Selasa, 08 Desember 2009

Fungsi Pengawasan DPRD Belum Optimal

Legislatif
Fungsi Pengawasan DPRD Belum Optimal

YOGYAKARTA, KOMPAS - Hingga saat ini fungsi pengawasan DPRD masih belum optimal. Padahal, fungsi pengawasan ini merupakan salah satu fungsi utama, selain fungsi legislasi dan anggaran.

Peraturan undang-undang yang mengatur tentang fungsi pengawasan ini dianggap masih bersifat global dan tidak bisa dijadikan panduan. Karenanya, beberapa anggota dewan yang tergabung dalam Kaukus Parlemen Bersih DI Yogyakarta mengajukan draf manual untuk fungsi pengawasan. Draf ini memuat poin-poin pengawasan yang harus dilakukan DPRD terhadap pemerintah daerah secara lebih rinci.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPRD harus benar-benar dapat memastikan pemerintah daerah akan mengacu pada kepentingan publik. Pemerintah juga harus mampu mewujudkan tujuan dan kepentingan bersama yang sudah disepakati dalam proses legislasi dan penganggaran.

Sabtu (11/11), anggota dewan dari tingkat kabupaten hingga provinsi kembali membahas draf manual pengawasan ini. Acara pembahasan juga dihadiri perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan kalangan akademisi.

Diharapkan, dengan adanya draf ini, tugas dan kewenangan DPRD dalam fungsi pengawasan bisa lebih jelas. Dari diskusi terungkap, draf ini masih harus diperbaiki. Terutama, karena beberapa peraturan yang tercantum masih terlalu detail sehingga sulit dipahami.

Selanjutnya, draf akan diserahkan ke DRPD kota dan kabupaten, untuk dibahas lebih lanjut. Draf ini bisa ditindaklanjuti menjadi tata tertib yang dibahas di paripurna.

"Semuanya diserahkan pada daerah, apakah akan diakomodasi atau tidak," kata Wakil Ketua DPRD Provinsi DI Yogyakarta Istianah ZA. Dikatakan Istianah, kemungkinan besar DPRD provinsi hanya akan mengadopsi beberapa pasal yang perlu saja. Misalnya, tentang fungsi pengawasan yang berlaku bagi komisi. "Akan tetapi, masih akan kami kaji lebih lanjut," ucapnya.

Kendala lain yang dihadapi untuk optimalisasi fungsi pengawasan adalah adanya budaya sungkan di kalangan anggota DPRD untuk mengkritisi gubernur yang juga memiliki peran sebagai raja. Istianah berharap dengan draf ini, semakin banyak anggota dewan yang berani mengkritisi gubernur sebagai mitra kerja.

Senior Program Officer International Republican Institute Dicky Dooradi mengungkapkan, hingga saat ini belum ada kejelasan partai yang bertindak sebagai oposisi. Padahal, dengan adanya oposisi, maka fungsi debat bisa tersalurkan untuk mengkritisi kebijakan eksekutif. (AB9)

. KEDUDUKAN DPRD

1. DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah.

2. DPRD sebagai unsur Lembaga Pemerintahan Daerah memiliki tanggungjawab yang sama dengan Pemerintah Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah untuk kesejahteraan rakyat.



B. FUNGSI DPRD

1. Legislasi
Diwujudkan dalam mem-bentuk Peraturan Daerah bersama Kepala Daerah

2. Anggaran
Diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama Pemerintah Daerah

3. Pengawasan
Diwujudkan dalam bentuk pengawasan ter-hadap pelaksanaan Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah



C. TUGAS DAN WEWENANG DPRD

1. Membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala daerah untuk mencapai tujuan bersama

2. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama dengan Kepala Daerah

3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Program Pembangunan Daerah, dan Kerjasama Internasional di daerah

4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Gubernur

5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah

6. Meminta laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi

7. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh undang-undang

Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.



D. HAK DPRD

1. Interpelasi

2. Angket

3. Menyatakan Pendapat



E. HAK ANGGOTA DPRD

1. Mengajukan Rancangan Peraturan Daerah

2. Mengajukan Pertanyaan

3. Menyampaikan Usul dan Pendapat

4. Memilih dan Dipilih

5. Membela Diri

6. Imunitas

7. Protokoler

8. Keuangan dan Administratif



F. KEWAJIBAN DPRD

1. Mengamalkan Pancasila

2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mentaati segala peraturan perundang-undangan

3. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah

4. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

5. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah

6. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindak-lanjuti aspirasi masyarakat

7. Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan

8. Memberi pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih di daerah pemilihannya

9. Mentaati Kode Etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD

10. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait


F. TUGAS PIMPINAN DPRD

1. Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan

2. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua

3. Menjadi juru bicara DPRD

4. Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPRD

5. Mengadakan konsultasi dengan Bupati dan instansi pemerintah lainnya sesuai dengan putusan DPRD

6. Mewakili DPRD dan/atau Alat Kelengkapan DPRD di pengadilan

7. Melaksanakan putusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

8. Mempertanggungjawabk

Peranan dan Fungsi Dewan Dalam Pemantapan Program Pembangunan & APBD Provinsi DIY
21-11-2005

PENDAHULUAN

Tuntutan adanya lembaga perwakilan rakyat (parlemen) dalam suatu pemerintahan sudah dimulai sejak awal abad ke-18 di beberapa kawasan Eropa-Skandinavia, Belanda, Swiss dan Inggris. Masyarakat berpendapat guna menyalurkan aspirasinya dalam rangka partisipasi dalam pemerintahan maka perlu dibentuk majelis lokal. Gagasan tersebut diawali dari kasus pajak yang secara berangsur-angsur berkembang menjadi tuntutan terhadap hukum. Mereka menyatakan, bahwa karena luasnya wilayah, persetujuan itu memerlukan perwakilan dalam badan atau parlemen (yang bertugas menaikkan pajak dan membuat perundang-undangan).

Bagi mereka parlemen dibentuk untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat (will of people). Otoritas suatu pemerintahan akan tergantung pada kemampuannya untuk mentransformasikan kehendak rakyat sebagai nilai tertinggi di atas kehendak negara (will of state). Dan sistem pemerintahan inilah yang cocok diterapkan di Indonesia.

Negara kita yang heterogen dengan keanekaragaman suku, agama, ras, etnis, dan budaya sangat berpotensi terjadinya konflik maupun perbedaan pendapat. Keadaan ini merupakan suatu conditio sin qua non sehingga aspirasi yang beragam hanya dapat ditampung ke dalam suatu lembaga perwakilan politik agar mekanismenya berjalan dengan tertib dan teratur yang dalam hal ini adalah DPR/DPRD. Di samping itu dengan adanya lembaga politik representasi rakyat tersebut akan terjadi proses chek and balances dalam proses pembangunan.

PERAN DAN FUNGSI DPRD DALAM PEMANTAPAN PROGRAM DAN ANGGARAN DIY

Pada masa orde baru DPR/DPRD sering mendapat sindiran sebagai tukang stempel (rubber-stamp parliament) kebijakan eksekutif, karena jarang melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, dan cenderung menerima serta mengesahkan hampir semua usul kebijakan dari pemerintah tanpa reserve.

Gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah membawa angin segar bagi perkembangan format demokrasi di negara kita. Ini terlihat dengan semakin beraninya DPR/DPRD untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan mengritik pemerintah secara terbuka, meskipun pada awal-awalnya sering kali tindakannya tampak berlebihan karena masih diliputi dengan eforia politik-setelah selama 30 tahun terpasung sehingga oleh Gus Dur sempat disebut dengan 'kayak anak TK', namun lambat laun saat ini mulai menata diri untuk bekerja lebih baik lagi.

UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 61 telah mengatur fungsi dan peranan anggota DPRD yang meliputi 3 fungsi pokok, yakni melaksanakan fungsi Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. Yang dimaksud dengan fungsi legislasi adalah DPRD bersama dengan gubernur membentuk peraturan daerah sedangkan dalam hal fungsi anggaran DPRD bersama dengan pemerintah daerah menyusun dan menetapkan APBD yang di dalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD Provinsi. Adapun fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, Perda, dan keputusan gubernur serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Wacana tentang program pembangunan oleh pemerintah sangat melekat dengan kebijakan yang diambilnya. Menurut Bill Jenkins, kebijakan adalah : "Sekelompok keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau sekelompok aktor menyangkut pemilihan tujuan tertentu dimana keputusan-keputusan ini, pada prinsipnya harus berada dalam rentang kesanggupan aktor-aktor ini untuk mewujudkannya". Idealnya alam pengambilan keputusan ini harus melalui proses dan pemilihan alternatif-alternatif yang cukup banyak dengan menimbang segala akibat yang ditimbulkan dari keputusan tersebut.

Dalam beberapa teori kebijakan publik, antara kebijakan pemerintah dengan harapan masyarakat terdapat 4 strata dengan 4 penilaian yang dirinci sebagai berikut :
1. Kebijakan pembangunan pemerintah sesuai dengan tuntutan masyarakat dan berhasil dijalankan (nilainya 3). Misalnya : Program Imunisasi Polio, Program JPKM, Pemberantasan TBC, Penanganan Kaum Jompo, Penanganan Remaja Bermasalah, dsb.
2. Bukan kebijakan pembangunan pemerintah tetapi sesuai dengan tuntutan masyarakat dan berhasil dijalankan (nilainya 1). Misalnya : Swadaya masyarakat dalam pengerasan jalan, Swadaya masyarakat dalam pembangunan fasilitas umum ataupun tempat ibadah, dan sebagainya.
3. Kebijakan pembangunan pemerintah tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat dan berhasil dijalankan (nilainya 2). Misalnya : Penyelenggaraan SDSB, Penyelenggaraan PORKAS, Kenaikan Retribusi Pajak, Kebaikan Iuran PLN, dsb.
4. Bukan kebijakan pembangunan pemerintah dan tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat namun berhasil dijalankan (nilainya 0). Misalnya : Penyalahgunaan Narkoba, Penjualan Togel/Totor, Penyelundupan BBM, Ilegal Loging, dan sebagainya.

Setiap kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah pada awalnya mempunyai tujuan yang mulia yaitu mensejahterakan rakyat. Namun di era orde baru kadang-kadang kebijakan yang mereka buat hanya berpihak pada kelompok tertentu saja bahkan kebijakan yang mereka buat bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks inilah maka peranan dewan sangat dibutuhkan untuk menghindari komplain dari masyarakat. Oleh karenanya sebelum program-program pemerintah disusun, dibuatlah sebuah mekanisme yang melibatkan masyarakat secara transparan dalam rangka pengambilan kebijakan tersebut, yakni melalui penjaringan aspirasi masyarakat yang dilanjutkan dengan pembahasan Arah Kebijakan Umum Propinsi selanjutnya dilakukan penanda tanganan Nota Kesepakatan Arah Kebijakan Umum antara pemerintah propinsi dengan DPRD DIY. (Proses dan mekanisme, lihat pada tabel diatas)

Maksud dari Nota Kesepakatan tersebut adalah : Pertama, menyamakan persepsi antara Legislatif dan Eksekutif tentang Arah dan Kebijakan Umum APBD; Kedua, menyamakan langkah tindak perencanaan, pelaksanaan pembangunan daerah dan pelayanan masyarakat; serta Ketiga, menyerasikan dan menyelaraskan berbagai aspirasi dari seluruh potensi pembangunan di DIY agar terjadi sinergi dalam perencanaan program, kegiatan dan anggaran, serta pelaksanaannya dalam satu tahun anggaran.

Adapun tujuan dari Nota Kesepakatan itu adalah : Pertama, tersedianya suatu kerangka pikir yang disepakati bersama mengenai formulasi serta muatan Arah dan Kebijakan Umum APBD; dan Kedua, tersedianya dokumen perencanaan perencanaan sebagai arahan dan kebijakan umum dalam penyusunan program, kegiatan dan anggaran tahunan di daerah agar berbagai kegiatan pembangunan di Propinsi DIY dapat terlaksana dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Pasca penandatanganan AKU, selanjutnya ditetapkan Strategi dan Prioritas program pemerintah yang kemudian diturunkan ke dalam berbagai macam program kegiatan sesuai dengan Tupoksi masing-masing bidang kerjanya.

Dalam melakukan pencermatan program dan anggaran Dinas/Kantor/Badan pemerintah propinsi berprinsip pada tiga asas, yakni : efisiensi, efektifitas, dan rasionalitas. Sehingga program-program yang diajukan oleh pemerintah sepanjang memenuhi tiga prinsip dasar tersebut tidak akan mengalami hambatan dalam pembahasannya. Namun sebaliknya, program serta anggaran yang tidak memenuhi ketiga kriteria di atas akan mengalami pembahasan yang panjang dan terkadang berlarut-larut dimana keputusan terburuknya adalah penolakan atas program dan anggaran yang diajukan.

Memang dalam prakteknya ketika melakukan pencermatan usulan program dan anggaran dari dinas-dinas ini masih terdapat pemahaman yang berbeda diantara para anggota Dewan tentang pengertian efisiensi dan rasionalisasi. Ada anggota dewan yang memaknai efisiensi dengan melakukan pemangkasan kegiatan dinas sedangkan anggarannya tidak dipangkas, namun di sisi yang lain ada pula yang memaknai bahwa efisiensi adalah melakukan pemangkasan anggaran sedangkan kegiatannya tetap tidak dilakukan pemangkasan.

Adapun pemahaman tentang rasionalisasi diantara anggota Dewan juga bervariasi, ada yang berpendapat bahwa rasionalisasi adalah melakukan pengurangan angka pada kegiatan yang diajukan saja tanpa menambah angka dan kegiatan. Yang lainnya berpendapat bahwa rasionalisasi bisa dilakukan dengan penambahan angka-angka dan penambahan kegiatan jika dirasa perlu. Dan untuk kegiatan yang sudah rasional/logis/masuk akal tidak perlu dilakukan pemangkasan.

Banyaknya variasi pemahaman atas pencermatan anggaran inilah yang mempengaruhi dinamika pembahasan anggaran di DPRD sehingga berlangsung lama dan kesannya bertele-tele. Beberapa catatan atas pencermatan program dan anggaran untuk tahun anggaran 2005 adalah sebagai berikut :
1. Rata-rata masih ditemukan inefisiensi anggaran khususnya pada pos belanja Sidang, Jamuan Sidang, Alat Tulis Kantor dan Perjalanan Dinas.
2. Belum ada keseragaman harga dalam belanja modal, misalnya pembelian Komputer, LCD, OHP ataupun AC.
3. Orientasi anggaran yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat umum masih minim.
4. Terjadinya overlapping kegiatan yang dilakukan oleh dinas dalam penanganan NARKOBA, AIDS/HIV. Dalam artian hampir seluruh dinas mengajukan kegiatan untuk menangani NARKOBA, AIDS/HIV. Untuk itu direkomendasikan agar dilakukan koordinasi dimana Badan Narkotika Propinsi sebagai fasilitatornya.
5. Terjadinya overlapping kegiatan antar bagian dalam satu dinas, sehingga antisipasinya adalah dengan melakukan penggabungan kegiatan dengan judul kegiatan dan anggaran yang menyesuaikan.
6. Anggaran rehabilitasi dan pembangunan fisik pada dinas mitra kerja beberapa Komisi yang diajukan melalui dinas Kimpraswil tidak muncul dalam RASK Kimpraswil, misalnya pembangunan garase mobil laboratorium milik RS Ghrasia bantuan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) serta pagar keliling RS tersebut dan lain-lain, maka mengingat urgensinya Komisi merekomendasikan beberapa usulan rehabilitasi tersebut.

PENUTUP

Akhirnya, dapat disampaikan bahwa DPRD sebagai representasi rakyat saat ini telah melakukan peran dan fungsinya secara optimal untuk mencapai masyarakat madani (civil society) yakni masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Meskipun masih terdapat kekurangan di sana-sini, dan hal ini lumrah mengingat di dunia ini tidak ada sesuatu yang sempurna.

Sebagai propinsi yang berdasar filosofis pembangunan HAMEMAYU HAYUNING BAWONO, sudah selayaknya apabila dalam setiap penyusunan program dan anggarannya lebih menitik beratkan pada kegiatan yang langsung dirasakan oleh masyarakat luas, dalam artian belanja publik harus lebih dikedepankan dibandingkan belanja aparatur. Wallahua?lam bishowab.


* Penulis adalah Sekretaris Komisi E DPRD Propinsi DIY. (Drs. M. Afnan Hadikusumo *))

Ketua DPRD Salahudin STP:

Pelaksanaan Otda Masih Gamang

PELAKSANAAN otonomi daerah, meskipun sudah berlangsung empat tahun, boleh dibilang masih dalam keadaan transisi. Dalam masa itu, lembaga eksekutif maupun legislatif sama-sama masih mengalami kegamangan dalam mengambil kebijakan.

"Kegamangan itu bisa terjadi akibat peraturan pelaksanaan UU No 32/2004 belum semuanya turun," kata Ketua DPRD Kota Pekalongan, Salahudin STP.

Apakah kegamangan juga terjadi di DPRD Kota Pekalongan?

Ya, kebingungan itu pernah dilakukan ketika DPRD akan menyusun tata tertib (tatib). Saat itu UU 32/2004 belum keluar, sehingga merepotkan anggota Dewan. Untuk itu, legislatif dan eksekutif harus bolak-balik ke provinsi untuk menanyakan ketentuan tatib itu.

Yang terakhir soal aturan mengenai larangan PNS yang harus netral dalam pilkada. Aturan itu menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, sehingga antara eksekutif dan legislatif mempunyai persepsi yang berbeda. Termasuk beberapa aturan lainnya menyangkut pilkada yang cukup membingungkan.

Bagaimana dengan fungsi DPRD sendiri dalam otda?

Kami merasakan dengan otda, khususnya mengacu UU No 32/2004, fungsi DPRD justru terkurangi. Fungsi legislatif itu kan ada tiga, yakni fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan legislasi. Fungsi pengawasan kini hanya pengawasan penggunaan APBD. Tidak ada lagi fungsi anggaran, karena yang berhak mengajukan RAPBD hanya eksekutif.

Fungsi legislasi menyangkut kewenangan menetapkan perda. Itu pun tidak ada kebebasan. Sebab perda-perda menyangkut retribusi pajak dan APBD harus disampaikan kepada gubernur untuk diklarifikasi. Selain itu, pertanggungjawaban anggaran eksekutif sudah tidak lagi pada DPRD, tetapi kepada mendagri melalui gubernur.

Apa ini artinya?

Itu artinya akan muncul kecenderungan eksekutif kurang perhatian terhadap peran DPRD. Kecenderungan kurang perhatian itu akan akan jelas pada saat wali kota nanti dipilih langsung oleh rakyat. Wali kota bakal merasa bisa jadi kepala daerah karena dipilih rakyat, sehingga fungsi DPRD tentu lebih diabaikan daripada sekarang ini.(32)

7 Des. 2004

Akuntabilitas Publik dan Fungsi Pengawasan DPRD

Publ.

Konrad-Adenauer-Stiftung e.V.

ISBN

979-98977-3-4

Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) adalah Organisasi otonom dan independen terdiri dari 86 DPRD Kota dari seluruh Indonesia. ADEKSI didirikan pada tanggal 26 Juni 2001 melalui suatu musyawarah nasional DPRD Kota Seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Surabaya dengan tujuan untuk dapat memberi kontribusi bagi pelaksanaan otonomi daerah sejak Undang-Undang 22 Tahun 1999 ditetapkan. Sesuai dengan Anggaran Dasar ADEKSI, organisasi ini melaksanakan tiga kegiatan utama yakni memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan pengembangan kapasitas anggotanya, kegiatan advokasi dan penyediaan layanan informasi dan publikasi. ADEKSI melakukan kerjasama dan didukung oleh lembaga lain baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki misi dan visi yang sejalan, diantaranya terciptanya tata pemerintahan lokal yang baik (good local governance), peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah melalui peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Yayasan Konrad Adenauer (KAS) adalah salah satu yayasan Jerman terkemuka yang didirikan pada tahun 1964 dan dinamai sesuai Kanselir pertama Republik Federal Jerman. Memiliki program di lebih dari 100 negara, KAS bertujuan mengembangkan demokrasi, menegakkan aturan-aturan hukum dan sistem ekonomi pasar sosial. KAS tidak memiliki maksud menerapkan secara langsung konsep-konsep dan model-model yang telah berhasil digunakan di Jerman, melainkan menawarkan kerjasama melalui diskusi dan tukar pengalaman antara mitra-mitra dari luar negeri, sehingga tercapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam rangka memberikan kontribusi bagi masa depan Indonesia, KAS menjalin kerjasama baik dengan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, media, dan sebagainya. Fokus kegiatan KAS mencakup civic education dan policy advice, dialog politik dan ekonomi, serta pemahaman antar agama dan budaya.

Akhir-akhir ini banyak lelucon yang dialamatkan oleh publik kepada DPRD Kabupaten Kaimana. Ada lelucon yang mengatakan DPRD Kabupaten Kaimana adalah ‘lembaga tukang stempel’ ‘lembaga pengetok palu’ bahkan terakhir ini katanya fungsi lembaga legislatif Kaimana telah ditambah satu menjadi empat fungsi, yaitu fungsi legislation, budgetting, controlling, dan travelling.

Lelucon-lelucon itu menggambarkan kekecewaan dan pesimisme publik terhadap kinerja lembaga legislatif di Kaimana. Skripsi ini memuat kajian terhadap pelaksanaan salah satu fungsi pada DPRD Kabupaten Kaimana. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan melalui berbagai metode dan pendekatan.
Hasil penelitian ini ternyata membenarkan dugaan tentang lemahnya pelaksanaan pengawasan fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Kaimana. Selain itu, penelitian ini juga telah menemukan beberapa factor yang berpengaruh signifikan terhadap lemahnya kinerja pengawasan pada DPRD Kabupaten Kaimana. Semuanya disajikan dalam Bab IV.

BAB I
P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat disangkal bahwa penguatan peran lembaga legislatif di era reformasi ini adalah suatu keharusan yang tidak dapat dibantahkan lagi. Seperti diketahui fungsi dan peran DPRD adalah melaksanakan fungsi-fungsi, budgeting, legislation, dan controlling sudah merupakan kebutuhan internal bagaimana DPRD dapat menciptakan suatu mekanisme kerja yang dapat mengoptimalkan kinerjanya. Menumbuhkan kesadaran DPRD akan fungsi yang diembannya merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Karena masyarakat madani sangat berharap banyak agar DPRD dapat melakukan fungsi-fungsi parlemennya dengan peran yang lebih nyata dan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.
Akhir-akhir ini muncul gelombang protes dari kalangan aktivis mahasiswa dari pusat hingga ke daerah terhadap terbitnya Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2006 yang berimplikasi terhadap naiknya beberapa item penerimaan atau gaji anggota DPRD. Belakangan ditegaskan oleh pemerintah bahwa itu dimaksudkan sebagai tambahan biaya operasional atau komunikasi. Fenomena gelombang tuntutan yang dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa dan aktivis pro demokrasi terhadap lembaga legislatif kita dari pusat hingga ke daerah paling tidak didasari atas beberapa alasan:
1. Lembaga legislatif yang diharapkan sebagai “wasit” dalam penyelanggaraan pemerintahan dan pembangunan itu malah terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme;
2. Lembaga legislatif di banyak daerah ternyata tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal;
3. Para wakil rakyat itu ternyata tidak dapat menampung dan menyalurkan aspirasi konstituennya;
4. Para wakil rakyat itu cenderung kepada kekuasaan (power oriented);
5. Secara keseluruhan kinerja lembaga legislatif berada pada posisi yang mengecewakan;
Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga perwakilan tempat masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan menyuarakan kepentingannya, lewat lembaga ini akan keluar kebijakan yang menjadi dasar bagi eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah. Lahirnya lembaga perwakilan menjadi suatu keharusan karena sistem demokrasi langsung (direct democracy) yang dilaksanakan pada zaman Yunani Kuno sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilaksanakan.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut termasuk didalamnya luasnya wilayah suatu negara, pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, dinamika politik yang terjadi dimasyarakat begitu cepat yang tentunya memerlukan penanganan secara cepat, begitu juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kendala untuk tetap melaksanakan demokrasi langsung, tidak seperti zaman dahulu ketika Yunani Kuno menerapkan demokrasi langsung populasi penduduk masih relatif sedikit, wilayah yang tidak terlalu luas dan juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak seperti yang kita alami sekarang ini. Sebagai ganti dari demokrasi langsung maka lahirlah demokrasi perwakilan, yang diwujudkan dengan adanya pembentukan lembaga tempat untuk menyuarakan berbagai kepentingan dan kehendak masyarakat. Secara umum lembaga ini dikenal dengan nama “parlemen”.
Gagasan parlemen sebagai badan atau lembaga yang menjalankan fungsi legislatif bervariasi penerapannya di berbagai negara. Dalam beberapa konstitusi, parlemen disebut dengan bermacam-macam nama. Untuk pengertian yang kurang lebih sama dengan pengertian parlemen, biasanya digunakan perkataan-perkataan yang berasal dari tradisi dan bahasa lokal dari negara yang bersangkutan. Tetapi banyak juga yang mengunakan perkataan Inggris, tentunya karena pengaruh dari bahasa Inggris. Di Indonesia lembaga ini disebut Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau disingkat DPR RI untuk tingkat pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau disingkat DPRD untuk tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
David E. Apter (1998), apapun nama dan sebutan yang diberikan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan hal yang sangat esensial sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat banyak. Lewat lembaga perwakilan rakyat inilah aspirasi masyarakat ditampung dan dituangkan dalam berbagai kebijakan umum.
David E. Apter (1998), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam sistem politik dan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia adalah merupakan salah satu lembaga tinggi negara dan sebagai wahana melaksanakan Demokrasi Pancasila.
Arbi Sanit (1982), Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan perangkat kenegaraaan yang sangat penting disamping perangkat-perangkat kenegaraan yang lain, baik yang bersifat infra struktur maupun supra struktur politik. Setiap pemerintahan yang menganut sistem demokrasi selalu didasari suatu ide bahwa warga negara seharusnya dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan politik
B.N. Marbun (2002), dalam sistem pemerintahan yang demokratis, konsep kedaulatan ini sangat menentukan untuk dijadikan sebagai parameter. Dalam sistem tersebut dinyatakan bahwa tidak ada kekuasaan mutlak dan semua keputusan politik harus mendapatkan persetujuan dari rakyat secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem perwakilan. Walaupun demikian menurut Prof. Bryce dalam buku Modern Democracies menyatakan bahwa demokrasi merupakan suatu pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan mayoritas warga negara yang cakap dijalankan. Adapun demokrasi yang dijalankan adalah melalui perwakilan, dimana rakyatlah yang memilih wakil-wakilnya, menurut dasar demokrasi keputusan tertinggi dalam pemerintahan negara terletak ditangan rakyat melalui perantara badan perwakilan, anggota masyarakat yang mewakili disebut wakil politik.
Fungsi badan perwakilan rakyat yang mencirikan demokrasi modern ini memperkenalkan nama badan legislatif atau badan pembuat undang-undang kepadanya dan juga bertindak sebagai pengawas pelaksana undang-undang tersebut. Melalui fungsi pengawasan ini parlemen menunjukkan bahwa dirinya sebagai wakil rakyat dengan memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya kedalam pasal-pasal undang-undang mengawasi perjalanan pelaksanaannya.
Dengan demikian dalam penelitian skripsi ini akan dititik beratkan pada kajian tentang salah satu fungsi pokok DPR yaitu fungsi pengawasan, bahwa fungsi pengawasan dimaksud adalah pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Dari gambaran ini akan di peroleh gambaran sejauh mana DPRD Kabupaten Kaimana telah menjalankan fungsinya kontrolnya yang biasa dijadikan sebagai indikator adanya proses demokratisasi, sebaliknya kurang atau tidak berjalannya fungsi kontrol yang dimiliki oleh DPR dapat dijadikan kurang atau tidak berjalannya proses demokratisasi, sebab DPR sendiri merupakan lembaga/perangkat demokrasi.
Dewan perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat untuk mengemban amanat memperjuangkan keperntingan, kemauan masyarakat ternyata tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Tidak berfungsinya Dewan Perwakilan Rakyat secara maksimal dizaman Orde Baru banyak menuai kritikan dari masyarakat, seperti lembaga “tukang stempel” atas kebijakan pemerintah, tidak responsif melihat aspirasi dan kepentingan masyarakat dan cenderung mengikuti kemauan pemerintah. Banyak faktor yang mengakibatkan ketidakberdayaan DPRD Kabupaten Kaimana, mulai dari kualitas SDM anggota dewan, komitmen para wakil rakyat itu, kontrol masyarakat, kemampuan Sekretariat Dewan yang minim, dan lainnya. Hal inilah yang memungkinkan ketidakberdayaan dewan dalam menjalankankan fungsinya secara maksimal.
B. Rumusan Masalah
Dari cakupan judul di atas, Pelaksanaan Fungsi Pengawasan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kaimana, maka dapatlah dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut: Sejauh mana pelaksanaan fungsi pengawasan pada DPRD Kabupaten Kaimana periode 2004 - 2009? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi rendahnya kinerja pengawasan pada DPRD Kabupaten Kaimana periode 2004 -2009?

C. Hipotesa
Masalah penelitiansebagaimana terumus di atas dapat diambil hipotesa sebagai berikut.
1. Diduga bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan pada DPRD Kabupaten Kaimana sangat lemah.
2. Rendahnya kinerja pengawasan pada DPRD Kabupaten Kaimana disebabkan oleh :
a. Rendahnya kualitas sumber daya manusia;
b. Lemahnya kemampuan manajerial atau kepemimpinan;
c. Lemahnya faktor dukungan (control) masyarakat;
d. Keterbatasan dana;
e. Rendahnya komitmen atau motivasi anggota DPRD.

D. Defnisi Operasional
Pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggung jawab setiap pimpinan pada tingkat manapun. Pada penelitian ini pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan legislatif sebagaimana dimaksudkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 162 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
Sehingga pengawasan dalam penelitian ini meliputi pengawasan terhadap 1) Peraturan Daerah, 2) APBD, 3) Peraturan perundangan lainnya, 3) Dana Otsus, 4) Proyek-proyek pusat di daerah, 5) Keputusan Kepala Daerah, dan 6) Asset daerah
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Akademis
Studi ini berupaya untuk memahami, menjelaskan, dan mendeskripsikan pelaksanaan fungsi pengawsasan pada DPRD Kabupaten Kaimana dan faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya kinerja pengawasan. Penelitian ini juga dilakukan untuk menguji beberapa variabel yeng mempengaruhi kinerja yang dirumuskan oleh beberapa ahli, misalnya Devas, Kaplan dan Northom, serta lainnya.
2. Tujuan Praktis
Dengan terungkapnya faktor-faktor penyebab lemahnya kinerja pengawasan pada DPRD Kabupaten Kaimana, maka diharapkan dapat menjadi acuan bagi program pemberdayaan atau peningkatan kapasitas dan kinerja lembaga DPRD.

F. MetodePenelitian
Dalam penelitian ilmiah, metode merupakan pedoman yang harus digunakan dalam memecahkan berbagai masalah,penggunaan metode sangat membantu penulis untuk berpikir secara tepat dan meningkatkan sifat obyektivitas dalam mencari kebenaran pengetahuan.
Penelitian juga merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
Dalam formulasi yang lain, John Dewey mengartikan bahwa metode penelitian sebagai suatu cara untuk memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan atau pemecahan suatu masalah. Selanjutnya Almack (1939) mendefinisikan bahwa metode ilmiah adalah suatu cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan, dan penjelasan kebenaran. Dengan demikian maka penelitian pada dasarnya adalah proses penerapan metode ilmiah tersebut yang hasilnya adalah ilmu (kebenaran).
Metode pengumpulan data atau prosedur penyaringan data dan informasi ditampilkan dalam bentuk metodologi yang meliputi: rancangan penelitian, metode pemilihan sampel, metode pengumpulan data.

1. Wilayah /Lokasi Penelitian
Untuk melihat kinerja lembaga legislatif dalam melaksanakan fungsi pengawasannya dan variabel yang berpengaruh atas rendahnya kinerja pengawasan, maka penelitian akan menganalisa unit analisa dalam dua kategori; pertama adalah analisa kuantitatif terhadap aspek sejauh mana kinerja pengawasan dan analisa kualitatif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengawasan secara deskriptif.
Penelitian ini sengaja dilakukan di Kabupaten Kaimana dengan memilih lokasi sampel di kota Kaimana dan sekitarnya dengan alasan:
1. Untuk keperluan penelitian, peneliti lebih dimudahkan dari sisi teknis dan non teknis;
2. Kabupaten Kaimana sebagai salah satu Kabupaten pemekaran dengan kompleksitas permasalahan kinerja lembaga legislatif merupakan hal yang menarik untuk diteliti, terutama dari sisi kelembagaannya.

2. Responden/Informan
Informan dan responden yang bertindak sebagai sumber data dan informasi dipilih dari beberapa aparat pelaksana program, pihak swasta, dan masyarakat. Kriteria pemilihan informan sebagai narasumber (key informan) dalam penelitian ini adalah sebagai beriku:
a. Memiliki posisi penting di instansi yang bersangkutan, dan untuk kelompok masyarakat adalah kepala kampung dan lurah;
b. Mengetahui dengan baik mengenai masalah dalam penelitian ini
c. Oleh karena itu, ada beberapa instansi yang terlibat di dalamnya, maka informan yang akan dijadikan narasumber adalah 2 (dua) orang dari masing-masing instansi, dinas, bagian, kantor, atau badan, 12 orang dipilih dari masyarakat, dan 5 orang dari kalangan pengusaha (pihak swasta). Jadi total informan yang akan dijadikan responden adalah sebagai berikut:
Sebanyak 15 (lima belas ) orang dari 50 orang dari kalangan birokrat yang terpilih akan diwawancarai secara mendalam guna memperoleh informasi kualitatif mengenai faktor-faktor penyebab lemahnya kinerja pengawasan pada DPRD.
3. Jenis Data
a. Data Primer
Untuk memperkaya dan mempertajam penelitian bagi penarikan kesimpulan, maka data primer yang akan digunakan meliputi hal berikut ini:
? Wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan terhadap narasember (key informan) yang mengetahui fenomena yang ingin diketahui;
? Data mengenai laporan pelaksanaan program pengawasan DPRD

b. Data Sekunder
Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang berupa angka atau penjelasan mengenai suatu peristiwa yang berkaitan dengan fenomena pelaksanaan fungsi pengawasan pada DPRD Kabupaten Kaimana yang meliputi laporan pelaksanaan pengawasan, data-data dari sekretariat DPRD, perpustakaan, serta sumber data lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data
a. Pengumpulan data sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan melalui penelitian ini berupa kutipan data sekunder dengan cara mengutip dan menggunakan data yang tersedia dari sumber data untuk menganalisis dan menginterpretasi fenomena atau variabel analisis. Sumber data untuk jenis data ini berasal dari dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan instansi lembaga legislatif.
Data sekunder juga diperoleh dengan cara menelaah dokumen-dokumen resmi, data pelaksanaan pengawasan, peraturan perundangan, arsip, dokumentasi, dan data tertulis lainnya yang relevan dengan masalah penelitian ini.
b. Pengumpulan data primer
Untuk tipe data primer, pengumpulannya dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview) dan penyebaran questioner. Wawancara mendalam yang dilakukan bersifat terbuka yang membuka kesempatan kepada informan untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang fenomena penelitian.
Wawancara mendalam,yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan melalui kontak langsung antara pencari informasi dan sumber informasi. Teknik wawancara mendalam ini dilakukan secara terstruktur,namun tetap memberikan kebebasan kepada narasumber untuk memberikan pandangan atau mengemukakan persepsinya mengenai fenomena penelitian. Teknik ini dilakukan terutama untuk menggali informasi tentang faktor-faktor penyebab rendahnya kinerja pengawasan.
Teknik observasi juga dilakukan sebagai studi yang secara sengaja dan sistematis untuk mengamati fenomena sosial dan gejala-gejala psikis yang ada dalam rangka analisis. Dengan cara ini, peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap aktivitas kerja DPRD.

5. Metode Analisis Data
Penelitian ini pada prinsipnya menggunakan metode kualitatif yang menurut Bodgan dan Taylor akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu secara holistic menggunakan metode deskriptif sehingga dapat memperoleh gambaran mengenai realitas sosial yang kompleks mengenai pelaksanaan pengawasan, dengan menggunakan konsep dan teori atau model yang telah dikembangkan ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap implementasi kebijakan publik.
Penggunaan metode ini tentu beralasan, terutama pertimbangan ilmiah sesuai konsep yang dikemukakan oleh Maleong. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif melalui berbagai variabel yang dijadikan ukuran sebelumnya untuk mengetahui secara pasti penyebab kegagalan pelaksanaan fungsi pengawasan.
Metode kualitatif yang dumaksudkan dalam analisis ini adalah analisis terhadap data baik dari dokumen, wawancara atau keterangan yang didukung oleh data lapangan dan informasi yang akurat. Langkah-langkah yang dilakukan adalah pengorganisasian data yang dikumpulkan yang terdiri atas catatan,komentar, dari informan di lapangan, dokumen, artikel, dan lain sebagainya.

G. Sistematika Tulisan
Sistematika penulisan dari skripsi ini disusun berdasarkan pembabakan sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan yang berisi; latar belakang masalah, pokok masalah, kerangka teori sebagai pisau analisa, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II. Berisi Kerangka Teori dan Konsep sebagai pisau analisa.
BAB III. Merupakan Gambaran Umum Kabupaten Kaimana dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kaimana.
BAB IV. Memuat penyajian data dan analisanya yang terdiri dari pelaksanaan pengawasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya pengawasan.
BAB V. Penutup yang menjelaskan kesimpulan penelitian dan rekomendasi penelitian

Fungsi Pengawasan DPRD Belum Optimal

PDF

| Print |

E-mail

Wednesday, 21 January 2009 13:58

TANAH GROGOT - Fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Paser dinilai sebagian besar masyarakat belum optimal. Padahal, fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi utama, selain fungsi legislasi dan anggaran. Peraturan undang-undang yang mengatur tentang fungsi pengawasan, dianggap masih bersifat global dan tidak bisa dijadikan panduan.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPRD diharapkan benar-benar dapat memastikan pemerintah daerah berpihak pada kepentingan publik. Pemerintah pun harus mampu mewujudkan tujuan dan kepentingan bersama yang sudah disepakati dalam proses legislasi dan penganggaran.
Menanggapi persepsi kinerja lembaganya, Ketua DPRD Paser HM Mardikansyah mengatakan, pada hakekatnya aspirasi masyarakat dalam bidang pengawasan, secara melembaga sudah terwakili melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga DPRD. “Namun secara non formal, fungsi pengawasan masyarakat memang masih sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan,” kata HM Mardikansyah.
Dituturkannya, untuk melaksanakan fungsi pengawasan, DPRD Paser sudah melakukan berbagai program diantaranya kunjungan kerja ke kecamatan dalam upaya menindaklanjuti laporan masyarakat serta melakukan monitoring pelaksanaan pembangunan secara berkala yang dilakukan oleh masing-masing komisi.
“Pengawasan pembangunan oleh dewan selama ini dilaksanakan berdasarkan bidang-bidang pembangunan yang dilaksanakan oleh komisi-komisi DPRD. Hasil temuan di lapangan di sampaikan melalui rapat-rapat komisi dan dengar pendapat bersama pemerintah daerah untuk ditindak lanjuti dalam pelaksanaan pembangunan di daerah,” jelasnya.
Mardikansyah menyadari, fungsi pengawasan wakil rakyat tidak dirasakan masyarakat sehingga timbul anggapan pengawasan kurang efektif dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
“Persepsi masyarakat terhadap kinerja pengawasan dewan hendaknya dapat dijadikan indikator sebagai upaya peningkatan pengawasan pembangunan yang dilakukan oleh anggota dewan. Namun masyarakat juga harus mengetahui bahwa sistem pengawasan yang dilakukan oleh dewan merupakan sistem pengawasan politis yang melembaga,” tandasnya.
Pihaknya berterimakasih atas kritik yang disampaikan masyarakat. Sebab hal itu sebagai wujud kepedulian dalam membangun daerah yang bermuara pada terciptanya pembangunan kesejahteraan masyarakat dan akuntabilitas pembangunan. (atw)

1. Mekanisme dan Pelaksanaan Pengawasan

Pengawasan merupakan fungsi yang paling intensif yang dilakukan DPRD khususnya di Kota Bandung, hal ini sesuai dengan penekanan yang sering lebih besar terhadap orientasi politik oleh anggota dan alat kelengkapan DPRD. Hal tersebut menunjukkan kenyataan fungsi lembaga perwakilan dibagi menjadi dua yaitu; legislatif atau pembuatan peraturan perundang-undangan atau control (melalui pertanyaan, interpelasi, angket), serta pendidikan politik.[1] Cara pandang ini tidak dapat diterapkan begitu saja pada perkembangan legislatif dewasa ini.

Ketika sistem dan prosedur pengawasan DPRD Kota Bandung dipertanyakan, sebagian besar pengawasan tersebut mengacu pada UU No. 32 tahun 2004, serta berbagai Peraturan Pemerintah dan Tata Tertib yang dirumuskan oleh DPRD Kota Bandung. Ketika berbagai penjelasan yang berbeda-beda, pengawasan oleh DPRD Kota Bandung pada dasarnya memenuhi rincian fungsional yang berlaku secara khusus di Bandung. Pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD Kota Bandung adalah tugas yang dilaksanakan oleh komisi untuk mereview, mempelajari dan mengevaluasi secara kontinue beberapa aspek sebagai berikut :

Pertama, pengawasan DPRD Kota Bandung seharusnya menilai penerapan dan keefektifan peraturan perundang-undangan. Pengawasan tersebut mamantau pejabat eksekutif melaksanakan peraturan sesuai dengan maksud lembaga legislatif. Ptakteknya di DPRD Kota Bandung tidak dilaksanakan atau tidak mendapatkan perhatian dan tidak ada alokasi sumberdaya yang cukup dari DPRD, hampir tidak ada program atau kegiatan pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD Kota Bandung untuk menilai efektifitas pelaksanaan Peraturan Daerah. Pada dasarnya DPRD Kota Bandung menganggap bahwa Pemerintah Kota Bandung dianggap mempunyai kapasitas yang memadai untuk melaksanakan Peraturan Daerah. Pengawasan internal pula juga diperlukan ketika DPRD melaksanakan fungsi-fungsinya. Misalnya, ketika merumuskan peraturan perundang-undangan, DPRD harus melakukan pengawasan internal agar pertentangan Raperda yang sedang dibahas terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya atau Perda lain dapat dihindarkan.

Kedua, pengawasan yang dilakukan oleh DPRD Kota Bandung juga dilakukan terhadap pengadministrasian dan pelaksanaan program-program yang diciptakan dengan peraturan. Misalnya, Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2005 mengenai Penyelenggaraan Ketertiban, Keindahan dan Kebersihan (K3) yang sudah resmi diundangkan pada tanggal 8 April 2005 dan efektif berlaku April tahun 2006. Adapun dalam pengawasan ini, DPRD dapat merumuskan rekomendasi kebijakan apakah program pemerintahan tersebut dapat dilanjutkan, diperbaiki, atau perlu dikaji ulang kembali. Pengawasan terhadap kebijakan seperti ini sering dilaksanakan oleh DPRD Kota Bandung karena pada umumnya terkait dengan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang tentunya melibatkan APBD yang tidak sedikit.

Ketiga, pengawasan DPRD Kota Bandung juga dilakukan terhadap lembaga-lembaga daerah dan pelaksanan berbagai kegiatan lain di tingkat daerah, terutama jika mereka terkait dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain, termasuk pendayagunaan sumber keuangan negara. Adapun yang masuk dalam kategori ini adalah pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan kepala daerah dan pelaksanan APBD. Keputusan Kepala Daerah mendapatkan penekanan yang jauh lebih kecil dalam pengawasan dibandingkan dengan pelaksanaan APBD. Demikian pula pengawasan terhadap retribusi pasar sering dilakukan oleh DPRD sebagaimana pengawasan terhadap Perda Nomor 19/2001 yang menurut anggota komisi B DPRD Kota Bandung Lia Hambali harus direvisi sehubungan dengan pasar yang selalu meluber ke jalan sehingga mengganggu keindahan dan kenyamanan Kota Bandung. Pada Perda 19/2001 tentang Pengelolaan Pasar, salah satu pasalnya menyebutkan pengelola pasar membolehkan pemungutan retribusi kepada pedagang dalam radius 200 meter dari pasar. Sejak pasal itu diberlakukan pedagang mulai melirik lahan di luar pasar yang setidaknya lebih strategis dibandingkan kios yang berada di dalam. Berbagai alternatif pemecahan masalah kerap telontar. Misalnya, revisi perda yang membuat kelonggaran bagi para pedagang seperti Perda Kota Bandung Nomor 19/2001 harus direvisi. Harus tidak ada lagi toleransi dalam radius satu meter pun, sehingga tidak ada pedagang yang luber ke jalan. Dengan demikian, pemerintah pun tidak boleh mengutip retribusi di luar pasar karena cara itu dijadikan alat legalitas oleh pedagang,” ujar Ketua Komisi B DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali.[2] Di samping pengawasan tersebut, untuk meningkatkan retribusi pasar Ketua Komisi A DPRD Kota Bandung H. Muchjidin Effendie menyarankan adanya perubahan status dari Dinas Pasar menjadi BUMD berupa Perusahaan Daerah (PD) Pasar. Muchjidin mencontohkan, di Surabaya telah dilakukan perubahan tersebut dengan menempatkan orang-orang yang tepat (the right man on the right place) ketika status Dinas Pasar menjadi PD pasar.

Keempat, sekalipun daerah kota Bandung telah mengklaim berbagai manfaat dari investasi dalam negeri dan investasi asing di daerah, DPRD Kota Bandung pada kenyataannya belum optimal melakukan pengawasan terhadap kondisi atau keadaan yang mengindikasikan perlunya atau diinginkannya legislasi tambahan atau legislasi baru. Ada dua aspek yang dapat dimasukkan dalam kategori ini yaitu, kebijakan Pemerintah Daerah dan pelaksanaan kebijakan internasional di daerah.

Kelima, pengawasan DPRD Kota Bandung juga dikaitkan dengan pembentukan tata pemerintahan yang bersih (clean government). DPRD dapat melakukan pengawasan, tapi DPRD sering kali dituduh menjadi salah satu sumber korupsi. Lembaga yang melakukan praktek korupsi tentu tidak dapat melakukan pengawasan yang dimaksudkan untuk membatasi praktek seperti ini. Korupsi paling sering dilakukan melalui penyusunan APBD dan penyalahgunaan PAD.[3] Hal inilah yang memang menjadi kendala bagi DPRD itu sendri dalam melakukan sosialisasi pengawasan.

Ketika DPRD Kota Bandung tidak mendapatkan apa yang diinginkan, maka kepentingan politik menjadi mengemuka. Dalam kondsisi seperti itu DPRD melakukan manuver politik untuk menjatuhkan Kepala Daerah. Praktek seperti ini tidak akan lagi dapat dilakukan, karena sistem pemilihan Kepala Daerah telah dilaksanakan secara langsung. Reformasi konstitusional akan menghendaki proses politik pengawasan oleh DPRD disesuaikan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baru.

Menurut hasil penelitian yang diperoleh, diketahui mekanisme pengawasan yang dilakukan DPRD Kota Bandung terhadap penyelengaraan pemerintahan adalah dengan mengacu kepada ketentuan perundangan yang berlaku dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004, yaitu jika setiap kebijakan apabila dilanggar atau tidak dilaksanakan, maka mekanisme peneguran atau pemanggilan terhadap pejabat pemerintahan tersebut harus dilakukan. Selanjutnya termasuk mekanisme pengawasan pula adalah dengan mendengarkan laporan keterangan dari Kepala Daerah perihal masa jabatannya baik di akhir masa jabatan maupun di akhir tahun anggaran. Salah satu hal yang pernah dilakukan DPRD kota Bandung dalam hal pertanggungjawaban Kepala Daerah adalah ketika pemerintah kota Bandung mengeluarkan berbagai peraturan daerah yang memang tidak sejalan dengan keinginan anggota dewan.

2. Standar Kerja dan Instrumen Pengawasan

Ketika masalah kerja dan instrumen pengawasan dibahas dalam musyawarah, sebagian besar anggota DPRD Kota Bandung menyatakan bahwa mereka mengikuti ketentuan yang ada dalam peratutan perundang-undangan dan kebijakan lain serta Tata Tertib DPRD. Dalam rangkaian peraturan dan kebijakan oleh alat kelengkapan DPRD dapat dilakukan dengan berbagai cara yang menjadi hak DPRD antara lain sebagai berikut :

a. meminta pertanggungjawaban walikota;

b. meminta keterangan kepada pemerintah daerah;

c. mengadakan penyelidikan; dan

d. mengajukan pernyataan pendapat.

Hak meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah adalah hak yang paling populer karena sifat politisnya. DPRD Kota Bandung dalam melaksanakan tugas pengawasannya berhak meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah tentang :

a. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan keuangan setiap akhir tahun anggaran; dan

b. Hal-hal tertentu atas permintaan DPRD.

DPRD kota khususnya dapat menolak pertanggungjawaban kepala daerah dengan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk pertanggungjawaban yang ditolak DPRD, Kepala Daerah secara aturan harus melengkapi dan menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama 30 hari. Kepala Daerah yang sudah melengkapi atau menyempurnakan pertanggungjawabannya kemudian menyampaikan kembali kepada DPRD, apabila pertanggungjawaban itu sudah dinyatakan ditolak untuk kedua kalinya, maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada presiden.

DPRD Kota Bandung dengan kewenangan yang dimiliki dapat menolak pertanggungjawaban Kepala Daerah. Penolakan pertanggungjawaban hanya dapat dilakukan apabila Kepala Daerah :

a. menyelenggarakan pemerintahan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. tidak dapat mempertanggungjawabkan penyelenggaraan APBD seperti yang telah disetujui DPRD; dan

c. melanggar ketentuan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lain.

Kewenangan dan mekanisme tersebut merupakan dasar pijak politik yang kuat bagi DPRD Kota Bandung, terutama ketika kepentingan-kepentingan lain diperhitungkan. Sementara pelaksanaan APBD relatif lebih mudah dipertanggungjawabkan oleh Kepala Daerah, pelaksanaan peraturan perundang-undangan mempunyai indikator keberhasilan dan ketaatan yang lebih fleksibel untuk ditafsirkan.

Selanjutnya DPRD juga mempunyai hak untuk meminta keterangan dari pemerintah daerah dan hak untuk melakukan penyelidikan. Pengaturan tentang pelaksanaan hak tersebut hampir sama. Pada dasarnya Tata Tertib DPRD Kota Bandung mengatur sebagai berikut :

a. Sekurang-kurangnya 5 (lima) anggota DPRD dapat menggunakan hak interpelasi dengan mengajukan usul kepada DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah secara lisan maupun tertulis mengenai kebijakana Pemerintah Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas kepada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara;

b. Usul tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPRD yang disusun secara tertulis, singkat, jelas, dan ditandatangani oleh para pengusul serta diberikan Nomor Pokok oleh Sekretariat DPRD;

c. Usul meminta keterangan dimaksud ayat (1) pasal ini, oleh pimpinan DPRD disampaikan pada rapat paripurna DPRD;

d. Dalam rapat paripurna para pengusul diberi kesempatan menyampaikan penjelasan lisan atas usul permintaan keterangan tersebut;

e. Pembicaraan mengenai sesuatu usul meminta keterangan, dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi serta para pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD;

f. Keputusan persetujuan atau penolakan terhadap usul permintaan keterangan kepada kepala daerah ditetapkan dalam rapat paripurna;

g. Usul permintaan keterangan DPRD sebelum memperoleh keputusan para pengusul berhak mengajukan perubahan atau menarik kembali usulnya;

h. Apabila rapat paripurna terhadap usul permintaan keterangan, Pimpinan DPRD mengajukan permintaan keterangan kepada kepala daerah.

Pimpinan DPRD meneruskan kepada pemerintah daerah agar diberikan kesempatan untuk mendapatkan keterangan atau mengadakan penyelidikan, apabila usul meminta keterangan atau mengadakan penyelidikan disetujui sebagai permintaan DPRD. Sementara meminta keterangan dapat dilakukan dengan menghadirkan pejabat pemerintah di DPRD, pelaksanaan penyelidikan dilaksanakan oleh panitia khusus yang dibentuk untuk itu. Secara lebih khusus penyelidikan dilaporkan dalam rapat paripurna. Selanjutnya penyelidikan ini dijadikan sebagai bahan atau dasar untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah.

Hak DPRD untuk mengajukan pendapat dan pertanyaan dilakukan dalam berbagai tingkat, yaitu pembahasan Perda, pembahasan RAPBD, dan perumusan rekomendasi kebijakan dari hasil pengawasan. Hak untuk mengajukan pendapat dan pertanyaan diatur dalam Tata Tertib DPRD Kota Bandung dengan mekanisme sebagai berikut :

a. Sekurang-kurangnya 5 (lima) anggota DPRD dapat mengajukan usul pernyataan pendapat terhadap kebijakan walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah;

b. Usul sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Pimpinan DPRD dengan disertai daftar nama dan tanda tangan para pengusul serta diberikan Nomor Pokok oleh Sekretariat DPRD;

c. Usul melakukan penyelidikan, oleh pimpinan DPRD disampaikan pada rapat paripurna, setelah mendapatkan pertimbangan dari panitia musyawarah;

d. Dalam rapat paripurna DPRD para pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan atas usul pernyataan tersebut;

e. Pembicaraan mengenai sesuatu usul pernyataan pendapat, dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi, walikota untuk menyatakan pendapat serta anggota DPRD yang mengusulkan untuk memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD lainnya itu dan atas pandangan walikota;

f. Usul pernyataan pendapat sebelum memperoleh kuputusan DPRD pengusul berhak mengajukan perubahan atau menarik kembali usulannya;

g. Pembicaraan diakhiri dengan keputusan DPRD, yang menerima atau menolak usul pernyataan pendapat menjadi pernyataan pendapat DPRD;

h. Menerima usul pernyataan pendapat keputusan DPRD berupa pernyataan pendapat, saran penyelesaian, dan peringatan.

Selanjutnya pengawasan yang dilakukan oleh DPRD Kota Bandung dapat dilakukan dengan meminta keterangan kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, warga masyarakat, dan hal-hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintah, dan pembangunan. Mekanisme ini jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan oleh DPRD. Karena pembahasan dalam sidang-sidang Perda dan penganggaran dianggap mencukupi, dengan mekanisme yang hampir sama dengan hak-hak DPRD. Pembicaraan mengenai sesuatu hal meminta keterangan dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada anggota DPRD untuk memberikan pandangan, dan para pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD lainnya.

Mengenai paparan tentang mekanisme dan muatan pengawasan tersebut dapat menunjukan bahwa pelaksanaan fungsi dan tugas pengawasan DPRD mempunyai dasar dan kerangka yang pasti. Hal ini sesuai dengan Tata Tertib kota Bandung yang dimiliki. Pelaksanaan yang mungkin sering terjadi adalah karena pelaksanaan fungsi dan tugas ini tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

KEDUDUKAN, FUNGSI, TUGAS DAN WEWENANG DPRD PROVINSI SULAWESI SELATAN
Kedudukan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan

1. DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur Lembaga Pemerintahan Daerah.
2. DPRD sebagai Unsur Lembaga Pemerintahan Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dengan Pemerintahan Daerah.


Fungsi DPRD Propinsi Sulawesi Selatan

1. Fungsi Legislasi, yaitu fungsi membentuk Peraturan Daerah yang dilakukan bersama-sama Kepala Daerah.
2. Fungsi Anggaran, yaitu bersama Kepala Daerah menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) tiap tahun.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.


Tugas dan Wewenang DPRD Propinsi Sulawesi Selatan

1. Membentuk Peraturan Daerah yang dibahas bersama Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
2. Menetapkan APBD bersama Kepala Daerah
3. Melaksanakan Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, Pelaksanaan APBD, Kebijakan Kepala Daerah dalam pelaksanaan kerja sama internasional di daerah.
4. Memberi persetujuan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah.
5. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
6. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh Undang-undang. Contohnya : melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).

KEDUDUKAN, FUNGSI, TUGAS DAN WEWENANG DPRD PROVINSI SULAWESI SELATAN
Kedudukan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan

1. DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur Lembaga Pemerintahan Daerah.
2. DPRD sebagai Unsur Lembaga Pemerintahan Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dengan Pemerintahan Daerah.


Fungsi DPRD Propinsi Sulawesi Selatan

1. Fungsi Legislasi, yaitu fungsi membentuk Peraturan Daerah yang dilakukan bersama-sama Kepala Daerah.
2. Fungsi Anggaran, yaitu bersama Kepala Daerah menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) tiap tahun.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.


Tugas dan Wewenang DPRD Propinsi Sulawesi Selatan

1. Membentuk Peraturan Daerah yang dibahas bersama Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
2. Menetapkan APBD bersama Kepala Daerah
3. Melaksanakan Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, Pelaksanaan APBD, Kebijakan Kepala Daerah dalam pelaksanaan kerja sama internasional di daerah.
4. Memberi persetujuan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah.
5. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
6. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh Undang-undang. Contohnya : melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar