Selasa, 08 Desember 2009

MATERI PTUN

MATERI PTUN

Seorang Hakim PTUN dituntut untuk memiliki pengetahuan dan referensi yang cukup terhadap dinamika Ilmu Negara dan Ilmu Administrasi Negara. Kedua ilmu tersebut penting mengingat salah satu pokok tugas dari Hakim PTUN adalah menguji Kebsahan K.TUN dan seluk beluk sebuah K.TUN memiliki berbagai dimensi tentang perundang-undangan dan administrasi negara. Sehingga pada prakteknya, tidak mudah seorang Hakim TUN dalam menguji sah tidaknya sebuah K. TUN dalam perkara di PTUN. Demikian beberapa butir pikiran yang disampaikan oleh Kadar Slamet, SH, M. Hum, Hakim Tinggi PT PTUN Jakarta di hadapan Calon Hakim PTUN dalam kegiatan Pendidikan dan Diklat Cakim di Megamendung, Bogor, 21/7.

Lebih lanjut Kadar Slamet mengingatkan bahwa perlu kejelian dan sekaligus kehati-hatian dalam menguji K. TUN karena terbatasnya referensi hukum materil dalam PTUN. ” Karena kita belum memiliki kaedah materiil, maka harus banyak menggunakan dan menggali doktrin terhadap urusan atau hukum administrasi ” ujar salah seorang Hakim Pengawas di Mahkamah Agung ini. Dengan terbatasnya kaedah materil di PTUN, maka wajib bagi Hakim PTUN untuk memperkaya diri dengan banyak membaca referensi tentang doktrin serta kajian yang terkait dengan administrasi pemerintahan. Menurut mantan Ketua PTUN Jakarta ini, dalam prakteknya kehati-hatian dan kejelian Hakim sudah dimulai ketika harus menguji Kompetensi Absolut dan Relatif PTUN terhadap suatu gugatan. Hal ini penting mengingat Kompetensi Absolut dan Relatif sangat menentukan layak tidaknya suatu gugatan terhadap KTUN diadili di PTUN. ” Namun biasanya sering terjadi, Hakim sering menghiraukan dan tidak jeli terhadap posisi kompetensi PTUN terhadap suatu gugatan, tapi hakim langsung memeriksa dan fokus pada inti pokok sengketa” jelas Kadar Slamet. Dalam kedua menguji kompetensi di atas, belum menyentuh pokok perkara, dengan demikian masuk dalam inti KTUN yang digugat. Apabila hakim tidak fokus pada soal Kompetensi, maka hal itu menunjukkan kurang cermat dan ketelitiannya dalam menguji layak tidaknya sebuah gugatan K.TUN diadili di PTUN.

Penting Memahami Kewenangan Absolut PTUN

Bapak Kadar Slamet menegaskan bahwa terkait Soal Kompetensi Absolut, seorang Hakim PTUN harus ekstra cermat mengingat sebuah K. TUN yang digugat memiliki peluang bersinggungan dengan komptensi pengadilan lain. Apalagi saat ini sudah banyak model pengadilan khusus yang terkait dengan keluarnya K. TUN. ” Kompetensi Absolut akan selalu berkaitan dengan titik singgung dengan kompetensi lain ;seperti kompetensi Peradilan Perdata, kompetensi Pengadilan Niaga, Kompetensi pengadilan Pajak dan yang lainnya” urai Kadar Slamet. Lebih jauh menerangkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu sering terjadi antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Badan peradilan lain sama-sama merasa memeriksa dan memutus terhadap obyek gugatan yang sama. Akibatnya sering menimbulkan putusan yang berbeda atau bertentangan satu sama lain. Hal ini muncul karena disebabkan oleh materi yang dipersengketakan penggugat ada titik singgung kewenangan mengadili antara PTUN dengan pengadilan lain;misalnya antara sertifikat tanah dan hak milik. Untuk mencegah hal tersebut, Hakim Pengawas MA ini memberi rekomendasi pada hakim; Pertama, harus mempu menguasai Kewenangan absolut PTUN; kedua, memahami secara detail subyek atau pihak-pihak yang bersengketa di PTUN; ketiga, memahami secara utuh obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh PTUN; keempat, harus dikuasai asas-asas hukum yang berlaku di PTUN, seperti hukum administrasi, doktrin, dan yurisprudensi putusan-putusan PERATUN. (Irvan

Oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH.

I. PENDAHULUAN

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan, bahwa :

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi

Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman kita sekarang selain diselenggarakan olah Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam empat lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah amanden UUD 1945 merupakan puncak dari badan-badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu : agama, militer dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah MA.

Untuk lingkungan peradilan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.

PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding.

Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan kasasi.

II. PTUN DI INDONESIA

Dalam UU No 5 Tahun 1986 untuk membentuk PTUN dengan Keputusan Presiden (Keppres). Di Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik Indonesia.

III. KOMPETENSI PTUN

Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.

a. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :

Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :

(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.

Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai berikut :

Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.

(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.

(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.

(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.

Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke pengadilan di tempat tergugat dan hanya bersifat eksepsional di tempat penggugat diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.

b. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.

Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).

Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.

Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142. Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan langsung, pembatasasn tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara.

1) Pembatasan Langsung

Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata usaha negara menurut UU ini :

a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.

b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.

c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.

d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.

e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

2. Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dikeluarkan :

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pembatasan Tidak Langsung

Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh.

Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 yang menyebutkan,

(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.

(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.

(3) Pembatasan langsung bersifat sementara

Pembatasan ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali bagi PTUN untuk mengadilinya, namun sifatnya sementara dan satu kali (einmalig). Terdapat dalam Bab VI Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa, “ Sengketa tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”.

IV. OBYEK dan SUBYEK SENGKETA di PTUN

1. Obyek Sengketa

Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

a. Keputusan Tata Usaha Negara :

Pengertian Keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka 3 uu No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 ialah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Dari rumusan keputusan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yuridis keputusan menurut hukum positip sebagai berikut :

1) Suatu penetapan tertulis.

2) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara.

3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara.

4) Bersifat konkret, individual dan final.

5) Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

b. Keputusan tata usaha negara fiktif negatif

Obyek sengketa PTUN termasuk keputusan tata usaha Negara yang fiktif negatif sebagai mana dimaksud Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004, yaitu :

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan dalam peraturan perundang- undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau penjabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya permohononan, badan atau penjabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan.

Jadi jika jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau setelah lewat empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat tata usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka Badan atau Pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Sikap pasif Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan itu dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif-negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan.

Keputusan fiktif negatif merupakan perluasan dari keputusan tata usaha negara tertulis yang menjadi objek dalam sengketa tata usaha negara.

2. SUBYEK SENGKETA

a. Penggugat

Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negaratutan agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha negaratutan ganti rugi dan rehabilitasi. (Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).

Selain itu pula Penggugat dapat mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang dijadikan obyek gugatan selama pemeriksaan sengketa tata usaha negara sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 maka hanya seseorang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menggugat keputusan tata usaha negara.

Gugatan disyaratkan diajukan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.

Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh panitera pengadilan.

Uang muka biaya perkara tersebut akan diperhitungkan kembali kalau perkaranya sudah selesai. Dalam hal penggugat kalah dalam perkara dan ternyata masih ada kelebihan uang muka biaya perkara, maka uang kelebihan tersebut akan dikembalikan kepadanya tetapi kalau ternyata uang muka biaya perkara tersebut tidak mencukupi ia wajib membayar kekurangannya.

Untuk mengajukan gugatan diperlukan alasan-alasan yang mendasarinya terhadap Keputusan tata usaha negara yang digugat, pengadilan memerlukan dasar pengujian apakah keputusan tata usaha negara tersebut rechtmatig (absah) atau tidak. pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun1986 UU No. 9 Tahun 2004 menggariskan alasan mengajukan gugatan bagi penggugat yang merupakan dasar pengujian oleh pengadilan.

Alasan mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 adalah :

a. Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AAUPB).

Aspek yang bertentangan itu menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi keputusan tata usaha negara tersebut.

b. Tergugat

Dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan pengertian Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan, “Badan atau Pejabat tata usaha negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atributif dan delegasi. Kadang-kadang juga mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan tata usaha negara (gugatan ke PTUN), mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima mandat tidak bisa menjadi tergugat di PTUN.

Ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkan keputusan yang disengketakan itu menyebutkan secara jelas Badan atau Pejabat tata usaha negara yang diberi wewenang pemerintahan. Jadi dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan sendiri itu dinamakan bersifat atributif. Dan manakala Badan atau Pejabat tata usaha negara memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif itu mengeluarkan Keputusan tata usaha negara yang kemudian disengketakan, maka yang harus digugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif tersebut.

Ada kalanya ketentuan dalam peraturan dasarnya menyebutkan bahwa badan atau pejabat yang mendapat kewenangan atributif mendelegasikan wewenangnya kepada Badan atau Pejabat lain. Apabila Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima pendelegasian ini mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang kemudian disengketakan, maka Badan atau Pejabat tata usaha negara inilah yang menjadi tergugat.

c. Pihak Ketiga yang berkepentingan

Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :

(1). Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak sebagai:

- pihak yang membela haknya, atau

- peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.

(2). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat l dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara.

(3). Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.

Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata ikut serta dalam pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.

V. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN

Dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang digugat.

Dalam hal yang hendak digugat ini merupakan keputusan menurut ketentuan :

a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewat tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu itu dihitung setelah 4 bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

Dalam SEMA Nomor : 2 Tahun 1991 dinyatakan bahwa bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan tata usaha negara, yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan tata usaha negara yang bersangkutan.

Sebagai contoh putusan MA No. 5/K/TUN/1992, dipertimbangkan bahwa Penggugat-Penggugat bukan orang yang dituju dalam obyek gugatan, Penggugat-Penggugat baru mengetahui adanya keputusaan tata usaha negara yang merugikannya sewaktu mereka mengurus Surat Sertipikat Tanah yang bersangkutan.

VI. RANCANGAN UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (RUU-AP)1

Dalam RUU-AP memperluas kewenangan PTUN. Hal ini dapat dilihat dari :

Pasal 1 4. Keputusan Administrasi Pemerintahan adalah semua keputusan tertulis atau tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.6. Upaya Administratif adalah upaya keberatan yang dilakukan perseorangan, kelompok masyarakat atau organisasi terhadap isi atau pelaksanaan suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan kepada atasan dari Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan yang mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan.7. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.Pasal 39Setiap orang, kelompok masyarakat atau organisasi dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan Upaya Administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara.Pasal 44(Ketentuan Peralihan)(1) Kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan tindakan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau badan yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial menurut Undang-Undang ini dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara.(2) Perkara perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan yang sudah didaftar tetapi belum diperiksa oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum dialihkan dan diselesaikan oleh Peradilan Tata Usaha Negara.(3) Perkara perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.(4) Keputusan Administrasi Pemerintahan berkekuatan hukum yang sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang ini.

Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keputusan yang harus melalui upaya administrasi sesuai Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 merupakan kewenangan PT.TUN dengan RUU-AP bukan lagi kewenangan PT.TUN sebagi pengadilan tingkat pertama, melainkan menjadi kewenganan PTUN.

VII. PENUTUP

Kompetensi PTUN dalam sistem peradilan kita, masih relatif kecil. Tidak jarang di berbagai PTUN volume perkara pertahunnya di bawah 20 perkara seperti antara lain PTUN Ambon, Banda Aceh, Bengkulu, Jambi, Jayapura, Kendari, Kupang, Palangkaraya, Palu, Yogyakarta. Hal ini menunjukan belum optimalnya peranan PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pemerintah.

Adanya upaya pemerintah dalam reformasi birokrasi dengan merancang RUU-AP kiranya dapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga eksistensi peradilan tata usaha negara dapat dirasakan manfaatnya baik bagi pemerintah maupun masyarakat.

Setelah RUU-AP menjadi UU-AP, haruslah pula ditindaklanjuti dengan penyelarasan menyangkut kompetensi mengadili PTUN yang secara tegas mengatur : “PTUN berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perbuatan badan/pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan hukum publik yang menimbulkan seseorang atau badan hukum perdata kepentingannya dirugikan

PERBEDAAN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA

Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986.
Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan lainnya, yaitu:

  • Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
  • Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
  • Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
  • Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
  • Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
  • Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
  • Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.
  • Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
  • Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil enggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.


B. PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)

Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.

Bentuk upaya administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)

Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:

  • Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
  • Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.



HAK PENGGUGAT:

1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usahan Negara. (pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN PENGGUGAT:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)

Halaman 2 Dari 2



HAK TERGUGAT:
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN TERGUGAT:
1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1)
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)


PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN


PEMANGGILAN PIHAK-PIHAK:

Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa dilakukan secara administrative yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera pengadilan.
Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
- Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986)
- Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5 tahun 1986)



KEWAJIBAN HAKIM:
1. Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63)
2. Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).
3. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1)
4. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2)
5. Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa (pasal 79 ayat 1)
6. Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2)
7. Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108 ayat 1)

PIHAK KETIGA:

1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)

Makalah PTUN

B. JAWABAN

Pasal 74 UU.No.5/1986 juga memberi kesempatan kepada Tergugat untuk mengajukan jawaban atas gugatan berikut memberikan penjelasan tentang jawabannya tersebut. Suatu jawaban biasanya berisi dua hal, yatu :
1. Tentang Eksepsi.
Eksepsi adalah tangkisan hal-hal di luar pokok perkara, sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi dalam perkara Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 77 UU.No. 5/1986 terdiri dari :
a. Eksepsi Absolut :
- Kopetensi Absolut.
Yakni eksepsi tentang kompetensi absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan berjalan. Bahwa meskipun tidak diajukan, Pengadilan wajib untuk memeriksanya dan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara.
- Kopetensi Relatif.
Eksepsi diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok perkara. Eksepsi ini harus diputus sebelum pokok perkara diperiksa. Jadi untuk itu pengadilan terlebih dahulu harus menetapkan putusan sela.
b. Eksepsi Relatif :
Eksepsi Relatif adalah tangkisan mengenai hal-hal kekurangan/kesalahan mengenai pembuatan gugatan. Misalnya : Penggugat tidak berkualitas sebagai Penggugat, Objek gugatan bukan objek TUN, identitas para pihak tidak lengkap, gugatan kabur, gugatan telah daluwarsa, gugatan nebis in idem dll. Eksepsi relatif ini tidak terbatas, asal itu merupakan kelemahan dari gugatan diajukan sebagai eksepsi relatif.
2. Tentang jawaban.
Setelah mengemukakan eksepsi (tangkisan), selanjutnya disampaikan jawaban terhadap pokok perkara (Pasal 74 ayat 1 UU.No. 5/1986). Suatu jawaban biasanya berisikan :
1. Bantahan
Bantahan yang dimaksud adalah suatu pengingkaran terhadap apa yang dikemukakan penggugat dalam dalil-dalil gugatannya.
2. Pengakuan/pembenaran
Di dalam awaban ada kemungkinan Tergugat mengakui kebenaraan dalil-dalil gugatan Penggugat. Untuk menghidarkan agar jangan sampai ada pengakuan yang tidak memerlukan pembuktian lagi biasanya dipergunakan kata-kata “ seandanyapun itu benar” atau “qwodnoon. Maksudnya tidak membantah secara tegas, tetapi juga tidak mengakui secara tegas, tetapi juga tidak mengakui secara pasti.
3. Fakta-fakta lain
Di dalam jawaban itu Tergugat ada kemungkinan juga mengemukakan fakta-fakta baru untuk membenarkan kedudukannya.

Cara menjawab ini agar mudah dilakukan dengan jalan mengikuti poin-poin gugatan. Adapula dalam menjawab terlebih dahulu mengulang dalil gugatan yang hendak dijawabnya terlebih dahulu, baru kemudian memberikan dalil-dalil jawabannya. Namun guna menghemat waktu dan tenaga serta pikiran lebih baik langsung memberikan poin-poin jawaban saja.
Dalam mengemukakan jawaban harus dipertimbangkan, apakah jawaban tersebut menguntungkan kedudukan Tergugat atau merugikan. Kalau merugikan tidak usah dikemukakan. Jawaban hendaklah disusun secara singkat, jelas dan tidak mendua arti. Pergunakanlah bahasa hukum yang sederhana, mudah dimengerti dan singkat.
Untuk mendukung dalil-dalil bantahan dapat dipergunakan sumber-sumber kepustakaan, yurisprudensi, doktrin, kebiasaan-kebiasaan, dan lain-lain. Jawaban yang hanya berdasarkan logika belaka kurang mendukung bantahan.


Contoh Format Jawaban :

Hal : Jawaban Perkara Tata Usaha Negara
No. : ....../G/..../PTUN......

Dengan Hormat,
Tergugat dengan ini menyampaikan Eksepsi dan Jawaban sebagai berikut :
I. TENTANG EKSEPSI
A. Eksepsi Absolut (kalau ada)
1. Kopentensi Absolut (uraikan)
2. Kopetensi Relatif (uraikan)
B. Eksepsi relatif
1. Daluwarsa (uraikan)
2. Gugatan Nebis in idem (uraikan)
3. dll (uraikan)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon PTUN menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara ini (kalau menyangkut eksepsi absolut) dan karenanya/atau menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
II. TENTANG POKOK PERKARA
- Bahwa Tergugat dengan ini membantah seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat, kecuali atas hal-hal yang secara tegas diakui oleh Tergugat dalam jawaban ini ;
- Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam eksepsi, secara mutatismutandis juga masuk kedalam jawaban terhadap pokok perkara, sehingga tidak perlu diulagi lagi ;
- Bahwa ............... (dan seterusnya) merupakan bantahan terhadap dailil-dalil gugatan Penggugat poin demi poin.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon Majelis hakim yang memeriksa perkara ini menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima.

Terima Kasih
........ (domisili), tanggal .....

Hormat Tergugat
Kuasa Hukumnya

(........................)


C. REPLIEK
Atas jawaban Tergugat, selanjutnya kepada Penggugat diberikan kesempatan untuk membantah, menguatkan alasan-alasan gugatan yang diajukan (Pasal 75 (1) UU. No. 5/1986).
Replik biasanya berisi dalil-dalil atau hal-hal tambahan untuk menguatkan dail-dalil gugatan Penggugat. Penggugat dalam replik ini dapat mengemukakan sumber-sumber kepustakaan, pendapat para ahli, doktrin, kebiasaan, dan sebagainya. Perananan Yurisprodensi sangat penting dalam replik, mengingat kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum.
Untuk menyusun replik biasanya cukup dengan mengikuti poin-poin jawaban Tergugat. Dalam replik Penggugat dapat mengajukan hal-hal baru untuk menguatkan dalil gugatannya.

4. Duplik Tergugat
Terhadap Replik Penggugat, maka kepada Tergugat diberi kesempatan untuk menyampaikan Duplik, yang isinya berupa dalil-dalil bantahan atas Replik Penggugat atau dalil-dalil untuk menguatkan jawaban Tergugat (Pasal 75 ayat (2) UU.No. 5/1986). Penyusunan duplik basanya berasarkan poin-poin replik Penggugat. Dengan adanya jawab-menjawab ini menjadi jelas permasalahan perkara.
Pada duplik Tergugat masih dapat mengemukakan dalil-dalil baru tentang bantahannya terhadap gugatan, atau sekedar untuk menguatkan dalil-dalil jawabannya
5. Pembuktian
Selesai acara jawab-menjawab dilanjutkan dengan acara Pembuktian. Pertama-tama Penggugat akan menyampaikan alat bukti tulis, dilanjutkan dengan acara yang sama oleh
6. Kesimpulan / Konklusi
Setelah selesai acara pembuktian, kepada para pihak diberikan kesempatan untuk meyampaikan konklusi. Konklusi disususn dalam bentuk kesimpulan dari masing-masing pihak (Pasal 97 ayat (1) UU.No. 5/1986), secara sitematis mulai dari Eksepsi, Tentang pokok perkara, tentang bukti tertulis, bukti saksi dan lain-lainnya, yang kemudian ditutup dalam kesimpulan apakah gugatan terbukti atau tidak. Dalam konklusi juga ada kesempatan dari masing-masing pihak untuk menyampaikan pendapatnya yang terakhir tentang perkara.
Konklusi yang disusun secara baik, akan dapat menjadi masukan bagi hakim dalam mengambil keputusan tentang perkara yang diperiksanya. Akan tetapi apabila disusun secara subjektif dan sepihak dengan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka konklusi itu malahan akan memepersulit hakim dalam mempertimbangkan perkara yang ditanganinya.
Contoh Format Konklusi :
Hal : Konklusi Perkara Tata Usaha Negara
No. : ..... /G/...../PTUN ....

Dengan Hormat,
Penggugat/Tergugat dengan ini menyampaikan konklusi sebagai berikut :
I. TENTANG EKSEPSI
(Di sini masing-masing pihak membuat kesimpulan/konklusi tentang Eksepsi, artinya apakah Eksepsi tersebut terbukti atau tidak terbukti ? Kalau terbukti apa dasarnya ? Kalau tidak terbukti apa dasarnya ? Ini harus diuraikan secara singkat dan jelas).
II. TENTANG JAWAB-MENJAWAB
(Berdasarkan jawab-menjawab yang dilakukan, uraikanlah hal-hal yang dapat dibuktikan atau yang tidak dapat dibuktikan secara jelas, tegas dan apa dasar hukumnya masing-masing).
III. TENTANG ALAT BUKTI
A. Bukti Tertulis
(Di sini diuraikan masing-masing dari alat bukti tertulis dan hal-hal apa yang terbukti dari padanya. Juga dimuat tentang kelemahan dari alat-alat bukti yang disampaikan oleh lawan, sehingga ada dalil gugatannya masing-masing).
B. Bukti Saksi
(Keterangan masing-masing saksi dibuat secara singkat, jelas dan rinci, sehingga jelas hal-hal yang dapat dibuktikan dari keterangan saksi tersebut, atau hal-hal yang tidak dapat dibuktikan dengan dasar-dasar keterangan saksi tersebut).
IV. DAN LAIN-LAIN
(Maksudnya kalau ada bukti-bukti lainnya maka itu dibahas secara rinci, jelas dan singkat. Misalnya hasil sidang lapangan, dll).
V. KESIMPULAN
(Berdasarkan point I,II,III dan IV hal apa yang menjadi terbukti dan hal-hal yang tidak terbukti).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon Majelis Hakim yang terhormat mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya (Penggugat). Atu menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima (Tergugat).

Terima kasih
...........(domisili), tanggal .......
Hormat Penggugat/Tergugat
Kuasa Hukumnya
(.................)







ACARA PEMERIKSAAN PERKARA DI PTUN


A. DISMISAL PROSES (PENELITIAN ADMINISTRATIF)
Pasal 62 ayat (1) UU.No. 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan, yang dilengkapi pertimbangan-pertimbangan, bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar. Untuk mengambil keputusan tersebut, maka terlebih dahulu dilakukan Penelitian Administratif (Dismissal Proses) di Kepaniteraan sebagai bantuan kepada Ketua Peradilan Tata Usaha Negara. Penelitian dilakukan meliputi segi administratif dan segi elementer.
Penelitian dari segi administratif meliputi Identitas para pihak, yakni baik Penggugat maupun Tergugat (Pasal 56 Jo. Pasal 48 UU.No. 5/1986).

Sedangkan penelitian dari segi elementer meliputi sifat yang lebih mendalam, yaitu :
1. Apakah objek gugatan berupa penetapan tertulis (Pasal 1 butir 3 UU. No. 5/1986) dan bukan termasuk Pasal 2 atau Pasal 49 UU.No. 5/1986 ;
2. Apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu sudah dilampirkan (Pasal 56 ayat (3) UU.No. 5/1986 );
3. Apakah dalam gugatan sudah jelas dinyatakan, kapan tanggal keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan diterima atau diumumkan atau diketuhi oleh Penggugat (Pasal 55 UU. No. 5/1986) ;
4. Apakah Penggugat adalah orang atau Badan Bantuan Hukum Perdata yang berhak menggugat, yang kepentingannya dirugikan langsung atau tidak langsung ;
5. Dalam hal Pengugat diwakili oleh Kuasa Hukum, apakah surat kuas yang terlampir sudah memenuhi syarat ;
6. Apakah uang panjar baiaya perkara sudah dilunasi oleh Penggugat ;
7. Sebagaimana Surat Mahkamah Agung RI, No. 51/Td.TUN/III/1992, Penelitian administrasi juga meliputi :
8. a. Cap tanggal penerimaan gugatan TUN atau PTTUN dimana gugatan itu diajukan sebagai perantara ;
b. Dalam hal gugatan ditandatagani oleh seorang kuasa, maka PTUN/PTTUN harus meneliti mengenai syarat formal dari surat kuasa. Surat Kusa dapat digunakan untuk beberapa orang pemberi kuasa, asal saja materi/objek gugatannya sama ;
c. Setelah Litbang TUN-MA mengeluarkan model surat kuasa TUN, maka tidak dibenarkan menggunakan blanko surat kuasa untuk Pengadilan umum ;
d. Apabalia dala 1 (satu) surat gugatan disebutkan beberapa kuasa sebagai yang menajukan /membuata surat gugatan, maka semua kuasa hukum yang disebutdalam surat guagatan tersebut harus turut serta menandatangani surat guagatan tersebut harus turut serta menandatangani surat guagatan itu.
e. Pemengang surat kuasa harus seorang Advokat atau seorang yang mendapatkan izin praktek.
8. Dan lain-lain.
Hasil penelitian ini dituangkan di dalam suatu formulir laporan singkat, sebagai informasi kepada Ketua melaui Panitera dan dilampirkan bersama-sama dengan gugatan yang telah didaftarkan.
SE-MA No. 2 Tahun 1991, mengatur petugas yang berwenang untuk melakukanpenelitian administratif itu, adalah : Panitera, Wakil Panitera dan Panitera Muda Perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Alasan Ketua Pengadilan menolak atau menyatakan tidak dapat diterima suatu gugatan pada tahap ini adalah, karena :
1. Pokok gugatan tersebut nyata=nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
2. Syarat-syarat gugatan (Pasal 56 UU.No. 5/1986) tidak dipenuhi oleh Penggugat, sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
3. Guagatn tersebut tidak berdasarkan pada aturan-aturan yang layak;
4. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang diguagt;
5. Gugatan diajukan sebelum waktu (prematur) atau telah lewat waktu (daluwarsa);
Penetaoan itu diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya.
Terhadap penetapan itu dapat diajukan perlawanan, dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak penetapan itu diucapkan. Pengajuanny sesuai dengan Pasal 56 UU.No. 5/1986, yaitu sama seperti syarat-syarat membuat gugatan Tata Usaha Negara. Perlawanan itu harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.Apa bila perlawanan dibenarkan, maka penetapan menjadi gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa dan diputus serta dissesaikan menurut acara biasa.

SE-MA No. 2 tahun 1991 mengatur Prosedur Dismissal itu sebagai berikut :
1. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan dismissal, apabila dipandang perlu, Tenggang waktu yang ditentukan menurut Pasal 55 UU.No. 5/1986, adalah sejak tanggal diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Penggugat, atau sejak diterimanya keputusan tersebut dengan ketentuan bahwa tenggang waktu itu ditunda selama proses peradilan masih berjalan menurut Pasal 62 Jo. 63 No. 5/1986. Oleh sebab itu diminta Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e ;
2. Pemeriksaan dismisal dilakukan oleh Ketua dan Ketua dapat juga menunjuk seorang hakim sebagai reporter ;
3. Penetapan dismissal ditanatngani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Pemeriksaan dismissal dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan. Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap dismissal, juga dilakukan dengan acara singkat ( Pasal 62 ayat (4) UU.No. 5/1986) ;
4. Dalam hal adanya petitum guagatan yang nyata tidak dapat dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gauagatan. Ketentuasn tentang perawanan terhadap ketetapan dismissal juga berlaku dalam hal ini.
B. PEMERIKSAAN PERSIAPAN
Setelah melalui Penelitian Administratif (Dismissal Proses), maka seanjutnya dilakukan pemeriksaan persiapan atas suatu guagatan Tata Usah Negara. Sebelum memeriksa pokok perkara segketa dimulai (Pasal 63 UU.No. 5/1986), Hakim wajib mengadakan persiapan pemeriksaan untuk melengkapi guagatan byang kurang jelas. Dalam pemeriksaan persiapan ini hakim wajib memberi nasihat kepada Pengguagt untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari Hakim juga dapat memnita penjelasan kepada pejabat atau Badan Tata Usah Negara (Terguagat) yang bersangkutan.
Apabila Penggugat belum menyempurnakan gugatannya dalam tenggang waktu 30 hari, maka hakim menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Pasal 63 ayat (3) UU.No. 5/1986). Dalam praktek perbaikan ini dapat dilakukan berkali-kali sampai sempurna dalam tenggang waktu 30 hari.

C. PEMERIKSAAN DENGAN ACARA BIASA

UPAYA HUKUM

A. PERLAWANAN (VERZET)
Pasal (3) a Undang-undang No. 5/1986, menentukan terhadap putusan dismissal (yang ditetapkan Ketua Pengadilan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbanga) bahwa gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, maka Penggugat (Pasal 63 (5) a UU. No.5/1986) dapat mengajukan Perlawanan (Verset). Tenggang waktu untuk megajukan Perlawanan (Verzet) itu adalah 14 hari setelah penetapan Pasal 56 UU. No. 5/1986) sebagai berikut :
1. Identitas
a. Identitas Pelawan :
- Nama Pelawan
- Umur/Tanggal Lahir Pelawan
- Kewarganegaran Pelawan
- Tempat Tinggal Pelawan
- Pekerjaan Pelawan
- Kuasa Pelawan
b. Identitas Terlawan :
- Nama Jabatan Terlawan
- Tempat Kedudukan Terlawan
2. Objek Perlawanan :
Adalah Penetapan Ketua PTUN yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar. (Putusan Dismissal). Untuk itu disebutkan nomor dan tanggal diucapkan oleh hakim.
3. Posita Perlawanan.
Dalam posita Perlawanan, akan diuraikan hal-hal sebagai berikut :
a. Menerima Perlawanan Pelawan untuk seluruhnya ;
b. Menetapkan Penetapan Dismissal No. ....., tanggal ...... adalah gugur demi hukum.
c. Menyatakan Pokok Gugatan diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan acara biasa (Pasal 62 (5) UU.No. 5/1986).
4. Petitum Perlawanan.
a. Menerima Perlawanan Pelawan untuk seluruhnya ;
b. Menetapkan Penetapan Dismissal No. ........, tanggal ......... adalah gugur demi hukum.
c. Menyatakan Pokok Gugatan diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan acara biasa (Pasal 62 (5) UU. No. 5/1986).
5. Ditandatangani oleh Pemohon / Kuasa yang sah.
Perlawanan (Pasal (4) UU.No. 5 Tahun 1986) diperiksa dengan acara singkat. Singkat maksudnya acara pemeriksaan tidak akan memakan waktu seperti acara biasa, karena dalam acara Perlawanan itu hanya akan dibuktikan mengenai kebenaran dalil-dalil Perlawanan Pelawan, sementara pokok perkara belum diperiksa sama sekali. Acara setelah perlawanan disampaikan / dibacakan didepan sidang adalah; Acara Jawab- menjawab, Acara Pembuktian, Konklusi Para Pihak dan Putusan. Terhadap putusan Perlawanan ini tidak dapat diajukan upaya hukum, akantetapi Penggugat/Pelawan dapat mengajukan gugatan baru.

B. BANDING
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat dimintakan banding oleh Penggugat atau Tergugat yang merasa tidak puas atau dirugikan oleh keputusan tersebut, kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sesuai dengan Pasal 122 UU. No. 5/1986. Permintaan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau kuasanya yang sah untuk itu dan disampaikan kepada PTUN yang menjatuhkan putusan. Untuk itu Panitera PTUN akan membuat Berita Acara Permintaan Banding tersebut dan setelah dibayar biaya berupa panjar barulah Permintaan Banding itu diregistrasi.
Tenggang waktu mengajukan Permintaan Banding adalah 14 hari terhitung sejak putusan PTUN diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak secara sah. Pemberitahuan itu disampaiakan melalui Pos dengan surat tercatat. Terhadap putusan Tata Usaha Negara yang bukan merupakan putusan akhir, misalnya putusan sela yang menolak eksepsi, hanya dapat pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Pemohon banding bersama-sama dengan putusan akhir. Permohonan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara dan memberitahukan hal itu kepada pembanding.
Para pihak dapat menyerahkan Memori Banding atau Kontra Memori Banding serta keterangan dan alat bukti (tambahan) kepada Panitera PTUN dengan ketentuan salinan Memori Banding atau Kontra Memori Banding harus juga diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadilan.

C. KASASI
Pasal 131 UU.No. 5/1986 menentukan, bahwa terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dapat dimohonkan kasasi ke Mahakamh Agung. Adapun alasan-alasan untuk mohon Kasasi adalah :
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;


3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh perundang-undangan;
Dalam hal Kasasi, maka permohonan Kasasi dapat dimintakan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak tanggal diterimanya putusan PTTUN yang dimohonkan Kasasi tersebut. Lewat tenggang waktu tersebut permohonan Kasasi menjadi daluwarsa.
Pemohon Kasasi wajib menyampaikan Memori Kasasi dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak Permohonan Kasasi menyatakan Kasasi atas putusan PTUN. Atas Memori Kasasi tersebut, Termohon Kasasi dapat mengajukan Kontra Memori Kasasi dalam jagka waktu 14 hari terhitung sejak ia menerima Memori Kasasi.

D. DERDEN VERZET/PERLAWANAN PIHAK KETIGA
Adalah Perlawanan Pihak Ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutkan selama pemeriksaan sengketa menurut Pasal 83 UU.No. 5/1986 dan khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan itu dapat mengajukan Perlawanan (Derden Verzet) terhadap pelaksanaan putusan tersebut.
Perlawanan diajukan kepada Pengadilan yang mengadili sengketa pada tingkat pertama. Perlawanan hanya dapat diajukan padasaat sebelum putusan Pengadilan dilaksanakan. Perlawanan diajukan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai ketentuan Pasal 56 UU.No. 62 dan 63 UU.No. 5/1986, yaitu melalui Dismissal Proses dan pemeriksaan persiapan. Dengan adanya Perlawanan, dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan.

E. PENINJAUAN KEMBALI
Pasal 132 UU.No. 5/1986 mengatakan, bahwa terhadap keputusan Pengadilan yang telah berkeuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kemabali kepada Mahkamah Agung. Adapun alasan-alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah :
1. Bohong dan Tipu Muslihat.
2. Novum.
3. Mengabulkan hal yang tidak dituntut.
4. Ada bagian tuntutan belum diputus.
5. Putusan bertentangan satu sama lain.
6. Khilaf atau keliru.
Untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali harus dilakukan oleh para pihak yang berperkara sendiri, atau ahli warisnya apabila ia sudah meninggal dunia, atau seorang kuasa yang khusus untuk itu.
Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (Pasal 69 UU.No. 14 Tahun 1985) :
1. Diketahui adanya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
2. Ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
3. Putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa.
4. Putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara


Dua hari yang lalu, 24 Juli 2007 acara sidang di PTUN Surabaya (Waru
-Sidoarjo) perkara No. 57/G.TUN/2007/ PTUN.SBY, perkara antara Yuliani, dkk (3
mahasiswa ITS) melawan Rektor ITS, telah sampai pada acara DUPLIK (tanggapan
Kuasa Hukum Rektor ITS selaku Tergugat atas REPLIK Penggugat). Hari ini juga
Kuasa Hukum Penggugat (3 mahasiswa) telah mengajukan alat bukti surat-surat.

Dalam Dupliknya, Tergugat tetap mendalilkan pendiriannya bahwa Keputusan
Rektor ITS tidak bersifat final. Tergugat tetap menyangkal seluruh dalil gugatan
Penggugat. Itu merupakan hal yang biasa.

Namun, kami selaku Penggugat mempunyai catatan-catatan tertentu dalam proses
persidangan perkara tersebut dari awal hingga kini, yaitu:

1. Hakim cenderung formalis atau skriptualis. Contoh: hakim tidak mau kami
menggunakan kata "alamat" dengan alasan bahwa UU PTUN mengistilahkan "tempat
tinggal". Padahal dalam Ilmu Hukum dikenal juga istilah 'domisili'. Soal seperti
ini dipermasalahkan secara serius. Contoh lainnya adalah susunan alat bukti kami
menggunakan kode P1.a., P1.b., P1.c., untuk memberikan kode bukti surat kartu
mahasiswa, lalu P2 untuk alat bukti SK Rektor ITS dan seterusnya, tapi itu
dipersalahkan Hakim dan diminta untuk menggunakan kode P1, P2 dan P3. Ini adalah
soal-soal teknis yang sebenarnya tidak dapat dinilai salah dan benarnya, sebab
itu tergantung bagaimana cara memahami atau mengerti maksudnya.

2. Belum-belum Hakim telah berusaha membatasi prinsip kebebasan Penggugat
dalam membuktikan dalil gugatannya dengan mengatakan bahwa nantinya saksi yang
diajukan BUKAN BERKAITAN DENGAN AKSI MAHASISWA DALAM SEMINAR JALANAN, TAPI
SAKSI-SAKSI YANG MENGETAHUI PROSES ADMINISTRASI ATAS KELUARNYA SK REKTOR ITS.
Tentu saja itu menjadikan tanda tanya besar, menyangkut kualitas Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini, sebab dalam Hukum Pembuktian proses acara
PTUN dikenal Hukum Pembuktian Formal (proses dikeluarkannya Keputusan TUN) dan
Hukum Pembuktian Fakta Materiil yang berkaitan dengan SK atau Keputusan TUN yang
memberikan sanksi dengan tuduhan adanya fakta pelanggaran tertentu. Bahkan itu
dapat memicu kecurigaan adanya subyektivitas Hakim yang cenderung memihak.

Tapi kami akan tetap merencanakan untuk mengajukan saksi-saksi fakta, untuk
membuktikan bahwa 3 mahasiswa ITS tersebut bukanlah aktor atas keluarnya
kata-kata kotor sebagian peserta aksi dalam kericuhan aksi tersebut karena
pembubaran paksa oleh rektorat ITS yang dibantu petugas keamanan ITS. Kami juga
akan mengajukan saksi-saksi bahwa 3 mahasiswa ITS tersebut juga tidak melakukan
perbuatan yang menganggu keamanan dan kebersihan kampus ITS seperti yang
dituduhkan dalam SK Rektor ITS. Kami juga akan membuktikan bahwa aksi Seminar
Jalanan yang dilakukan para mahasiswa ITS dan beberapa alumni ITS serta pemuda
korban lumpur Lapindo tersebut tidak mengatasnamakan atau menggunakan nama ITS
seperti yang dituduhkan dalam SK Rektor ITS tersebut. Mereka, para peserta aksi
tidak pernah 'meminjam nama ITS', tapi malah 'menyudutkan' posisi ITS yang tidak
transparan dalam penyajian data surveinya dalam kasus lumpur Lapindo kepasa
masyarakat.

Kami juga akan membuktikan bahwa SK Rektor ITS melanggar asas persamaan dan
keadilan serta kecermatan sebab telah menimpakan perbuatan yang dianggap salah
yang dilakukan sekitar lebih dari 20 mahasiswa ITS hanya kepada 3 mahasiswa ITS
selaku Penggugat tersebut. Ini bukan soal meminta agar mahasiswa lainnya juga
diberikan sanksi, tapi untuk membuktikan bahwa SK Rektor ITS yang menjatuhkan
sanksi pencabutan status mahasiswa kepada Penggugat dalam waktu tertentu
tersebut memang melanggar asas-asas pemerintahan yang baik.

Jika Hakim nantinya benar-benar tidak mengizinkan kami untuk mengajukan
saksi-saksi fakta maka kami harus membuat petisi agar PTUN Surabaya direformasi,
sebab tidak berkualitas dalam menyelenggarakan tugas peradilan.

Bagi kami, persidangan kasus ini bukan pada menang-kalah di Pengadilan. Tentu
semua intelektual dan orang-orang yang punya pengalaman dalam urusan peradilan
telah mahfum atas praksis mafioso peradilan selama ini, sehingga kemenangan
berperkara di pengadilan hanya 25 persen yang bergantung pada kualitas fakta
hukum dan keadilan. Pengadilan masih tempat dagang hukum. Keadilan menjadi
barang lelangan.

Peradilan kasus ini bagi kami adalah bagian dari menjalani sejarah penerapan
hukum, lebih penting untuk mengukur dan mendalami sejarah penerapan hukum yang
dari waktu ke waktu harus dibenahi. Reformasi masih hanya pada suksesi, belum
menyentuh substansi perubahan bernegara. Seperti yang kita lihat koruptor masih
berkuasa atas kita dan pengadilan masih menjadi alat formalitas untuk
menampakkan keberadaan negara (formal), bukan negara materiil yang menurut Saint
Augustine mensyaratkan keadilan. Kalau setiap tahun negara ini masih dikorupsi,
kalau setiap tahunnya negara ini hanya masih menjadi tempat buangan limbah serta
tempat bencana akibat dosa-dosa manusia serta korporasi yang tidak mempunyai
hati nurani - meminjam Daniel C. Maguire - maka itu semua menunjukkan reformasi
telah mati suri.

Agenda sidang berikutnya adalah SELASA depan, PENGAJUAN ALAT BUKTI SURAT oleh
kuasa hukum Tergugat, belum sampai pada keterangan saks

Asas dalam Hukum Acara PTUN

· “Asas praduga rechtmatig (benar menurut hukum, presumptio iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5 tahun 1986);

· “Asas pembuktian bebas”. Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW (lihat Pasal 101, dibatasi ketentun Pasal 100;

· ”Asas keaktifan hakim (dominus litis)”. Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85)

· ”Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes)”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa;

· dan asas-asas peradilan lainnya, mislny : asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, obyektif.

· “Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)”, para pihak mempunyai kedudukan yang sama;

· “Asas kesatuan beracara” (dalam perkara yang sejenis);

· “Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas” (Pasal 24 UUD 1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004);

· “Asas sidang terbuka untuk umum”~putusan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 70 UU PTUN);

· “Asas pengadilan berjenjang” (tingkat pertama (PTUN), banding (PT TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA);

· “Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium)”, sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU PTUN);

· “Asas obyektivitas”, lihat Pasal 78 dan 79 UU PTUN).

· Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Asas dalam Hukum Acara Pidana

1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

2. Presumption of innocent

3. Equality before the law

4. Pengadilan terbuka untuk umum kecuali diatur UU

5. Sidang pengadilan secara langsung dan lisan

6. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir (pelaku sebagai subjek bukan objek)

7. Asas Legalitas dan Oportunitas (sebagai pengecualian)

8. Tersangka/ terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum

9. Fair Trial (pengadilan yang adil dan tidak memihak)

10. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap

11.Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dengan perintah tertulis

12. Ganti rugi dan rehabilitasi

13. Persidangan dengan hadirnya terdakwa

Asas-asas dalam Hukum Acara Perdata

A. Asas Kebebasan Hakim

B. Hakim Bersifat Menunggu

C. Peradilan Terbuka Untuk Umum

D. Asas Hakim Bersikap Pasif ( Tut Wuri )

E. Asas Kesamaan ( Audi et Alteram Partem)

F. Asas Obyektivitas

G. Putusan Disertai Alasan

H. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan

I. Beracara Dikenakan Biaya

J. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

K. Peradilan dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

RUU Administrasi Pemerintahan Perluas Kewenangan PTUN
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) awal Agustus lalu, Mahkamah Agung ikut mensosialisasikan RUU Administrasi Pemerintahan (AP) kepada kalangan hakim dan petugas pengadilan. RUU ini dianggap penting karena berkaitan langsung dengan peradilan tata usaha negara. Pada Juli lalu, keberadaan RUU ini juga sudah disinggung dalam sidang kabinet.

RUU ini mengatur perlindungan hukum atas sikap tindak AP melalui upaya administratif dan atau melalui gugatan di Pengadilan Administrasi Negara/PTUN,” papar Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendie Lotulung, dalam makalah yang disampaikan pada Rakernas tersebut.

Salah satu poin penting dari RUU Administrasi Pemerintah adalah perluasan yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Ketua Tim Penyusun RUU AP, Prof. Eko Prasojo, kelak objek PTUN bukan hanya keputusan tertulis dari pejabat tata usaha negara. Jika draft yang sekarang disetujui bersama DPR dan Pemerintah, maka perbuatan faktual pejabat administrasi negara juga bisa menjadi objek gugatan TUN.

Selama ini, keputusan TUN yang bisa digugat harus merupakan penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual, dan final. Yurisdiksi PTUN akan bertambah jika rumusan “perbuatan faktual” disetujui. Intinya, PTUN akan diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara tindakan administrasi pemerintahan yang menyebabkan kerugian materiil dan immateriil. “Objek hukumnya diperluas, tidak hanya keputusan tertulis, tetapi juga keputusan tidak tertulis yang faktual,” jelas Prof. Eko Prasojo.

Ditambahkan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Indonesia itu, masuknya keputusan tidak tertulis yang faktual sebagai objek TUN dimaksudkan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang dirugikan akibat keputusan pejabat TUN. Eko melihat acapkali pejabat TUN mengeluarkan keputusan tidak tertulis, misalnya perintah lisan, yang menyebabkan perlindungan masyarakat terabaikan. Syaratnya, perbuatan pejabat TUN tadi faktual.

Dijelaskan Prof. Eko, perbuatan Faktual adalah semua perbuatan yang dilakukan oleh pejabat TUN yang tidak tertulis. Sedangkan pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang memperoleh kewenangan baik sifatnya atribusi, delegasi, maupun mandat untuk membuat Keputusan TUN yang sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. “Semua keputusan yang sifatnya tidak tertulis dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat karena kewenangan yang dimilikinya berdasarkan delegasi, atribusi, dan mandat maka dikategorikan sebagai keputusan yang tidak tertulis atau perbuatan faktual,” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara Edi Rohaedi mendukung perluasan yurisdiksi PTUN. Mekanisme yang berlaku selama ini, -- PTUN atau perdata—kurang maksimal dari sisi pembuktian. Menggugat langsung secara perdata mungkin bisa memaksimalkan ganti rugi, tetapi tidak bisa menguji keabsahan tindakan pemerintah. Jadi, validitas tindakan hukum pemerintah kurang memadai dari sudut pandang hukum publik. Karena itu, diperlukan alat publik untuk mengujinya, yakni lewat PTUN. “Sebaiknya, kewenangan PTUN tidak hanya Keputusan TUN saja,” ujar Edi Rohaedi.

Gagasan dalam RUU AP bukan tak menuai kritik. Jangan ngaco, faktual itu pasti masuk perdata,” tandas Prof. Anna Erliyana, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia. Pada prinsipnya, Prof. Anna mendukung perluasan objek gugatan TUN. “Tapi jangan sembarangan. Jangan masuk-masukin yang nggak karuan. Emangnya TUN tong sampah”.

Meskipun demikian, Prof. Anna Erliyana mengingatkan bahwa gagasan tersebut baru sebatas RUU. Jadi, belum tentu kelak diterima dan disahkan. Ia malah meminta tim penyusun membuat harmonisasi. “Kalau membuat suatu RUU kan mesti dilihat dulu dengan UU yang sudah ada, sinkron atau tidak. Paling tidak, dengarlah orang-orang yang berkecimpung di TUN,” tandasnya.

Keputusan TUN

Selain perbuatan aktual pejabat administrasi negara, poin penting yang juga mendapat perhatian adalah tindakan pejabat administrasi pemerintahan sebagai perbuatan melawan hukum. PTUN dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan suatu tindakan pejabat AP merupakan perbuatan melawan hukum (PMH). Karena itu, bisa juga ada ganti rugi.

Sebelumnya, umum dipahami bahwa PTUN hanya berwenang untuk memutus batal atau tidak sahnya suatu Keputusan TUN (pasal 53 ayat 1 UU PTUN). Dalam RUU AP, kewenangan PTUN diperluas tidak hanya memutus batal atau tidak sah, tetapi juga dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan tindakan AP merupakan perbuatan melawan hukum, dan ganti rugi.

Rumusan ini, jelas Prof. Eko, diperlukan untuk memperkuat daya paksa putusan PTUN dan eksistensi PTUN itu sendiri. “Selama ini banyak putusan PTUN yang tidak dijalankan oleh pejabat karena minimnya daya paksa putusan,” ujarnya.

Namun, menurut Prof. Anna Erliyana, kewenangan PTUN dalam hal mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum suatu SK TUN sudah dari dulu ada dalam praktik TUN walaupun tidak secara tertulis diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 sebagaimana diubah melalui UU No. 9 Tahun 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar