Selasa, 08 Desember 2009

DEMOKRATIS TIDAKNYA PEMILU LANGSUNG

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari rakyat. Sehingga secara hierarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam Pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan Pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu. Tahun 2004, Partai Golongan Karya Kembali memenangkan Pemilu dengan merebut 125 kursi DPR.Tahun ini juga menjadi awal pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang kala itu dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla dari Demokrat.
Di tingkat lokal, pemilihan kepala daerah di Indonesia dari masa ke masa selalu ada perubahan yang evolusioner. Awalnya, penguasa lokal ditentukan dengan sistem dinasti (keluarga) secara turun-temurun. Di Indonesia, wilayah yang masih secara formal menggunakan sistem dinasti adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagai daerah istimewa DIY menerapkan dinasti keraton, yakni Sultan otomotis menjadi gubernur, dan Paku Alam menjadi wakil gubernur.
Pada masa Orde Baru, pemilihan kepala disebut sebagai masa “demokrasi seolah-olah”. Pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, dengan pemilihan yang katanya disebut sebagai pemilihan yang “Luber”. Namun kenyataannya, siapa yang akan jadi pemenang sudah diatur terlebih dahulu. Sehingga pemilihan yang dilakukan secara tertutup oleh anggota DPRD sebenarnya hanyalah sebuah “sandiwara” saja. Pada proses ini akan ada calon yang disebut sebagai calon pendamping ikut dalam pemilihan kepala daerah walau sudah tahu akan kalah. Namun begitu, tidak setiap orang bisa menjadi kepada daerah. UU No 5 Tahun 1974, pada pasal 14 huruf (n), menyebutkan syarat calon kepala daerah harus mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup di bidang pemerintahan setara eselon II seperti Sekwilda, atau jika dari ABRI (tentara maupun polisi) minimal berpangkat Letnan Kolonel. Dan karena calon pimpinan daerah sudah diatur oleh rezim yang berkuasa saat itu, yang dikenal dengan singkatan ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar), karenanya kapabilitas calon kemudian diprasyaratkan di luar ini akan sulit untuk masuk sebagai peserta pilkada. Karenanya, Orde Baru sering disebut sebagai bureaucratic government, yaitu sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh birokrasi, dan karena birokrasi di Indonesia dikendalikan oleh ABG, maka sumbernya selalu dari birokrat atau ABRI.
Yang menarik pada masa Orde Baru, selain ABG ada unsur lain yang justru lebih berpengaruh yaitu faktor C atau Cendana. Pengaruh dari Soeharto saat itu sangat kuat, sehingga semua bupati / wali kota maupun gubernur harus memperoleh restu dari Cendana. PPP dan PDI walau sebagai partai politik diakui keberadaannya hanya bisa menjadikan kadernya sebagai kepala daerah jika bernasib baik saja. Namun, daerah-daerah “subur” selalu diberikan pada ABRI (baca militer). Maka jangan heran gubernur di Pulau Jawa, termasuk DKI selalu jendral bintang dua, kecuali DIY yang mempunyai dasar istimewa. Bupati dan wali kota pun selalu jatah militer, kecuali daerah “kering” yang diberikan pada birokrat sipil. Polisi, yah, satu dua daerah masih dapat, namun tak bisa sebanyak yang didominasi militer.
Kondisi inilah yang menyebabkan para petinggi daerah lebih tunduk pada penguasa di Jakarta dari pada dengan rakyat di daerahnya. Pada masa ini proses pembelajaran politik berupa membangun partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas kepala daerah kepada masyarakat tidak terjadi. Masyarakat diposisikan pada obyek yang harus mengikuti apa yang dimaui oleh pusat.
Tahun 1988 kemudian menjadi masa bangkitnya demokrasi dan desentralisasi. Semenjak Orde Baru runtuh, tatanan politik di Indonesia berubah total. Kini kekuasaan justru terpencar ke parlemen, partai, swasta, masyarakat sipil, maupun preman. Apalagi UU No 22 tahun 1999 memberi kekuasaan yang sangat berlebih pada pada DPRD. Sehingga para wakil rakyat seperti menjadi penguasa baru. Kepala Daerah, terutama bupati dan wali kota kini tidak lagi bertanggung jawab pada pusat, namun secara horizontal kepada DPRD.
Maka yang berlangsung kemudian, peta politik di Indonesia telah bergeser dari yang tadinya bureaucratic government menjadi party government, executive heavy menjadi legislatine heavy dan floating mass menjadi mass society. Konfigurasi ini menjadikan iklim politik di Indonesia menjadi “aneh”. Aneh dalam arti yang terjadi bukan lagi etika politik yang berlangsung secara wajar, tetapi adalah bagaimana memaksakan irama politik untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Yang terjadi bukanlah bagaimana memperjuangkan nilai-nilai ideal jangka panjang dalam kultur politik yang sehat, tetapi justru “atraksi-atraksi” demi memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok.
Akibatnya aroma yang muncul pun menjadi tidak sedap. Intrik, manipulasi, konspirasi, money politics menjadikan aroma yang selalu menghiasi percaturan poliik saat itu. Partisipasi masyarakat juga tidak terbangun, karena semuanya dikendalikan oleh parlemen, yakni DPRD. Media massa pun kemudian selalu dihiasi dengan fakta-fakta berlangsungnya proses politik yang tidak sehat dan tidak beradab. Fakta yang kita temui, pilkada sering menghasilkan kepala daerah yang bermasalah. Mulai dari ijazah palsu, preman, pelaku kriminal, koruptor, sampai kepala daerah yang tidak mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai.
Para bupati / wali kota seperti menjadi raja-raja kecil. Gubernur pun seperti menjadi boneka saja, seolah tidak dihiraukan lagi oleh para bupati dan wali kota. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang harus dilakukan setiap tahun oleh bupati / wali kota untuk disampaikan pada DPRD bukan lagi menjadi instrumen untuk akuntabilitas, transparansi, dan evaluasi, namun telah berubah menjadi sarana “bargaining” bagi DPRD untuk meningkat posisinya dengan melakukan “serangan” terhadap eksekutif. Akibatnya, bupati / wali kota akan berusaha bagaimana caranya agar LPJ-nya bisa diterima DPRD, kalau perlu dengan cara membayar.
Kondisi inilah yang kemudian menjadikan rakyat semakin tidak percaya dengan para wakilnya di DPRD maupun dengan pimpinannya yang duduk di jajaran eksekutif. Ketidakpercayaan (distrust) dan kekecewaan masyarakat terhadap parpol, DPRD, dan proses Pilkada, sayangnya tidak berubah menjadi sebuah gerakan kolektif masyarakat lokal untuk menentang elite lokal secara serius. Ini berbeda dengan gelombang reformasi yang bisa secara kolektif menjadi sebuah gerakan untuk merubuhkan Orde Baru yang selama tiga dekade bisa bertahan di Indonesia.
Puncak dari persoalan ini akhirnya dicoba dengan sebuah momentum baru bagi kancah perpolitikan lokal di Indonesia. Tanggal 15 Oktober 2004 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merevisi UU No. 22 Tahun 1999 disahkan kemudian diikuti Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan demokrasi di Indonesia.
Undang-Undang ini kemudian banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Tanggal 22 Maret 2005, Mahkamah Konstitusi membatalkan 4 Pasal dalam Undang-Undang ini, yaitu Pasal 57 ayat (1), Pasal 66 ayat (3), Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 82 ayat (2). Perubahan juga terjadi pada Pasal 90 ayat (1) dan penambahan Pasal 236 dengan Pasal 236A dan Pasal 236B berdasarka Perpu No. 3 Tahun 2005.
Berdasarkan pasal 24 ayat (5) Undang-Undang ini, pemilihan kepala daerah yang sebelumnya dipilih oleh DPDR kemudian dilaksanakan secara langsung, baik kepala daerah provinsi maupun kepala daaerah kabupaten/kota. Hal ini juga menuai pro dan kontra di masyarakat mengingat dalam UUD 1945 hanya menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Sistem pemilihan langsung tidak disebutkan di dalamnya.
Pasal 18 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 berbunyi:
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Sedangkan dalam Pasal 24 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2004, berbunyi:
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”


B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah ”Apakah Dengan Sistem Pemilu di Luar Pemilu Langsung Tidak Demokratis?”


BAB II
PEMBAHASAN
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut bisaanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat(government of the people, by the people and for the people). Dengan kata lain, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Pemilihan Umum sangat identik dan dianggap sebagai satu praktek yang paling penting dalam berdemokrasi, pemilu adalah puncak demokrasi karena itu penyelenggaraan pemilu sering disebut "pesta demokrasi". Bahkan banyak yang menganggap bahwa pemilu adalah demokrasi itu sendiri. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia artikel 21 ayat (3) menyatakan bahwa "Kemauan rakyat adalah sumber kekuasaan Pemerintah yang harus diungkapkan melalui pemilihan umum secara berkala dan sungguh-sungguh dengan hak pilih universal serta adil dan dilaksanakan dengan rahasia dan bebas."
Indonesia adalah sebuah negara demokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah melalui beberapa Pemilu. Tahun 2004 merupakan awal pemilihan langsung angota legislatif dan presiden di Indonesia. Selain pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden, kini Indonesia juga menganut sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung.
UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 tahun 2005 boleh dikatakan adalah produk perundangan pertama dalam sejarah poltik Indonesia yang mengatur pilkada langsung. Memang sebelumnya sudah ada undang-undang yang mengintrodusir sistem pemilihan langsung, yakni UU No. 1/1957. Ketentuan pemilihan langsung tertuang dalam Pasal 23 dan penjelasannya. Pasal itu membutuhkan undang-undang pilkada langsung tersendiri, namun tidak ditindaklanjuti sampai dikeluarkannya ketentuan perundang-undangan baru yang menggantikannya, seperti Penetapan Presiden No. 6/1959, UU No. 18/1965, dan UU No. 4/1975 yang didasarkan pada UUD 1945.
Sebenarnya dalam konteks politik lokal, pemilihan langsung bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sudah seumur dengan berdirinya Indonesia, rakyat Indonesia sampai ujung pelosok sekali pun mempunyai pengalaman dalam memilih pemimpinnya secara langsung, yakni melalui pemilihan kepala desa (Pilkades). Hanya bedanya pada pemilihan kepala desa rakyat memilih calon-calon yang memang mencalonkan diri sendiri yang lazim disebut sebagai calon independen, sedangkan pada pemilihan kepala daerah, rakyat akan memilih calon yang dicalonkan oleh partai politik.
Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 tahun 2005 ratusan pilkada telah digelar di berbagai provinsi di negara ini. Berbagai pendapat muncul tentang pelaksanaan pilkada langsung ini. Sebagian berpendapat bahwa pilkada langsung perlu di tinjau kembali. Beberapa alasan dikemukakan antara lain:
1. KH Hasyim Muzadi, ketua PB NU menyatakan bahwa Pilkada sebaiknya dihentikan karena banyak mengundang konflik sosial didaerah-daerah, yang jadi korban masyarakat kecil.
2. Presiden SBY juga pernah memberi isyarat bahwa proses pemekaran wilayah, yang juga akan diiringi dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perlu dibatasi bahkan dievaluasi, dalam krangka menata semangat berdemokrasi yang tetap dalam bingkai keutuhan dan kesatuan bangsa.
3. Dengan sistem pemilihan langsung, negara Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi dan 450 kota/kabupaten tentu memakan biaya yang tidak sedikit, biaya demokrasi (democration cost) yang harus dibayar oleh negara ini demi sebuah pilkada langsung terlampau besar. Akan sangat berguna bila anggaran tersebut digunakan untuk pembangunan daerah.
4. Pilkada langsung mengundang risiko sosial yang terbilang mahal.
Kekisruhan pascaperhitungan suara konflik horisontal antarpendukung calon kepala daerah kekisruhan itu mulai terjadi di daerah-daerah, seperti di Morowali, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Purwakarta Jawa TImur dan lain-lain.
5. Potensi konflik yang dipicu oleh pelaksanaan pilkada seperti anarkisme sosial, perang saudara, kerusuhan, atau tindak sparatisme sangat besar yang akan berpengaruh terhadap nilai-nilai integritas kebangsaan, moralitas bermasyarakat, dan ikatan nasionalisme yang saat ini masih sangat rentan.
Sebagian lagi terus mendukung pilkada langsung sebagai pelaksanaan demokrasi lokal dan amanat dari Undang-Undang otonomi daerah alasan pun muncul dari berbagai pihak pendukung pilkada langsung:
1. Lebih menjamin demokrasi karena melalui Pilkada langsung setiap orang dapat menyampaikan aspirasinya atau terlibat dalam penentuan pemimpin daerah.
2. Aspirasi rakyat tidak bisa lagi dimanipulasi oleh para wakilnya di DPRD.
3. Rakyat terlibat langsung dalam mengusung calonnya di perhelatan pilkada sehingga rakyat juga memiliki investasi kekuatan, sebagai alat control atas kinerja penyelenggara negara di tingkat lokal (eksekutif). Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung memungkinkan rakyat untuk menagih janji-janji politik para calon kepala daerah yang diobral semasa kampanye digelar.
4. Dengan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD, legislatif dan parpol akan semakin oligarkis. Karena hanya merekalah penentu kelangsungan seseorang atau citra seseorang sebagai bupati atau gubernur. Jadi itu sangat merugikan untuk penguatan demokrasi.
Untuk kondisi bangsa kita sekarang ini, sistem pemilihan melalui DPR masih lebih baik. Jangankan di tingkat daerah, pemilihan Presiden saja masih rawan dengan gejolak. Perekonomian bangsa ini pun tak cukup baik untuk membiayai pilkada langsung. Bangsa ini belum siap dengan pilkada langsung. Pemilu dan Pilpres langsung sudah dijalankan dengan demikian, mereka yang duduk di DPRD adalah hasil pilihan langsung rakyat. Seharusnya pilkada langsung di lakukan ketika bangsa ini telah dewasa dalam politik. Hal ini akan ditandai ketika konflik-konflik Pemilu dan Pilpres sudah berkurang. Proses pendidikan politik oleh partai politik sebagaimana dimaksud dalam UU No. No. 2 Tahun 2008 Pasal 13 huruf (e) harus selalu dilaksanakan, bukan hanya melalui kampanye pada saat menjelang Pilkada atau Pemilu. Hal ini akan meningkatkan pengetahunan politik banngsa ini. Saat inilah pilkada langsung bisa dilaksanakan.
Akan tetapi, di balik pro dan kontra tentang pilkada langsung, sebenarnya demokrasi itu sendiri tidak sepenuhnya bergantung pada sistem yang diunakan dalam pemilihan kepala daerah. Akan tetapi bagaimanapun sistem pemilihan yang digunakan, demokratis atau tidaknya lebih bergantung pada proses Pilkada itu sendiri dan kemudian proses pemerintahan yang dilakukan oleh kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada itu sendiri. Dengan kata lain, pilkada langsung belum tentu demokratis. Dalam proses kampanye dan pemilihan, calon wakil kepala daerah dan partai pengusungnya harus bersikap terbuka tidak ekslusif tetapi inklusif, tidak menggunakan kekerasan (violence) dalam merebut suara,
tidak menyebarkan rasa anatagonis terhadap perbedaan suku, agama dan ras. Oleh karena itu peran lembaga dan orang-orang yang terlibat dalam pilkada sangat menentukan demokratis tidaknya suatu pemilihan.
Pemilihan kepala daerah tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pilkada. Tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan secara langsung tidak menjamin sebuah demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup
Pemilihan memang merupakan salah ciri demokrasi yang paling tampak, namun pemilihan tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara. Kedaulatan rakyat yang dimaksud dalam demokrasi bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih kepala daerah, anggota legislatif, bahkan presiden langsung tetapi dalam arti yang lebih luas, hal ini akan lebih banyak tercermin dalam proses pemerintahan. Jangan sampai demokrasi di negara kita hanya terbatas pada pemilihan umum saja.
Menurut Soehino, demokrasi langsung hanya cocok untuk negara-negara kecil, ia menggambarkan:

“Sistem demokrasi ini menurut sejarahnya lahir pada zaman Yunani Kuno, dan disebut sistem demokrasi langsung dalam arti kata bahwa menurut konsepsinya semua warga Negara dapat secara langsung memilih serta ikut memikirkan jalannya pemerintahan, bahkan semua orang ikut memerintah. Maka sistem ini sebetulnya hanya dapat dilaksanakan dalam Negara-negara yang masih kecil, rakyatnya masih sedikit, serta urusannya masih sangat sederhana, dimana rakyat dapat secara langsung mengurusnya”.


Henry B. Mayo mengemukakan nilai-nilai bagi demokrasi yaitu:

“(1)Menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela, (2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam masyarakat yang selalu berubah, (3) Penggantian penguasa secara teratur, (4) Penggunaan paksaan sesedikit mungkin,(5) Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman, (6) Menegakkan keadilan, (7) Memajukan ilmu pengetahuan dan (8) Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.”

Sedangkan Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi yaitu:

“ (1) Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2)Partisipasi efektif, (3)Pembeberan kebenaran, (4) Kontrol terakhir terhadap agenda,dan (5) Pencakupan yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua oranng dewasa dalam kaitannya dalam hukum.

Menurut Hans Peter Schmitz secara teori, ada tiga tahap yang harus dilalui dalam proses demokratisasi suatu negara, yaitu tahap liberalisasi, transisi, dan konsolidasi. Tahap liberalisasi telah kita lalui, yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Saat ini kita sedang berada dan bergelut dalam masa transisi, masa yang paling penting untuk menentukan langkah ke depan reformasi di negara kita. Proses Pilkada seharusnya menjadi momentum demi terciptanya pemerintahan yang bisa menggiring kita lebih dekat ke sistem demokrasi yang lebih mapan, tidak hanya kemapanan dalam bidang politik, tetapi juga di bidang sosial dan ekonomi serta membawa Indonesia untuk bisa segera meninggalkan masa transisi ini dan segera memasuki tahap konsolidasi.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Pilkada langsung saat ini masih rawan dengan konflik, baik antara parpol pengusung calon kepala daerah, antar pendukung calon kepala daerah, ingga sengketa setelah Pilkada karenanya pelaksanaan Pilkada langsung ini perlu di tinjau kembali. Kedewasaan masyarakat secara umum dalam politik belum cukup baik untuk pemilu langsung.
2. Pilkada langsung membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ekonomi bangsa ini saat ini tida cukup baik untuk membiayai Pilkada di 33 provinsi dan 450 kabupaten/kota.
3. Bagaimana pun sistem pemilihan yang digunakan, demokratis atau tidaknya juga bergantung pada proses Pilkada itu sendiri Misalnya dalam proses pendaftaran pemilih, kampanye dan proses pemilihan, tercermin kebebasan, keadilan dan tanpa kekerasa, tanpa pelanggaran HAM sebagai elemen dasar Pilkada demokratis. Peran lembaga dan orang-orang yang terlibat dalam proses Pilkada menjadi sangat penting.
4. Pemilu atau Pilkada hanyalah sebagian dari demokrasi. Pelaksanaan pemerintahan setelah pemilu harus sesuai dengan asas-asas demokrasi, diantaraanya: (1)kesamaan di depan hukum, (2) pluralisme,yaitu penghargaan atas semua bakat minat dan pandangan, (3) kekuasaan mayoritas dan hak-hak minoritas, (4)pembatasan kekuasaan eksekutif


B. SARAN

1. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih baik untuk kondisi bangsa kita sekarang ini hingga warga negara Indonesia betul-betul dewasa dalam berpolitik.
2. Pendidikan politik harus dilakukan oleh partai politik setiap saat (UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 13 huruf (e)), bukan hanya pada saat menjelang Pilkada atau Pemilu melalui kampanye.
3. Mekanisme penentuan calon kepala daerah dan kriteria calon kepala daerah di tingkat Parpol perlu diperbaiki agar kualitas kepala daerah terpilih bisa terjamin.
4. Kampanye Pilkada juga harus lebih bertujuan sebagai media sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat, bukan hanya sarana mencari simpati dan dukungan masyarakat.
5. Kepala Daerah terpilih tidak boleh menjadi pengurus partai politik yang bisa menimbulkan benturan kepentingan. 


DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com/
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
Indonesia, Peraturan Pemerinta Pengganti Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Perpu No. 3 Tahun 2005, LN No. 38 Tahun 2005,TLN No. 4493.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 8 Tahun 2005, LN No. 108 Tahun 2005,TLN No. 4548.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003,TLN No. 4252.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008,TLN No. 4801.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004,TLN No. 4437.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemillihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 10 Tahun 2008, LN No. 51 Tahun 2008,TLN No. 4836.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar