Selasa, 08 Desember 2009

MENGAPA DALAM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TIDAK DIKENAL ADANYA REKONVENSI?

MENGAPA DALAM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TIDAK DIKENAL ADANYA REKONVENSI?

A. PENGERTIAN REKONVENSI

Rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat asal dalam sengketa yang sedang berjalan di antara mereka. Misalnya si A menggugat B ke PN Makassar, lalu pada persidangan kasus tersebut si B menggugat balik si A. Tentu saja, gugatan rekonvensi mensyaratkan adanya hubungan hukum antara A dan B (innerlijke samenhang). Gugatan rekonvensi merujuk pada Pasal 132 a dan 132 b HIR, serta pasal 157 dan 158 RbG.

Gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan upaya penyelesaian terhadap gabungan dari dua kepentingan yang berguna untuk menghemat biaya, menghemat prosedur, dan mencegah adanya putusan hakim yang saling bertentangan untuk perkara yang saling berkaitan. Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban pihak tergugat.

Suatu gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan dalam beberapa hal. Misalnya:

1. Pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus gugatan konvensi tidak berwenang menangani gugatan rekonvensi; misalnya pengadilan TUN:

2. Perkara tersebut berhubungan dengan pelaksanaan putusan;

3. Bila penggugat konvensi (asal) bertindak karena kualitas tertentu, sedangkan gugatan rekonvensi tersebut mengenai diri pribadi penggugat atau sebaliknya. Misalnya A bertindak sebagai wali bagi B untuk menggugat C. Dalam hal ini A bertindak karena kualitas tertentu, sehingga C tidak boleh mengajukan gugatan rekonvensi terhadap diri pribadi A.

B. ALASAN MENGAPA DALAM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TIDAK DIKENAL ADANYA REKONVENSI

Ada dua jenis sengketa dalam Tata Usaha Negara, yaitu: sengketa intern dan sengketa ekstern. Sengketa intern atau sengketa antara administrasi negara terjadi di dalam lingkungan administrasi Negara (TUN) itu sendiri, baik yang terjadi dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar departemen (instansi).
Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil.

Dalam melakukan perbuatan tersebut badan atau pejabat TUN tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut. Kerugian yang ditimbulkan inilah yang akan mengakibatkan adanya sengketa TUN.
Sengketa esktern atau sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat sebagai subjek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi negara, yang mencakup administrasi Negara di tingkat daerah maupun administrasi negara pusat yag ada di daerah.
Dengan demikian sengketa intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) atau kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen yang lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan. Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar wewenang

Pertanyaannya sekarang adalah apakah UU PTUN menganut sengketa intern maupun sengketa ekstern? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat ditelusuri dan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PTUN yang menyebutkan sebagai berikut:

“Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang ditimbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Dari pasal tersebut dapat diketahi bahwa tolok ukur sebjek sengketa tata usaha negara adalah orang/individu atau badan hukum perdata disatu pihak dan badan atau pejabat tata usaha negara dipihak lainnya. Dengan demikian, para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha negra. Sedangkan tolok ukur sengketa adalah akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Dengan demikian, UU PTUN hanya menganut sengketa ekstern. Perbuatan atu tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menjadi kompetensi PTUN adalah yang menyagkut perbuatan atau tindakan mengeluarkan keputusan.

Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang yang timbul dibidang tata usaha negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan badan atau Pejabat tata usaha negara, akibat dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara. Dari hal ini jelas bagi kita bahwa yang dapat digugat di pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara karena badan atau Pejabta Tata Usaha Negara inilah yang dapat mengeluarkan suatu keputusan Tata Usaha Negara. Sedangkan yang berhak menggugat atau yang menjadi penggugat ialah orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan karena dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabta tata usaha negara yang bersangkutan. Karena sengketa tata usaha negara tersebut selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, maka satu-satunya pihak yang apat digugat di pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara adalah badan atau pejabat tata usaha negara.

Berdasarkan hal ini maka dalam acara peradian tata usaha negara tidak dikenal adanya gugat balik atau gugat rekonvensi atau dengan kata lain seorang pejabat tata usaha negara yang merasa dirugiakn baik moril maupun materiil karena adanya gugat dari warga masyarakat atau badan hukum perdat,tidak dapat mengajukan gugat balik atau gugat rekonvensi. Hal ini disebabkan karena sengketa tata usaha tersebut berkenaan dengan masalah sah atau tidaknya suatu keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Sengketa mengenai kepentingan hak termasuk hak menuntut ganti rugi, tidaklah termasuk wewenang peradilan tata usaha negara untuk mengadilinya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa pendapat yang pada zaman sekarag berlaku di negara Belanda dan zaman sekarang di Indonesia oleh ilmu hukum dan yurisprudensi adalah pendapat Buys.

Menurut Buys seperti telah dikemukan sebelumnya walaupn pokok dalam perselisihan (objectum litis) terletak di lapangan hukum publik, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu memita ganti rugi maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar