Selasa, 08 Desember 2009

PERFECT (SIMPLE PLAN)

PERFECT
Hey dad look at me
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
And do you think I'm wasting my time doing things I wanna do?
'Cuz it hurts when you disapprove all along

And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't pretend that
I'm alright
And you can't change me

'Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect

I try not to think
About the pain I feel inside
Did you know you used to be my hero?
All the days you spend with me
Now seem so far away
And it feels like you don't care anymore

And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't stand another fight
And nothing's alright

'Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect

Nothing's gonna change the things that you said
Nothing's gonna make this right again
Please don't turn your back
I can't believe it's hard
Just to talk to you
But you don't understand

'Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect

'Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect

PRAKONDISI PEMILU YANG JURDIL

PRAKONDISI PEMILU YANG JURDIL

oleh Emil Salim

(Catatan redaksi: Makalah ini disampaikan dalam Konferensi Nasional KIPP, di
Jakarta 29-30 September 1998)

Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia artikel 21ayat 3 menyatakan
bahwa "Kemauan rakyat adalah sumber kekuasaan Pemerintah yang harus
diungkapkan melalui pemilihan umum secara berkala dan sungguh-sungguh dengan
hak pilih universal serta adil dan dilaksanakan dengan rahasia dan bebas."

MENGAPA PEMILU

Supaya pemerintah dapat membangun bangsa dan negara sesuai dengan kemauan
rakyat maka pemilihan umum harus dilaksanakan bebas, jujur dan adil agar
terungkap suasana (mood) politik yang hidup dalam masyarakat dan diketahui
posisi politik mayoritas bangsa, untuk kurun waktu tertentu, dalam spektrum
antara konservatisme dan progresivitisme dan antara evolusioner dan
revolusioner.
Dengan pergantian generasi suasana bangsa berobah. Semangat zaman menuntut
perubahan paradigma dan orientasi bangsa yang terpantulkan dalam pemilihan
umum yang jujur dan adil.

Pemilihan umum membuka peluang bagi masyarakat mengorganisasikan dirinya
sebagai wahana penyalur aspirasinya. Dalam masyarakat Indonesia yang
beraneka-ragam (diversity) terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, hasil
pemilihan umum harus memantapkan sistem politik yang majemuk tDIural),
beraneka-regam dengan jaminan hak yang sama (equal rights) bagi berbagai
kelompok dalam masyarakat, termasuk kelompok minoritas yang dilindungi
persamaan hak dan kewajibannya oleh kelompok mayoritas. Sehingga lahir
masyarakat madani (civil society) sebagai wujud masyarakat beradab yang
ditopang pilar-pilar kekuatan masyarakat untuk mampu tegak mandiri.

Untuk mencapai makna pemilihan umum secara berarti harus dikoreksi beberapa
paradigma yang berlaku selama ini. Pertama adalah anggapan bahwa kemenangan
dalam pemilihan umum harus di tangan "kepemimpinan orde baru" untuk memberi
legitimasi pada Pemerintah melanjutkan kekuasaannya; ke dua, supaya
kemenangan ini dimungkinkan maka Golkar, sebagai organisasi politik
pendukung Pemerintah, harus meraih suara mayoritas; ke tiga, untuk
memperoleh suara mayoritas maka segala cara dihalalkan Pemerintah
memenangkan Golkar dalam persaingan dengan kedua-dua partai lainnya; ke
empat sebagai alat negara yang penuh disiplin tunduk pada Presiden selaku
Panglima Tertinggi tidak memungkinkan ABRI bersikap netral sehingga harus
ikut mendukung Golkar untuk memenangkan "kepemimpinan orde baru"; ke lima,
penghimpunan dana pemi}ihan umum dari pengusaha konglomerat membantu hanya
Golkar dianggap wajar sebagai imbalan atas kemajuan yang mereka nikmati
sebagai hasil pembangunan di bawah "kepemimpinan orde baru"yang identik
dengan Golkar.

Perubahan paradigma ini memerlukan reformasi sistem politik dan sistem
pemilihan umum ke arah pengembangan demokrasi yang kredibel. Apabila
pemerintah sekarang ini merupakan kelanjutan rezim lama dan cendrung
mengkonsolidasikan kekuasaan untuk memegang tampuk pimpinan negara secara
berlanjut, timbul lah keraguan, ketidakpastian dan keprihatinan dalam
masyarakat akan kesungguhan Pemerintah memelopori reformasi.

Dalam keadaan seperti ini lah sangat perlu diberdayakannya lembaga
independen mengawasi dan memantau proses reformasi sistem politik dan sistem
pemilihan umum yang dimulai dengan ditegakkannya prakondisi pemilihan umum
yang demokratis, jujur dan adil ("jurdil").

PRA KONDISI PEMILU JURDIL

Dalam esensinya maka pemilihan umum memuat unsur persaingan antara partai
memperoleh suara pemilih yang terbanyak. Maka tiga hal menonjol: pertama,
hal-ihwal mengenai partai peserta pemilu; ke dua. cara persaingan dalam
pemilu; dan ke tiga, peranan pemerintah.

1. Peserta Pemilu.

Kebebasan berserikat perlu dijamin supaya aspirasi rakyat dapat
diungkapkan bebas dalam kehidupan partai yang tumbuh secara bebas.
Hukum persaingan berkata bahwa "harga akan mendekati nilai kelangkaannya
apabila lebih banyak fihak turut bersaing." Sebaliknya "harga akan
terdistorsi apabila peserta persaingan mengecil, lebih-lebih apabila tumbuh
monopoli yang mendominasi persaingan." Analoog dengan alur fikiran ini bisa
pula dikatakan bahwa "bobot pemilu akan mendekati nilai aspirasi rakyat yang
hidup apabila diikuti sebanyak mungkin partai yang menyalurkan berbagai
aspirasi rakyat." Dan sebaliknya "bobot pemilu akan terdistorsi tidak
mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya jika didominasi hanya satu
kontestan."
Maka biarkan lah "seribu bunga partai tumbuh mekar mewangi" tanpa
pembatasan yang artifisial agar mampu menampung seribu-satu aspirasi rakyat,
untuk kemudian biarkanlah proses pemilu menjalankan seleksi alamiahnya agar
hanya partai yang dianggap pemilih mampu menyalurkan aspirasinya saja lah
yang lolos hidup.
Kadar pemilu jurdil sesungguhnya dimulai dengan penilaian atas
kredibilitas syarat-syarat partai peserta pemilu. Semakin ketat dan berat
syarat-syarat ini semakin terbatas peserta pemilu sehingga semakin
terestriksi persaingan dalam pemilu.
Ini tidak pula berarti tidak ada persyaratan. Tetapi persyaratan lebih
dilekatkan pada aspek mutu calon partai. Dan bagi partai-peserta-pemilu
ditetapkan ketentuan-aturan agar: (1) bersikap terbuka tidak ekslusif tetapi
inklusif; (2) tidak menggunakan kekerasan (violence) dalam merebut suara;
(3) tidak menyebarkan rasa anatagonis terhadap perbedaan suku, agama dan ras.
Prinsip yang dipakai dalam pemilu adalah Pasal 27 ayat 1 UUD Negara
Republik Indonesia 1945 bahwa "segala warga-negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya."
Berdasarkan prinsip ini yang berhak memilih dan dipilih adalah
"segala warga- negara," tanpa membedakan fungsi kedudukannya dalam aparatur
Negara, seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Gurubesar, Jenderal atau Sersan
TNI dan seterusnya. Karena itu maka waktu dilaksanakan pemilu setiap orang
harus mencopot atribut kepangkatan dan kedudukannya dan masuk dalam
bilik-pemilu sebagai warganegara yang sama kedudukannya dan sama menjunjung
tinggi hukum.

Semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus dipilih dalam pemilihan
umum dan tidak boleh ada yang diangkat. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
terdiri
atas "anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan," memungkinkan
terpilihnya wakil-wakil golongan yakni badan-badan seperti kooperasi,
serikat sekerja dan lain-lain badan kolektif (Pasal 2 UUD 1945 beserta
penjelasannya). Tekanan di sini terletak pada "terpilihnya wakil-wakil
golongan" sehingga masing-masing badan perlu memilih wakilnya dalam MPR dan
dihindari penunjukkan oleh Presiden untuk memelihara kredibilitas MPR
sebagai "penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia" dan pemegang kekuasaan negara
yang tertinggi kepada siapa Presiden bertanggungjawab dan berposisi
"untergeordnet" kepada Majelis. Dalam posisi seperti ini tidaklah syah
apabila Presiden "mengangkat" anggota badan eksekutif dan militer sebagai
anggota MPR. Sehingga perlu diusahakan agar berbagai "badan-badan" ini ikut
dalam pemilu memilih wakilnya dalam MPR.

2. Calon

Mutu lembaga perwakilan DPR, MPR dan DPRD ditentukan oleh kualitas
calon. Karena itu syarat umum perlu diberlakukan, seperti syarat pendidikan
minimal, bebas dari cacat hukum dan tidak menunggak pajak sebagai indikasi
dari warga negara yang baik, mengungkapkan (disclosure) harta-kekayaan dan
sumber pendapatannya sebagai patokan awal menelusuri tidak berkorupsinya
nanti dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Rakyat, dan tidak mempromosikan
anatagonisme suku, agama dan rasial.
Untuk memperoleh calon yang setepatnya maka sistem pemilu perlu
disempurnakan. Namun keputusan mengenai dilaksanakannya sistem distrik,
proporsional atau gabungan dari keduanya sebaiknya tidak diprakarsai oleh
rezim sekarang ini karena diragukan legitimasi dan obyektifitasnya, dan
sebaiknya dipikulkan tugas penyempurnaan sistem pemilu ini pada Pemerintahan
hasil pemilu nanti.
Dalam keadaan krisis ekonomi sekarang ini ancaman "politik-uang" (money
politics) sangat riil. Karena itu harus ditetapkan ambang batas (ceiling)
biaya pengeluaran calon dan sumbangan yang diperolehnya dari masyarakat
perlu diaudit-
dan diumumkan secara transparan kepada-publik.
Bantuan perusahaan, termasuk Badan Usaha M-llik Negara, perlu dilarang atas
dasar pertimbangan bahwa perusahaan menurut anggaran dasarnya
bertanggungjawab pada pemegang saham. Perbantuan perusahaan untuk
calon-calon tertentu memberi kesan ditumbuhkannya kolusi antara perusahaan
dan calon sehingga sang calon tidak lagi obyektif memperjuangan kepentingan
umum.
Lebih-lebih bila sumbangan kepada calon diberikan oleh BUMN
akan lahirlah perbenturan kepentingan antara BUMN sebagai milik negara untuk
keperluan bangsa dengan calon partai yang mewakili kepentingan kelompok
tertentu. Karena itu auditing keuangan perusahaan dalam kaitannya dengan
pemilihan umum secara khusus harus ditingkatkan.
Dalam "menjajakan dirinya" sangatlah penting bilamana sang calon
mengutamakan "platform"nya dan tidak tenggelam dalam "pembunuhan karakter"
(character assasination) calon lawannya. Agar masyarakat memperoleh
kesempatan membandingkan aspirasi yang hidup dalam dirinya dengan platform
yang ditawarkan
calon.

3.Peranan Pemerintah

Pemerintahan Habibie memberi kesan adanya kepentingan untuk memenangkan
pemilu supaya bisa "menyelesaikan tugas lebih lama," sehingga menimbulkan
kecurigaan bahwa pemilu akan "diarahkan."
Kasus tergusurnya calon Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Marie Muhammad,
dalam DPR sehingga memberi peluang bagi tokoh-tokoh yang dijagokan Presiden
dan kesibukan Menteri Sekretaris Negara menjalankan fungsinya selaku Ketua
Umum Golkar mengkonsolidasikan organisasinya mencerminkan berlanjutnya pola
"berpolitik seperti sediakala" (politics as usual) menggunakan kekuasaan
Pemerintah untuk mempengaruhi perkembangan politik tanpa kesadaran sedikitpun
bahwa perbuatan ini secara telanjang menunjukkan konflik kepentingan.
Untuk menjamin obyektifitas dan kredibilitas pemilu perlu diusahakan agar
Lembaga Pemilu dikendalikan oleh Partai Politik dengan dukungan administrasi
finansial dari Pemerintah. Di samping ini lembaga-lembaga swadaya masyarakat
perlu membentuk lembaga independen untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan
pemilu serta mendidik masyarakat mengenai hak dan kewajibannya selaku
pemilih Lembaga indepen ini harus didukung oleh jaringan LSM meliputi
seantero tanah air.
Yang harus dijaga adalah agar dalam pemilihan umum ini Pemerintah dan ABRI
bersikap transparen dan adil (fair) menegakkan kesamaan hak bagi semua
peserta pemilu menggunakan fasilitas Pemerintah berupa ruang rapat (misalnya
di sekolah di luar waktu belajar), angkutan darat, laut dan udara yang
dimiliki Pemerintah, menjamin perlakuan adil oleh media pers dan televisi,
dan melaksanakan pemeriksaan auditing keuangan para calon dan partai yang
diumumkan terbuka kepada publik.
Sehingga "persaingan politik dalam pemilu" berlaku jujur dan adil, tanpa
pertumbuhan kekuatan monopolistik dan kartel, tanpa proteksi dan perlakuan
khusus Pemerintah -- sehingga Pemerintah dan ABRI perlu bersikap netral
dalam pemilu.
Enam bulan menjelang pemilu Pemerintah harus menghentikan kegiatan,
kebijaksanaan dan langkah-langkah memberi "gula-gula" Mavours) serta pangkat
dan kedudukan ataupun menghentikan pejabat yang bisa ditaEsirkan
mempengaruhi obyektifitas pemilihan umum.
Di India berlaku ketentuan bahwa kabinet yang berkuasa meletakkan jabatan
tiga bulan menjelang hari pemilu dan Pemerintahan dilaksanakan oleh Kepala
Negara atau Ketua Mahkamah Agung untuk menghindari agar partai yang duduk
dalam Pemerintah tidak menggunakan kekuasaan Pemerintah bagi kepentingan
partainya dalam pemilu.
Indonesia perlu mempertimbangkan hal ini. Namun minimal perlu diusahakan
agar Presiden Habibie lebih mengutamakan peranannya sebagai Negarawan
(statesman) dan bukan politisi dengan tidak mencalonkan diri dalam MPR hasil
pemilu akan datang untuk menghindarkan kesan bahwa pemilu akan digunakan
untuk melestarikan kekuasaannya di masa datang.
Dengan prakondisi seperti inilah bisa diharapkan pemilihan umum Indonesia
menempuh jalur yang jujur dan adil membangun masyarakat madani yang
demokratis.***

WAKAF DAN HIBAH

WAKAF DAN HIBAH

1. Rukun dan Syarat Hibah

a. Orang yang memberi hibah, syaratnya : minimal berusia 21 tahun, berakal sehat, dan bertindak tanpa paksaan

b. Orang yang menerima hibah

c. Barang yang dihibahkan, maksimal sebanyak 1/3 dari harta warisan

d. Sighat/ikrar.

2. Rukun dan Syarat Wasiat adalah sbb:

a. Orang yang berwasiat (mushi)

Mushi disyaratkan sudah dewasa (minimal berusia 21 tahun), berakal sehat, dan tanpa paksaan dalam berwasiat

b. Orang yang menerima wasiat (mushalahu)

Mushalahu disyaratkan harus dapat diketahui dengan jelas, telah wujud ketika wasiat dinyatakan, bukan untuk tujuan kemaksiatan, dan tidak membunuh mushi.

c. Sesuatu yang diwasiatkan (mushabihi)

Mushabihi harus memenuhi syarat sebagai berikut: dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi obyek perjanjian, sudah wujud ketika wasiat dinyatakan, milik mushi, dan jumlahnya maksimal 1/3 dari harta warisan kecuali semua ahli waris menyetujui.

d. Sighat/Ikrar

Ikrar wasiat dapat dinyatakan secara lisan, tertulis, maupun dengan isyarat.

3. a. Rukun wakaf

1. Orang yang mewakafkan.

2. Pihak yang menerima wakaf

3. Benda yang diwakafkan.

4. "Sighah" iaitu ijab dan qabul.

b. Syarat-syarat waqaf:

1. berakal, tidak sah waqaf dari orang yang gila, juga anak kecil, dan juga karena keterpaksaan.

2. harus dijelaskan bahwa harta itu adalah waqaf, " Aku waqafkan hartaku ini untuk pembangunan mesjid, atau untuk kemaslahatan anak-anak yatim, fakir miskin"

3. Haruslah harta yang diwaqafkan itu bermanfaat secara syar'an, tidak boleh waqaf bukan untuk syar'an semacam diskotik dan semacamnya.

4. Harta yang diwaqafkan haruslah yang tahan lama

5. Haruslah saat memberikan waqaf apabila untuk orang tertentu dijelaskan siapa orangnya yang menerima waqaf.

6. Wakaf haruslah hak milik.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG SUARA TERBANYAK TELAH MENDUKUNG ATAU JUSTRU MENGHAMBAT DEMOKRASI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG SUARA TERBANYAK TELAH MENDUKUNG ATAU JUSTRU MENGHAMBAT DEMOKRASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR, sebuah badan yang dipilih dari rakyat. Secara hierarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu. Empat tahun kemudian, Partai Golongan Karya Kembali memenangkan Pemilu dengan merebut 125 kursi DPR.

Pada tanggal 31 Maret 2008, Presiden mengesahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemillihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Satu diantaranya adalah Pasal 214 tentang penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD. Permohonan judicial review atas pasal ini kemudian mendapatkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan permohonan para pemohon dengan menyatakan pasal 214 Undang-undang No.10 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

B. PERMASALAHAN

Putusa Mahkamah Konstitusi ini juga tidak lepas dari kritik berbagai pihak kemudian timbulkan pertanyaan “Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Suara Terbanyak Telah Mendukung Atau Justru Menghambat Demokrasi?”.

BAB II

PEMBAHASAN

Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Pemilihan Umum sangat identik dan dianggap sebagai satu praktek yang paling penting dalam berdemokrasi, pemilu adalah puncak demokrasi karena itu penyelenggaraan pemilu sering disebut "pesta demokrasi". Bahkan banyak yang menganggap bahwa pemilu adalah demokrasi itu sendiri.

Indonesia adalah sebuah Negara demokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah melalui beberapa Pemilu. Berbagai peraturan pun telah diundangkan untuk mengatur pemilu tersebut. Terakhir adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemillihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Satu diantaranya adalah Pasal 214 tentang penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD. Permohonan judicial review atas pasal ini kemudian mendapatkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 membatalkan pasal 214 dari Undang-Undang ini.

Pasal sebelumnya dengan sistem nomor urut dianggap kurang mencerminkan demokrasi karena pengaturan nomor urut sudah dimulai di tingkat partai politik. Caleg yang menduduki nomor urut paling kecil akan memiliki peluang yang lebih besar untuk terpilih menjadi anggota legislatif. Selain itu, hal ini dianggap bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia.

Kelebihan sistem suara terbanyak diantaranya:

1. Calon yang memiliki suara terbanyak akan terpilih menjadi anggota legislatif sehingga dianggap lebih mencerminkan suara rakyat atau demokrasi.

2. Anggota legislatif yang terpilih nantinya adalah calon yang memiliki ikatan emosional yang baik dengan rakyat terutama konstituennya.

3. Anggota legislatif yang terpilih tidak akan terlalu mementingkan partai politiknya sehingga akan lebih mementingkan konstituenya.

Walaupun lebih mencerminkan demokrasi, namun sistem surara terbanyak juga memiliki banyak kekurangan, diantaranya:

1. Peranan Partai Politik akan sangat berkurang, dengan sistem suara terbanyak, Pemilihan calon legislatif terkesan diikuti oleh perseorangan hal ini sangat bertentangan dengan UU No. 10 tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pemilu adalah partai politik.

2. Calon legislatif yang telah lama bergelut di dalam partai politik tertentu dan telah melalui kaderisasi yang panjang akan lebih kecil peluangnya untuk terpilih menjadi anggota legislatif dibandingkan caleg dadakan karena money politik, atau karena ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat.

3. Money politc akan rentan dalam kampanye, walaupun dengan sistem nomor urut jual beli nomor urut di tingkat partai politik pun terjadi.

4. Persaingan dan konflik antara sesama calon legislatif akan sangat besar kemungkinannya terjadi karena masing-masing berjuang untuk kepentingan sendiri.

5. Calon yang terpilih hanya berdasarkan kuantitas bukan kualitas. Hal ini bias terjadi karena money politic, selain itu, banyak partai kini memburu orang-orang dengan popularitas yang tinggi, misalnya selebritis yang kualitasnya belum tentu baik.

6. Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga mengurangi peluang caleg perempuan untuk terpilih menjadi anggota legislatif, affirmative action menjadi sia-sia, suara terbanyak akan membendung sistem zipper yaitu dari tiga caleg harus ada satu caleg perempuan sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008.

Sistem yang digunakan sebelumnya yaitu sistem nomor urut mempunyai kelebihan diantaranya:

1. Penentuan nomor urut telah melalui mekanisme partai politik yang mencerminkan peranan partai politik sebagai peserta pemilu.

2. Kredibilitas calon legislatif akan lebih baik, caleg dengan nomor urut teratas sudah pasti adalah kader terbaik partai yang telah memenuhi kriteria-kriteria partai politik.

Kekurangan sistem suara terbanyak antara lain:

1. Kurang demokratis karena caleg dengan suara terbanyak di partainya belum tentu terpilih menjadi anggota legislatif karena menempati nomor urut paling bawah.

2. Bertentangan dengan tiga Pasal dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: Pasal 27 ayat (1): Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2).

3. Calon legislatif dengan nomor urut besar hanya sebagai umpan untuk memperoleh suara bagi caleg diatasnya.

Dari kekurangan dan kelebihan masing masing sistem di atas, menurut penulis, sistem nomor urut masih lebih baik untuk kondisi bangsa kita sekarang ini karena:

1. Calon legislatif dengan urutan paling bersar tetap punya peluamg menjadi anggota legislatif bila memperoleh jumlah suara lebih dari 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) sehingga anggapan bahwa proses pemilihan tidak demokratis atau caleg dengan urutan terbawah hanya sebagai umpan untuk memperoleh suara bagi caleg diatasnya tidak sepenuhnya benar.

2. Calon pemilih belum cukup dewasa dalam menjatuhkan pilihan, calon pemilih akan cenderung berpikir emosional ketimbang rasional sehingga money politc akan sangat rentan terjadi.

3. Anggota legislatif yang terpilih adalah anggota legislatif yang berkualitas karena telah melalui kaderisasi dan mekanisme partai, bukan karena kuantitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita sebenarnya belum dewasa untuk menggunakan sistem pemilihan dengan suara terbanyak, klebanyakan pemilih akan lebih banyak menjadi pemilih yang emosional daripada menjadi pemilih yang rasional. Dengan sistem nomor urut, mekanisme partai akan mengatur penentuan nomor urut dengan kriteria-kriteria tertentu sehingga calon legislatif pada urutan teratas sudah pasti adalah kader partai yang dianggap terbaik.

4. Dengan sistem pembagian daerah pemilihan yang digunakan sekarang ini anggapan bahwa anggota legislatif yang terpilih tidak akan dekat dengan masyarakat dan konstituennya dan lebih mementingkan partai politiknya tidak sepenuhnya benar. Anggota legislatif terpilih akan dekat dengnan daerah pemilihannya dengan demikian, anggota legislatif tidak hanya dekat dengan konstituennya.

Untuk mengatasi kekurangan dari sistem ini, mekanisme pencalegan dan kriteria caleg di tingkat parpol juga perlu diperbaiki agar kualitas anggota legislatif terpilih bisa terjamin, proses penentuan calon anggota legislatif melibatkan anggota partai politk secara langsung, bukan hanya fungsionaris partai atau pengurus organisasi sayap parpol . Selain itu kepentingan partai politik harus dikurangi, anggota legislatif tidak boleh menjadi pengurus partai politik yang bisa menimbulkan benturan kepentingan.

Di balik pro dan kontra suara terbanyak ataupun nomor urut, sesungguhnya bagaimana pun sistem yang digunakan demokratis atau tidaknya tergantung pada proses Pemilu dan kemudian proses pemerintahan yang dilakukan oleh orang-orang yang terpilih dalam Pemilu itu sendiri. Dengan kata lain, Sebuah bangsa yang menyelenggarakan Pemilu belum tentu demokratis, contohnya Indonesia pada masa Orde Baru sebuah pendapat klasik mengatakan "You can have election without democracy, but you can not have democracy without election".

Pemilihan umum memang merupakan salah ciri demokrasi yang paling tampak, namun pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara. Misalnya di Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap paling demokratis. Kedaulatan rakyat yang dimaksud dalam demokrasi bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih anggota legislatif, bahkan presiden langsung, apalagi dengan sistem nomor urut atau suara terbanyak, tetapi dalam arti yang lebih luas.

Henry B. Mayo mengemukakan nilai-nilai bagi demokrasi yaitu:

1. Menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela,

2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam masyarakat yang selalu berubah,

3. Penggantian penguasa secara teratur,

4. Penggunaan paksaan sesedikit mungkin,

5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman,

6. Menegakkan keadilan,

7. Memajukan ilmu pengetahuan dan

8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.

Sistem pemilihan tidak menjamin demokrasi. Pemilu langsung dengan nomor urut suara terbanyak hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Akan tetapi pemilu langsung dengan suara terbanyak dianggap paling demokratis. Itu hanya akibat sebagian masyarakat terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Yang penting dalam pemilu itu sendiri dijalankan dengan asas-asas pemilu demokratis, misalnya peserta pemilu bersikap terbuka tidak ekslusif tetapi
inklusif, tidak menggunakan kekerasan (violence) dalam merebut suara, dan
tidak menyebarkan rasa anatagonis terhadap perbedaan suku, agama dan ras.

Lahirnya negara demokrasi akan bermuara pada lahirnya negara hukum seperti diketahui bahwa hukum merupakan salah satu pilar demokrasi. Indonesia merupakan Negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Menurut Hans Peter Schmitz secara teori, ada tiga tahap yang harus dilalui dalam proses demokratisasi suatu negara, yaitu tahap liberalisasi, transisi, dan konsolidasi. Tahap liberalisasi telah kita lalui, yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Saat ini kita sedang berada dan bergelut dalam masa transisi, masa yang paling penting untuk menentukan langkah ke depan reformasi di negara kita. Pemilu 2009 seharusnya menjadi momentum demi terciptanya pemerintahan yang bisa menggiring kita lebih dekat ke sistem demokrasi yang lebih mapan, tidak hanya kemapanan dalam bidang politik, tetapi juga di bidang sosial dan ekonomi serta membawa Indonesia untuk bisa segera meninggalkan masa transisi ini dan segera memasuki tahap konsolidasi.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Putusan Mahkamah konstitusi tentang suara terbanyak tidak menghambat demokrasi, bagaimana pun sistem pemilihan yang digunakan, demokratis atau tidaknya sebuah Pemilu juga bergantung pada proses Pemilu itu sendiri. Misalnya dalam proses pendaftaran pemilih, kampanye dan proses pemilihan, tercermin kebebasan, keadilan dan tanpa kekerasa, dan tanpa pelanggaran HAM sebagai elemen dasar Pemilu demokratis. Peran lembaga dan orang-orang yang terlibat dalam proses Pemilu menjadi sangat penting. Pemilu hanyalah sebagian kecil dari demokrasi. Berjalannya pemerintahan adalah bagian dimana demokrasi harus betul-betul nampak.

B. SARAN

1. Hendaknya sistem nomor urut dalam Undang-Undang N0. 10 Tahun 2008 tetap diberlakukan dalam Pemilu 2009 mengingat bangsa Indonesia belum siap dengan sistem suara terbanyak

2. Pendidikan politik sebagaimana dimaksud dalamUU No. 2 Tahun 2008 Pasal 13 huruf (e), harus dilakukan oleh partai politik setiap saat bukan hanya pada saat menjelang Pemilu melalui kampanye.

3. Mekanisme pencalegan dan kriteria caleg di tingkat parpol juga perlu diperbaiki agar kualitas anggota legislatif terpilih bisa terjamin, proses penentuan calon anggota legislatif melibatkan anggota partai politk secara langsung, bukan hanya fungsionaris partai atau pengurus organisasi sayap parpol .

4. Kampanye Pemilu juga harus lebih bertujuan sebagai media sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat, bukan hanya sarana mencari simpati dan dukungan masyarakat.

5. Anggota legislatif terpilih tidak boleh menjadi pengurus partai politik yang bisa menimbulkan benturan kepentingan.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumonline.com/

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003,TLN No. 4252.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008,TLN No. 4801.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemillihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 10 Tahun 2008, LN No. 51 Tahun 2008,TLN No. 4836.

PERATURAN DAERAHPROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN DAERAHPROVINSI SULAWESI SELATAN

NOMOR 3 TAHUN 2005

TENTANG

GARIS SEMPADAN JALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SULAWESI SELATAN

Menimbang :

a. bahwa dengan semakin meningkatnya pembangunan berbagai sektor telah mendorong peningkatan arus mebilisasi ekonomi dan sosial yang memerlukan prasarana fisik-fisik jalan yang makin memadai, serta upaya-upaya pengamanan dan penertiban prasarana fisik jalan agar, pemanfaatannya lebihberdayaguna dan berhasilguna;

b. bahwa upaya pembangunan dan pengembangan system jaringan jalan menghadapi berbagai hambatan terutama akibat keberadaan dan perkembangan bangunan-bangunan pada ruang pengawasan jalan yang mengakibatkan tertanggunya ruang pengawasan jalan serta posisinya kurang menjamin pengembangan pembangunan jalan.

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b diatas, maka perlu dibuat peraturan daerah tentang Garis Sempadan Jalan Nasional dan Provinsi.

Mengingat:

1. Undang-undang Nomor 47 Perp tahun 1960, tentang pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 151, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2102) Juncto Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang penetapan peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat Sulawesi Tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan daerah Tingkat 1 Sulawesi Utara dan Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan menjadi Undang-Undang ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 57, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nonmor 2068), Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 Tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara No. 4422);

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman (LoembaranNegara tahun 1992 nomor 23, tambahan Lembaran Negara Nomor 3469);

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya (LembaranNegara 1992, nomor 27, tambahan Lembaran Negara Nomor 3470);2

5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 nomor 49, tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);

6. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran negara Tahun 2002 Nomor 134, tambahan Lembaran negara Nomor 4247);

8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 nomor 53, Tambahan Lembaran negara nomnor 4389);

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

10. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keungan Antara pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, tambahan Lembaran negara Nomor 4438);

11. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 2004 nomor 132 tambahan Lembaran negara nomor 4444);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 1985 nomor 37, Tambahan Lembaran negara nomor 3293);

13. Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertical di daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, tambahan Lembaran negara nomor 3373);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 59, tambahan Lembaran Negara nomor 3527);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 63, tambahan Lembaran Negara Nomor 3529);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas Penyelenggaraan pemerintahn daerah ( tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4090)

18. Peraturan daerah Provinsi dati I Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan;

19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 44 Tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

Memperhatikan :

1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 620-306 Tahun 1998 tentang Penetapan Ruas jalan Provinsi.

2. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 375/M/2004 Tanggal 19 Oktober 2004 tentang penetapan Ruas-ruas Jalan dalam Jaringan Jalan Primer menurut peranannya sebagai Jalan Arteri, jalan Kolektor 1, jalan Kolektor 2 dan jalan Kolektor

3. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 376/M/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya sebagai Jalan Nasional.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAHPROVINSI SULAWESI SELATAN

DAN

GUBERNUR SULAWESI SELATAN

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan daerah ini, yang dimaksud dengan:

1. Daerah adalah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif daerah.

3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan.

4. Dinas adalah instansi yang melaksnakan tugas dan fungsi bidang jalan dan jembatan.

5. Kepala Dinas adalah Kepala Instansi yang melaksanakan tugas dan fungsi bidang jalan dan jembatan.

6. Garis Sempadan jalan adalah Garis Batas Luar pengaman untuk dapat mendirikan bangunan dan atau pagar dikanan dan kiri jalan pada ruang pengawasan jalan.

7. Garis Sempadan yang dimaksud adalah Garis Sempadan jalan Nasional dan garis Sempadan Provinsi.

8. Garis Sempadan Jalan Nasional adalah garis batas luar pengaman untuk dapat mendirikan bangunan dan atau pagar di kanan dan di kiri jalan pada ruang pengawasan jalan ruas jalan Nasional.

9. Garis Sempadan Jalan Provinsi adalah Garis Batas luar pengaman untuk dapat mendirikan bangunan dan atau pagar dikanan dan dikiri jalan pada pengawasan jalan ruas jalan Provinsi.

10. Penyelenggaraan Jalan adalah kegiatan yang meliputi Pengaturan, Pembinaan, Pembangunan dan Pengawasan Jalan.

11. Penyelenggaraan Jalan adalah pihak yang melakukan Pengaturan pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya.

12. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

13. Jaringan jalan Primer adalah system jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah ditingkat nasional.

14. Jaringan jalan Sekunder adalah system jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat didalam kawasan perkotaan.

15. Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

16. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan /pembagian dengan cirri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

17. Jalan Umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.

18. Jalan Nasional adalah merupakan jalan Arteri dan jalan Kolektor dalam system jaringan jalan primer yang menghubungkan antara ibukota provinsi dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.

19. Jalan Provinsi adalah merupakan jalan Arteri dan jalan Kolektor dalam system jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota Provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau, antara ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi.

20. Ruang jalan adalah meliputi Ruang Manfaat jalan , Ruang Milik Jalan Ruang pengawasan Jalan dengan batas vertikal keatas, horizontal dan vertikal kebawah.

21. Ruang Manfaat jalan adalah merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang bebeas tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan dan hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan angunan pelengkap lainnya.

22. Ruang Milik Jalan adalah merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dukuasai oleh penyelenggara jalan dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diperuntukkan bagu ruang manfaat jalan, dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengaman jalan.

23. Ruang pengawasan Jalan adalah merupakan ruang sepanjang jalan diluar Ruang Milik jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan dan diperuntukkan bagi jarak pandang pengguna jalan dan pengaman konstruksi jalan.

24. Ruang Sempadan Jalan adalah ruang antar Garis Sempadan Jalan dan tepi badan jalan paling rendah.

25. Bangunan Bangunan adalah ruang, rupa, perawakan, wujud (bangunan\arsitektur) dan diantaranya terdapat sesuatu yang didirikan (rumah, gedung, jembatan dan sebaginya).

BAB II.

FUNGSI DAN PERANAN GARIS SEMPADAN

DAN RUANG JALAN

Pasal 2

1) Fungsi Garis Sempadan Jalan adalah untuk melindungi Ruang Pengawasan Jalan dari bangunan-bangunan yang dapat mengganggu peranan jalan.

2) Peranan Garis Sempadan Jalan adalah untuk menentukan sampai batas tertentu para pemilik tanah (persil) yang berada pada ruang pengawasan jalan dapat menggunakan haknya untuk mendirikan bangunan bangunan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

1) Fungsi Ruang jalan adalah untuk mengawasi, melindungi dan membatasi Ruang Manfaat jalan, ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan dari

2) bangunan-bangunan yang dapat mengganggu peranan jalan.

3) Peranan ruang jalan yang meliputi Ruang Manfaat Jalan , Ruang Milik Jalan dan ruang pengawasan Jalan adalah untuk kepentingan pelayanan dan kenyamanan arus lalu lintas umum dan masyarakat pengguna ruang jalan.

BAB III

MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT

GARIS SEMPADAN JALAN

Pasal 4

1) Maksud dan tujuan ditetapkannya pengaturan garis sempadan jalan adalah untuk tetap tercapainya kelestarian fisik jalan dan fungsi jalan serta dalam rangka menunjang terciptanya lingkungan yang serasih, seimbang, tertib dan teratur serta merupakan upaya-upaya pengamanan dan penertiban dalam manfaat jalan dari kegiatan mendirikan bangunan-bangunan diatas persil/tanah dipinggir jalan.

2) Manfaat penerapan ketentuan garis sempadan jalan dilapangan adalah guna menjamin fungsi Ruang Pengawasan Jalan dari gangguan keberadaan bangunan-bangunan yang dapat menghalangi jarak pandang pengguna jalan, disamping untuk terciptanya bangunan-bangunan yang teratir serta pengamanan konstuksi jalan.

BAB IV

JARAK GARIS SEMPADAN JALAN

Pasal 5

1) Jarak Garis Sempadan Jalan yang harus dipedomani oleh perorangan, Badan Hukum, Badan Usaha, badan Sosial adan Dinas / Instansi penerbit Surat Izin Mendiirikan Bangunan (IMB), perencana Bangunan-bangunan maupun pemilik bangunan adalah sebagai berikut:

a. Jalan Nasional sekurang-kurangnya 15 meter;

b. Jalan Provinsi sekurang-kurangnya 10 meter;

2) Penetapan Garis Sempadan Jalan ditetapkan oleh Penyelenggara Jalan sebagai batas luar daerah pengawasan jalan, yang diukur dari batas tepi badan jalan paling rendah.

3) Jarak Garis Sempadan untuk pengamanan konstruksi jembatan diukur dari tepi luar pangkal jembatan yaitu tidak kurang dari 100 meter kearah hulu dan kearah hilir jembatan.

4) Ruang Sempadan Jalan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat / instansi /lembaga / Badan setelah mendapat izin dari penyelenggara jalan.

Pasal 6

1) Ketetapan Jarak garis sempadan Jalan Nasional dan Jalan Provinsidigambarkan kedalam peta untuk keperluan sebagai berikut:

a. Pembuatan Peta rencana Detail tata Ruang yang berhubungan dengan fungsi Dinas Teknis terkait di kabupaten/kota;

b. Pembiatan Peta Rencana Teknis Ruang yang berhubungan dengan fungsi Dinas Teknis terkait di Kabupaten/Kota.

2) Garis Sempadan jalan yang tertuang dalam peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilengkapi patok-patok batas dengan jarak tertentu sebagai 6 pedoman di kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari penyelenggara jalan.

BAB V

WEWENANG PENANGANAN

Pasal 7

1) Ruas-ruas jalan Nasional yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum,\ maka pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan Ruang Jalan ditangani oleh pemerintah Pusat, dilimpahkan ke Gubernur sebagai pejabat pemerintah Pusat di daerah.

2) Ruas-ruas jalan Provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, maka pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan Ruas jalan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi.

BAB VI

PEMBINAAN, PEMANFAATAN DAN PENGAWASAN

Pasal 8

1) Pembinaan, pemanfaatan dan pengawasan pelaksanaan ketentuan ketentuan dalam peraturan daerah ini dilakukan oleh Gubernur.

2) Pembinaan, pemanfaatan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) pasal ini, secara teknis dilaksanakan oleh Dinas Teknis terkait.

BAB VII

LARANGAN

Pasal 9

Setiap orang perorangan, Badan Hukum dan badan Sosial dilarang menempatkan , mendirikan dan merenovasi sesuai bangunan dan atau pagar pekarangan, baik secara keseluruhan atau sebagian dengan jarak kurang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Daerah ini.

BAB VIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 10

1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, peraturan Daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), sesuai Undang_undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang Jalan.

2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, adalah pelanggaran.

Pasal 11

Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 Peratruan daerah ini tindak pidana yang mengakibatan terganggunya fungsi jalan diancam pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX

PENYIDIKAN

Pasal 12

1) Selain pejabat Polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi penyelenggaraan jalan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam penyelenggaraan Jalan.

2) Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimakasud dalam ayat (10, dilakukansesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 13

1) Bangunan bangunan dan persil tanah masyarakat yang telah berdiri dan memiliki Suerat Izin mendidiirkan bangunan serta tanah milik masyarakat sebelum peraturan aderah ini diberlakukan akan diberikan jangka waktu selama 10 (sepuluh) tahun sejak Peraturan Daerah ini diberlakukan untuk menyesuiakan posisi bangunan yang telah didirikan.

2) Bangunan bangunan dan persil tanah masyarakat yang telah memiliki Surat Izin Mendirikan bangunan dan sertifikat, guna menyesuikan ketentuan Garis Sempadan jalan, maka terhadap pemilik tersebut akan dilakukan musyawarah untuk mengambil keptusan yang disesuaikan dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

3) Banyunan bangunan milik masyaraklat yang tidak memiliki Surat Izin Mendirikan Bangunan guna penyesuaian Garis Sempadan Jalan, jika terpaksa pembongkaran atas bangunan tersebut dapat dilaksanakan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Dinas terkait tanpa pemberian ganti rugi.

4) Sejak berlakunya Peraturan Daerah ini maka Pemerintah berkewajiban melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat pengguna ruang jalan berupa penyuluhan, papan ionformasi, mass media cetak, elektronik dan media infomrasdi lainnya.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Hal-hal yang belum tertuang dalam Peraturan daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Gubeernur.

Pasal 15

Peraturan daerah ini mulia berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulsel.

Ditetapkan di Makassar

Pada tanggal, 16-5-2005

Gubernur Sulawesi Selatan

Cap/ttd

H. Amin Syam

Diundangkan di Makassar

Pada tanggal, 16-5-2005

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI

SULAWESI SELATAN

Cap/ttd

Drs. H.A.Tjoneng Mallombassang

NIP: 010 045 911

(Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2005 Nomor 3)

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

NOMOR 224