Selasa, 08 Desember 2009

PEMILU DEMOKRATIS DI INDONESIA

PEMILU DEMOKRATIS DI INDONESIA
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang
Proporsional atau Distrik?
Oleh R William Liddle
DI luar dugaan banyak orang (termasuk saya), secara sangat mendadak, masyarakat Indonesia kini diberi suatu kesempatan yang luar biasa untuk menciptakan sistem pemerintahan baru yang demokratis. Kita patut berharap bahwa dalam waktu singkat, untuk pertama kali sejak 1955, rakyat Indonesia akan mengadakan pemilihan umum yang betul-betul demokratis.
Sebagai seorang demokrat dan sekaligus ilmuwan politik, saya merasa gembira tetapi juga prihatin menghadapi kenyataan baru ini. Gembiranya tidak perlu dijelaskan, tetapi kenapa prihatin? Sebab ada kemungkinan bahwa pemilihan umum yang akan diadakan tahun ini atau tahun depan tidak akan menciptakan kepemimpinan baru dengan sifat-sifat yang diperlukan oleh setiap negara demokratis, termasuk Indonesia pasca-Orde Baru.
Menurut pendapat saya, demokrasi memerlukan kepemimpinan politik yang memiliki dua sifat: representatif dan mampu memerintah. Para pemimpin yang berkuasa harus betul-betul mewakili masyarakat, dalam pengertian dipilih dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia, dan bisa dikalahkan dalam pemilihan umum yang berikutnya.
Sifat pertama itu mengharuskan pers yang bebas, dan yang bertanggung jawab hanya pada pengadilan, bukan pada penguasa. Lagi pula, setiap orang boleh menjadi anggota partai pilihannya atau malah mendirikan partainya sendiri. Lembaga monoloyalitas atau undang-undang yang membatasi jumlah partai sama sekali tidak dikenal.
Sifat kedua, dan tidak kalah pentingnya, para pemimpin setiap negara demokrasi harus mampu menciptakan sebuah pemerintahan yang bersatu dalam hal-hal pokok dan memiliki kekuatan politik yang cukup untuk bertahan lama dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Pemerintah yang dihasilkan oleh pemilihan umum harus bisa merumuskan kebijakan-kebijakan di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, pertahanan, dan luar negeri. Lantas, kebijakan-kebijakan itu harus bisa dilaksanakan melalui birokrasi negara selama pemerintah yang bersangkutan masih berkuasa.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tentu saja boleh berubah, dan boleh juga merupakan hasil dari proses negosiasi atau kompromi antara berbagai unsur yang bergabung di dalamnya. Yang penting adalah keyakinan masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan (seperti investor dalam dan luar negeri), bahwa pemerintah itu betul-betul bisa memerintah, dan bahwa keputusan-keputusannya akan bertahan lama dan dilaksanakan dengan baik.
Bagi sebagian besar masyarakat politik Indonesia kini, saya yakin bahwa sifat yang pertama sangat didambakan, sedangkan sifat yang kedua sangat kurang diperhatikan. Alasannya sederhana saja. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia sudah mengalami pemerintahan yang bersatu dan mampu tahan uji. Kebijakan-kebijakannya betul-betul dilaksanakan. Pemerintahan yang kacau balau dan ganti-gantian, seperti yang terjadi pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, tidak dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang hidup sekarang.
Di abad ke-21, Indonesia akan memerlukan kepemimpinan demokratis yang betul-betul mewakili masyarakatnya, tetapi juga mampu mengambil keputusan-keputusan penting dan melaksanakannya secara konsisten dan konsekuen. Dalam hal ini, menurut sebagian besar ilmuwan politik, sistem elektoral yang dianut sebuah negara demokratis bisa memainkan peranan yang menentukan.

***
PADA umumnya, para pakar itu menganggap sistem elektoral proporsional lebih unggul dari segi perwakilan. Sistem proporsional diterapkan di Indonesia pada Pemilu 1955, di mana setiap propinsi merupakan satu distrik elektoral dengan banyak kursi parlementer. Jumlah kursi di setiap distrik ditentukan oleh jumlah penduduk distrik itu.
Setelah pemilu, kursi-kursi dibagi menurut persentase suara yang diperoleh setiap partai. Kalau seandainya PNI mendapat 30 persen dari seluruh suara di Jawa Timur, partai itu lalu mendapat 30 persen dari seluruh kursi parlementer yang dialokasikan ke Jawa Timur. Maka dari itu, sistem proporsional dianggap sangat fair, sebab hampir tidak ada sisa suara pemilih yang tidak terwakili di Parlemen.
Dari segi pemerintah yang mampu memerintah, sistem distrik, yang kadang-kadang disebut mayoritarian, dianggap lebih baik. Dalam sistem distrik, negara dibagi dalam banyak distrik kecil (kira-kira setingkat kabupaten atau kotamadya di Indonesia). Setiap distrik diwakili dalam Parlemen oleh satu orang saja. Suara-suara yang diberikan kepada calon lain di distrik itu tidak terwakili sama sekali.
Di beberapa negara, seperti Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat, sistem distrik cenderung membatasi secara alamiah jumlah partai. Partai-partai kecil, yang tidak mampu memperoleh mayoritas (50 persen ke atas) ataupun pluralitas (paling banyak dari semua partai yang bersaing, meskipun tidak mencapai 50 persen) lama-kelamaan bergabung dengan partai yang lebih besar atau hilang sama sekali dari ajang percaturan politik.
Kecenderungan ini diperkuat di Amerika, di mana seluruh negara menjadi satu distrik untuk pemilihan Presiden setiap empat tahun. Cuma satu calon bisa menang dan menjadi Presiden. Oleh karena itu para pemimpin setiap partai yang ingin memenangkan jabatan Presiden tahu bahwa partai mereka harus menjadi sangat besar, kalau bisa mayoritas mutlak. Para pemimpin partai-partai kecil dirangsang untuk bergabung dengan partai besar.
Seandainya sistem distrik dipakai di Indonesia untuk pemilu yang akan datang, apakah hasilnya akan seperti di Inggris atau Amerika? Yaitu, sebuah pemerintah yang kurang mewakili sebagian dari masyarakat tetapi mampu memerintah sebab punya basis parlementer yang kuat? Terus terang saja, saya tidak tahu, dan saya kira tidak ada orang yang betul-betul tahu.
Namun demikian, menurut dugaan saya, penerapan sistem distrik di Indonesia akan berakibat buruk dari dua segi, setidak-tidaknya dalam pemilu pertama nanti. Partai-partai yang tersebar luas, yaitu mempunyai dukungan yang agak besar (katakanlah, sekitar 20-30 persen) di banyak kabupaten/ kotamadya, akan meraih persentase kursi yang jauh lebih besar daripada persentase suara mereka.
Sebuah contoh yang konkret: kalau sistem distrik diterapkan pada tahun 1955, mungkin Masyumi yang tersebar luas akan mendapat jauh lebih banyak kursi dari NU, yang sebagian besar pendukungnya tinggal di beberapa kabupaten/kotamadya di Jawa Timur. Saya meragukan apakah hasil seperti ini akan dianggap fair oleh masyarakat politik Indonesia, khususnya para pemimpin dan pendukung NU!
Kedua, ada kemungkinan bahwa sistem distrik akan menciptakan 500 raja kecil. Yaitu, para politisi lokal yang berpengaruh di daerah mereka masing-masing, tetapi tidak mempunyai hubungan atau kepentingan bersama dengan anggota-anggota DPR yang mewakili daerah lain. Lagi pula, raja-raja kecil ini belum tentu akan memiliki wawasan nasional, apalagi internasional, yang justru diperlukan oleh pemerintah pasca-Orde Baru untuk menghidupkan kembali ekonomi Indonesia yang sekarang hampir tidak bernapas lagi.
Sebenarnya, dengan tulisan ini saya tidak bermaksud menyimpulkan bahwa sistem proporsional lebih baik bagi Indonesia daripada sistem distrik. Saya hanya ingin mengawali sebuah perdebatan besar, di mana para pakar, dari dalam dan luar negeri, dan para politisi bisa bersama-sama membicarakan masalah penting ini dari berbagai segi. Siapa mau menyusul?
(* R William Liddle, profesor ilmu politik dari The Ohio State University, Amerika Serikat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar