ibunya, maka negara harus menetapkan kewarganegaraan si anak sama dengan si ibu, atau dengan jalan permohonan naturalisasi sesuai prosedur yang diatur undang-undang.
Jadi, untuk saat ini ibu-ibu yang bersuamikan orang asing boleh sedikit bernafas lega. —swa

Untung-Rugi Berwarganegara Ganda
Bila seorang gadis Jerman menikah dengan lelaki Bali, misalnya, lalu anak mereka lahir di Jerman, maka sangat mungkin anak mereka itu mendapatkan dua kewarganegaraan (Jerman, karena lahir di Jerman, dan Indonesia, karena ayahnya seorang warganegara Indonesia). Anak itu disebut memiliki kewarganegaraan ganda. Hal itu nantinya akan dimungkinkan bila RUU Kewarganegaraan disahkan. Pasal 3 ayat (1) RUU itu menyatakan, ”Anak WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli akan mendapatkan status kewarganegaraan ganda. Untuk kepastian bahwa ia mempertahankan kewarganegaraan RI maka orangtua anak tersebut harus menyatakan bahwa anak tersebut tetap berstatus WNI.”
Menurut Guru Besar Tetap pada Fak. Hukum Universitas Indonesia, Zulfa Djoko Basuki, sebagian besar negara di dunia membolehkan adanya status kewarganegaraan ganda. ”Ada yang berlaku seumur hidup, ada pula yang membatasi sampai usia tertentu,” ungkap Zulfa dalam Seminar ”Hak Keperdataan sebagai Akibat Perkawinan Campur Wanita Indonesia dengan Pria Asing” di Denpasar (19/4).
Di Jerman, misalnya, sejak 1 Januari 2000 diberlakukan UU Kewarganegaraan baru dengan prinsip ius soli. Karena itu, anak yang lahir di Jerman dari orangtua yang tinggal di sana paling sedikit delapan tahun, maka bisa mengajukan kewarganegaraan Jerman. Bila orangtua si anak berasal dari negeri yang berasaskan ius sanguitis, maka sang anak bisa memiliki dual nationality. Hanya saja, Jerman membatasi kasus seperti ini sampai si anak berumur 23 tahun. Saat itu si anak harus memilih salah satu kewarganegaraannya.
Di AS, dual nationality ini malah tidak dibatasi umur. Hanya saja, bila si pemilik dua kewarganegaraan ini ingin melepaskan kewarganegaraan AS-nya, maka ia harus menyatakannya secara tertulis.
Lalu, untuk apa memiliki dua kewarganegaraan? ”Keuntungannya, orang itu bisa dengan leluasa tinggal di kedua negara dengan mengabaikan ketentuan-ketentuan imigrasi bagi orang asing,” ungkap Zulfa. Ia juga bisa memilih paspor dari negara yang paling cocok untuk bepergian ke negara-negara tertentu. Tapi tunggu dulu, kerugian pasti juga ada di balik kewarganegaraan ganda. “Di beberapa negara ada kewajiban untuk wajib militer yang berlaku bagi seluruh warganegaranya. Ada juga kewajiban membayar pajak sehingga sangat mungkin ia terkena dua kali,” ungkap Zulfa.
Kendati demikian, menurut Zulfa, pola kewarganegaraan yang bakal dianut Indonesia, di mana anak bisa memperoleh kewarganegaraan ganda (sampai umur 18) ini jauh lebih memenuhi kesetaraan gender ketimbang yang berlaku selama ini, di mana kewarganegaraan ditentukan oleh garis keturunan ayah. —swa

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].

WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.

Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.

Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).

Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.

Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.

Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.

Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.

Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.

Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.

Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.

KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN

Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang ‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya.

Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu ‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut.

Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.

Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini.

PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN

Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia.

Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.



[1] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Menunggu Lahirnya UU Kewarganegaraan yang Lebih Jelas

Laporan:

Oleh Didik Kusbiantoro

BEBERAPA waktu lalu, pebulutangkis asal Malang, Jawa Timur dan mantan juara dunia, Hendrawan membuat sebagian besar masyaraka

Oleh Didik Kusbiantoro

BEBERAPA waktu lalu, pebulutangkis asal Malang, Jawa Timur dan mantan juara dunia, Hendrawan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terkesima dan terharu, bukan karena prestasinya tapi karena kasus status kewarganegaraan yang dihadapinya.

Sekian lama mengurus status kewarganegaraan, pebulutangkis yang menjadi penentu kemenangan tim Piala Thomas Indonesia atas Malaysia di Ghuangzou China itu tidak juga mendapatkan haknya, kendati jalur birokrasi telah dilaluinya.

Kabar kesulitan yang dialami Wawan (panggilan akrab Hendrawan) sempat didengar Presiden Megawati Soekarnoputri yang sedikit berang dan kemudian memerintahkan para bawahannya menyelesaikan masalah tersebut.

Hanya dalam waktu satu hari setelah perintah orang nomer satu di Indonesia itu turun, status kewarganegaraan Hendrawan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) selesai.

Kasus kesulitan memperoleh status kewarganegaraan yang dialami Hendrawan merupakan salah satu dari banyak kasus yang dialami warga lainnya, terutama etnis Tionghoa.

Meski mereka sudah puluhan tahun, bahkan nenek moyangnya tinggal di Indonesia, namun hak memperoleh status WNI agaknya masih sulit didapat.

Beruntunglah Hendrawan yang memiliki prestasi bulutangkis luar biasa dan beberapa kali mengharumkan nama bangsa di pentas internasional, sehingga mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk mengurus status WNI-nya--kendati sebelumnya juga berbelit-belit.

Lalu bagaimana dengan warga etnis Tionghoa lainnya yang tidak memiliki kelebihan seperti Hendrawan, tentu harus rela melalui jalur birokrasi yang panjang sebelum memperoleh pengakuan sebagai WNI.

Dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan di Surabaya, Senin (4/11), masalah status kewarganegaraan menjadi topik pembicaraan yang serius menyusul rencana disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan.

Henry Darmawan, salah seorang peserta seminar sempat mengungkapkan kembali kasus kesulitan memperoleh SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang dialami Hendrawan akibat tidak beresnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

"Masak orang seperti Hendrawan yang telah mati-matian membela nama Indonesia di berbagai kejuaraan bulutangkis, masih diragukan kewarganegaraannya dan dimintai SBKRI," katanya.

Aturan lama

Masalah kesulitan memperoleh SBKRI yang dialami warga etnis Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari adanya perjanjian antara pemerintah China (dulu RRT) dengan pemerintah RI pada 22 April 1955 tentang Dwi Kewarganegaraan.

Perjanjian yang ditandatangi Perdana Menteri RRT Chou En Lai

dengan Perdana Menteri RI Sunario yang intinya soal kewarganegaraan warga Tionghoa di Indonesia tetap menggunakan asas "ius sanguinis" (kewarganegaraan setiap anak lahir menurut garis keturunan ayah).

Menyusul perjanjian tersebut, pemerintah RI kemudian menerbitkan sejumlah produk hukum, satu di antaranya Peraturan Presiden Nomer 10 tahun 1959 mengenai masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa.

Dampak dari keluarnya PP No.10/1959 itu, seperti diungkapkan Ketua Umum DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) Dr Rosita Sofjan Noer MA, ratusan ribu warga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia beramai-ramai mendaftarkan diri untuk meninggalkan RI.

"Secara hukum mereka seharusnya masih diberikan kesempatan menentukan pilihannya, sesuai perjanjian dwi kewarganegaraan (UU Nomer 2/1958) yang opsinya berlaku 1960 hingga 1962. Tapi kebanyakan dari mereka memilih meninggalkan Indonesia," katanya.

Terkait dengan masalah kewarganegaraan, berdasarkan hukum ketatanegaraan setiap negara secara berbeda menetapkan atau mengatur kewarganegaraan berdasarkan asas yang disesuaikan dengan kepentingan negara yang bersangkutan.

Asas "ius soli" menyatakan setiap anak yang lahir menjadi warga negara dari negara tempat kelahiran, contoh negara yang menganut asas ini adalah Amerika Serikat.

Kemudian asas "ius sanguinis" yang menyebutkan setiap anak yang lahir menjadi warga negara menurut garis keturunan ayah dan RRT (China) dulu pernah menerapkan asas ini.

Yang lain yakni asas "campuran" artinya kewarganegaraan menurut garis keturunan ayah dengan tetap menerima kelahiran sebagai pengecualian. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut asas campuran ini.

Ius Soli

Berkaitan rencana disahkannya RUU Kewarganegaraan, sejumlah kalangan menilai asas ius soli adalah yang paling pas diterapkan di Indonesia dibanding asas lainnya yakni ius sanguinis dan campuran.

Ketua Umum DPP FKKB Rosita Noer mengemukakan RUU Kewarganegaraan yang saat ini sedang digodok DPR harus lebih tegas dalam menentukan kewarganegaraan seseorang.

"FKKB mengusulkan agar penentuan status tersebut berdasarkan asas 'ius soli' (tempat kelahiran)," kata Rosita dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan.

Menurut Rosita, menengok pengalaman sejarah yang terjadi di Indonesia dan kesadaran bahwa kita hidup di tengah masyarakat dunia, seharusnya tidak ada lagi sekat-sekat dalam pergaulan masyarakat dunia.

Dari asas-asas kewarganegaraan yang ada, kata Rosita, kiranya asas "ius soli" (di mana anak tersebut dilahirkan) lebih tepat dibanding asas lainnya dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. "Hal ini juga dikaitkan dengan bentuk negara kita yang terdiri dari kepulauan dan terletak di kawasan perdagangan dunia serta kemajemukan penduduknya yang terdiri dari bermacam suku bangsa," tambahnya.

Dikatakannya, Indonesia masih terus berkewajiban merealisasikan "nation and character building" di mana untuk itu diperlukan hukum yang adil, tegas dan transparan.

"Karena itu, Undang-Undang Kewarganegaraan nantinya bisa sebagai 'test case' pertama untuk mewujudkan hal itu," tegasnya.

Mengenai masalah kewarganegaraan tersebut, Ketua MPR RI Amien Rais saat menjadi pembicara pada diskusi terbatas "Peran Masyarakat Tionghoa dan Kontribusinya dalam Membangun Negara RI", di Surabaya, Sabtu (2/11) juga menyatakan setuju dengan langkah FKKB yang memperjuangkan asas ius soli untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.

Menurut Amien Rais, negara ini sudah semestinya memberikan status kewarganegaraan seseorang, terutama etnis Tionghoa berdasarkan tempat kelahiran.

"Apalagi, saat ini peran mereka baik di pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan juga sudah seimbang dengan masyarakat pada umumnya," katanya.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Dr Lukas Musianto yang juga menjadi narasumber dalam seminar tersebut sependapat apabila asas ius soli dipakai untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.

Menurut ia, unsur ius soli, tempat dan eksternal sangat dominan daripada unsur internal sehingga menghubungkan keturunan dengan interaksi-interaksi adalah sesuatu yang tidak tepat.

"Mengingat situasi sosiologis yang ada, asas ius soli lebih

tepat digunakan untuk menentukan status kewarganegaraan. Sebaliknya, dasar keturunan hanyalah menimbulkan perpecahan, kejanggalan atau ketertinggalan sejarah," katanya.

Ketua Komisi II (bidang hukum) DPR RI, A Teras Narang SH dalam kesempatan sama berpendapat memang harus ada perubahan yang cukup mendasar dalam UU Kewarganegaraan di masa mendatang.

Menurut ia, yang perlu diingat adalah menghindari penggunaan

istilah penduduk asli atau bangsa Indonesia asli karena tidak sesuai dengan hasil amandemen UUD 1945 yang membedakan penduduk antara WNI dan orang asing (WNA).

Sementara untuk golongan etnis Tionghoa, lanjut Teras Narang, proses kewarganegaraan tidak hanya didasarkan pada kelahiran dan pewarganegaraan seperti yang ada sekarang, tetap perlu juga dipertimbangkan melalui cara registrasi.

Selain mempermudah peranakan etnis Tionghoa yang sungguh-sungguh ingin mendapatkan status sebagai WNI, juga dapat diterapkan bagi anak orang Indonesia yang orang tuanya telah lama tinggal di luar negeri, tetapi tidak mengubah status kewarganegaraan.

"Tapi prosedur registrasi menjadi WNI harus dipermudah, tidak berbelit-belit, murah dan transparan, tidak seperti saat proses naturalisasi dulu," katanya. (ant)

Cetak sekarang!


Menunggu Lahirnya UU Kewarganegaraan yang Lebih Jelas

Laporan:

Oleh Didik Kusbiantoro

BEBERAPA waktu lalu, pebulutangkis asal Malang, Jawa Timur dan mantan juara dunia, Hendrawan membuat sebagian besar masyaraka

Oleh Didik Kusbiantoro

BEBERAPA waktu lalu, pebulutangkis asal Malang, Jawa Timur dan mantan juara dunia, Hendrawan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terkesima dan terharu, bukan karena prestasinya tapi karena kasus status kewarganegaraan yang dihadapinya.

Sekian lama mengurus status kewarganegaraan, pebulutangkis yang menjadi penentu kemenangan tim Piala Thomas Indonesia atas Malaysia di Ghuangzou China itu tidak juga mendapatkan haknya, kendati jalur birokrasi telah dilaluinya.

Kabar kesulitan yang dialami Wawan (panggilan akrab Hendrawan) sempat didengar Presiden Megawati Soekarnoputri yang sedikit berang dan kemudian memerintahkan para bawahannya menyelesaikan masalah tersebut.

Hanya dalam waktu satu hari setelah perintah orang nomer satu di Indonesia itu turun, status kewarganegaraan Hendrawan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) selesai.

Kasus kesulitan memperoleh status kewarganegaraan yang dialami Hendrawan merupakan salah satu dari banyak kasus yang dialami warga lainnya, terutama etnis Tionghoa.

Meski mereka sudah puluhan tahun, bahkan nenek moyangnya tinggal di Indonesia, namun hak memperoleh status WNI agaknya masih sulit didapat.

Beruntunglah Hendrawan yang memiliki prestasi bulutangkis luar biasa dan beberapa kali mengharumkan nama bangsa di pentas internasional, sehingga mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk mengurus status WNI-nya--kendati sebelumnya juga berbelit-belit.

Lalu bagaimana dengan warga etnis Tionghoa lainnya yang tidak memiliki kelebihan seperti Hendrawan, tentu harus rela melalui jalur birokrasi yang panjang sebelum memperoleh pengakuan sebagai WNI.

Dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan di Surabaya, Senin (4/11), masalah status kewarganegaraan menjadi topik pembicaraan yang serius menyusul rencana disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan.

Henry Darmawan, salah seorang peserta seminar sempat mengungkapkan kembali kasus kesulitan memperoleh SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang dialami Hendrawan akibat tidak beresnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

"Masak orang seperti Hendrawan yang telah mati-matian membela nama Indonesia di berbagai kejuaraan bulutangkis, masih diragukan kewarganegaraannya dan dimintai SBKRI," katanya.

Aturan lama

Masalah kesulitan memperoleh SBKRI yang dialami warga etnis Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari adanya perjanjian antara pemerintah China (dulu RRT) dengan pemerintah RI pada 22 April 1955 tentang Dwi Kewarganegaraan.

Perjanjian yang ditandatangi Perdana Menteri RRT Chou En Lai

dengan Perdana Menteri RI Sunario yang intinya soal kewarganegaraan warga Tionghoa di Indonesia tetap menggunakan asas "ius sanguinis" (kewarganegaraan setiap anak lahir menurut garis keturunan ayah).

Menyusul perjanjian tersebut, pemerintah RI kemudian menerbitkan sejumlah produk hukum, satu di antaranya Peraturan Presiden Nomer 10 tahun 1959 mengenai masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa.

Dampak dari keluarnya PP No.10/1959 itu, seperti diungkapkan Ketua Umum DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) Dr Rosita Sofjan Noer MA, ratusan ribu warga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia beramai-ramai mendaftarkan diri untuk meninggalkan RI.

"Secara hukum mereka seharusnya masih diberikan kesempatan menentukan pilihannya, sesuai perjanjian dwi kewarganegaraan (UU Nomer 2/1958) yang opsinya berlaku 1960 hingga 1962. Tapi kebanyakan dari mereka memilih meninggalkan Indonesia," katanya.

Terkait dengan masalah kewarganegaraan, berdasarkan hukum ketatanegaraan setiap negara secara berbeda menetapkan atau mengatur kewarganegaraan berdasarkan asas yang disesuaikan dengan kepentingan negara yang bersangkutan.

Asas "ius soli" menyatakan setiap anak yang lahir menjadi warga negara dari negara tempat kelahiran, contoh negara yang menganut asas ini adalah Amerika Serikat.

Kemudian asas "ius sanguinis" yang menyebutkan setiap anak yang lahir menjadi warga negara menurut garis keturunan ayah dan RRT (China) dulu pernah menerapkan asas ini.

Yang lain yakni asas "campuran" artinya kewarganegaraan menurut garis keturunan ayah dengan tetap menerima kelahiran sebagai pengecualian. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut asas campuran ini.

Ius Soli

Berkaitan rencana disahkannya RUU Kewarganegaraan, sejumlah kalangan menilai asas ius soli adalah yang paling pas diterapkan di Indonesia dibanding asas lainnya yakni ius sanguinis dan campuran.

Ketua Umum DPP FKKB Rosita Noer mengemukakan RUU Kewarganegaraan yang saat ini sedang digodok DPR harus lebih tegas dalam menentukan kewarganegaraan seseorang.

"FKKB mengusulkan agar penentuan status tersebut berdasarkan asas 'ius soli' (tempat kelahiran)," kata Rosita dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan.

Menurut Rosita, menengok pengalaman sejarah yang terjadi di Indonesia dan kesadaran bahwa kita hidup di tengah masyarakat dunia, seharusnya tidak ada lagi sekat-sekat dalam pergaulan masyarakat dunia.

Dari asas-asas kewarganegaraan yang ada, kata Rosita, kiranya asas "ius soli" (di mana anak tersebut dilahirkan) lebih tepat dibanding asas lainnya dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. "Hal ini juga dikaitkan dengan bentuk negara kita yang terdiri dari kepulauan dan terletak di kawasan perdagangan dunia serta kemajemukan penduduknya yang terdiri dari bermacam suku bangsa," tambahnya.

Dikatakannya, Indonesia masih terus berkewajiban merealisasikan "nation and character building" di mana untuk itu diperlukan hukum yang adil, tegas dan transparan.

"Karena itu, Undang-Undang Kewarganegaraan nantinya bisa sebagai 'test case' pertama untuk mewujudkan hal itu," tegasnya.

Mengenai masalah kewarganegaraan tersebut, Ketua MPR RI Amien Rais saat menjadi pembicara pada diskusi terbatas "Peran Masyarakat Tionghoa dan Kontribusinya dalam Membangun Negara RI", di Surabaya, Sabtu (2/11) juga menyatakan setuju dengan langkah FKKB yang memperjuangkan asas ius soli untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.

Menurut Amien Rais, negara ini sudah semestinya memberikan status kewarganegaraan seseorang, terutama etnis Tionghoa berdasarkan tempat kelahiran.

"Apalagi, saat ini peran mereka baik di pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan juga sudah seimbang dengan masyarakat pada umumnya," katanya.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Dr Lukas Musianto yang juga menjadi narasumber dalam seminar tersebut sependapat apabila asas ius soli dipakai untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.

Menurut ia, unsur ius soli, tempat dan eksternal sangat dominan daripada unsur internal sehingga menghubungkan keturunan dengan interaksi-interaksi adalah sesuatu yang tidak tepat.

"Mengingat situasi sosiologis yang ada, asas ius soli lebih

tepat digunakan untuk menentukan status kewarganegaraan. Sebaliknya, dasar keturunan hanyalah menimbulkan perpecahan, kejanggalan atau ketertinggalan sejarah," katanya.

Ketua Komisi II (bidang hukum) DPR RI, A Teras Narang SH dalam kesempatan sama berpendapat memang harus ada perubahan yang cukup mendasar dalam UU Kewarganegaraan di masa mendatang.

Menurut ia, yang perlu diingat adalah menghindari penggunaan

istilah penduduk asli atau bangsa Indonesia asli karena tidak sesuai dengan hasil amandemen UUD 1945 yang membedakan penduduk antara WNI dan orang asing (WNA).

Sementara untuk golongan etnis Tionghoa, lanjut Teras Narang, proses kewarganegaraan tidak hanya didasarkan pada kelahiran dan pewarganegaraan seperti yang ada sekarang, tetap perlu juga dipertimbangkan melalui cara registrasi.

Selain mempermudah peranakan etnis Tionghoa yang sungguh-sungguh ingin mendapatkan status sebagai WNI, juga dapat diterapkan bagi anak orang Indonesia yang orang tuanya telah lama tinggal di luar negeri, tetapi tidak mengubah status kewarganegaraan.

"Tapi prosedur registrasi menjadi WNI harus dipermudah, tidak berbelit-belit, murah dan transparan, tidak seperti saat proses naturalisasi dulu," katanya. (ant)

Koruptor Ganti Kewarganegaraan Tetap Bisa Diekstradisi

Jakarta (ANTARA News) - Tersangka, terdakwa maupun terpidana kasus kejahatan terutama kasus korupsi yang telah berganti kewarganegaraan tetap dapat diekstradisi atau dipulangkan ke Indonesia terkait masa berlaku surut 15 tahun sejak penandatanganan ekstradisi RI-Singapura.

"Sekarang yang berlaku adalah saat dia melakukan tindak pidana kalau dia orang Indonesia, ya meskipun berganti kewarganegaraan berapa kali juga tetap saja bisa," kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di Jakarta, Senin.

Pada penandatanganan ekstradisi RI-Singapura di Istana Tampak Siring, Bali pada Jumat, 27 April lalu itu Jaksa Agung hadir terkait 31 jenis kejahatan yang disepakati kedua pihak sebagai tindak pidana yang bisa diekstradisi, di antaranya kejahatan korupsi, keuangan dan perbankan.

Usai penandatanganan itu, Menlu Hasan Wirajuda mengatakan perjanjian ekstradisi berlaku surut hingga 15 tahun sehingga tetap berlaku bagi pelaku tindak pidana yang saat terjadinya tindak pidana itu berkewarganegaraan Indonesia.

Disinggung mengenai aset koruptor yang disimpan di Singapura, Jaksa Agung mengatakan, bila orang yang diburu itu memang berada di Negeri Singapura maka asetnya juga akan dikejar.

Namun, kata Jaksa Agung, hal itu masih menunggu proses lanjutan penandatanganan ekstradisi yaitu ratifikasi parlemen kedua negara terkait.

Sementara itu, terkait daftar koruptor yang sedang disusun oleh Kejaksaan Agung, menurut Plt JAM Pidsus, pihaknya sementara ini mendapat 15 nama.

Kejaksaan Agung optimistis perjanjian ekstradisi RI-Singapura efektif dalam memulangkan koruptor berikut asetnya yang selama ini berada di Negeri Singa itu.

Perjanjian ekstradisi itu diharapkan menjadi instrumen untuk memulangkan tersangka, terdakwa maupun terpidana kasus korupsi yang diduga selama ini bersembunyi di Singapura.

Bagi Indonesia, perjanjian itu diharapkan bisa mencegah terjadinya tindakan korupsi dan menghapus stigma bagi Singapura yang selama ini disebut-sebut sebagai suaka bagi setidaknya 12 tersangka dan tujuh terpidana koruptor Indonesia yang melarikan diri ke luar negeri.

Di antaranya tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp1,98 triliun, mantan Komisaris Bank Pelita Agus Anwar yang buron dan telah menjadi warga negara di Negeri Singa, juga tersangka kasus Letter of Credit (L/C) fiktif PT Gramarindo pada BNI Kebayoran Baru senilai Rp1,2 triliun Maria Pauline Lumowa, juga sempat bersembunyi di negara tetangga Indonesia itu.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar