Selasa, 08 Desember 2009

Pasal 74 UU.No.5/1986 juga memberi kesempatan kepada Tergugat untuk mengajukan jawaban atas gugatan berikut memberikan penjelasan tentang jawabannya tersebut. Suatu jawaban biasanya berisi dua hal, yatu :
1. Tentang Eksepsi.
Eksepsi adalah tangkisan hal-hal di luar pokok perkara, sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi dalam perkara Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 77 UU.No. 5/1986 terdiri dari :
a. Eksepsi Absolut :
- Kopetensi Absolut.
Yakni eksepsi tentang kompetensi absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan berjalan. Bahwa meskipun tidak diajukan, Pengadilan wajib untuk memeriksanya dan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara.
- Kopetensi Relatif.
Eksepsi diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok perkara. Eksepsi ini harus diputus sebelum pokok perkara diperiksa. Jadi untuk itu pengadilan terlebih dahulu harus menetapkan putusan sela.
b. Eksepsi Relatif :
Eksepsi Relatif adalah tangkisan mengenai hal-hal kekurangan/kesalahan mengenai pembuatan gugatan. Misalnya : Penggugat tidak berkualitas sebagai Penggugat, Objek gugatan bukan objek TUN, identitas para pihak tidak lengkap, gugatan kabur, gugatan telah daluwarsa, gugatan nebis in idem dll. Eksepsi relatif ini tidak terbatas, asal itu merupakan kelemahan dari gugatan diajukan sebagai eksepsi relatif.
2. Tentang jawaban.
Setelah mengemukakan eksepsi (tangkisan), selanjutnya disampaikan jawaban terhadap pokok perkara (Pasal 74 ayat 1 UU.No. 5/1986). Suatu jawaban biasanya berisikan :
1. Bantahan
Bantahan yang dimaksud adalah suatu pengingkaran terhadap apa yang dikemukakan penggugat dalam dalil-dalil gugatannya.
2. Pengakuan/pembenaran
Di dalam awaban ada kemungkinan Tergugat mengakui kebenaraan dalil-dalil gugatan Penggugat. Untuk menghidarkan agar jangan sampai ada pengakuan yang tidak memerlukan pembuktian lagi biasanya dipergunakan kata-kata “ seandanyapun itu benar” atau “qwodnoon. Maksudnya tidak membantah secara tegas, tetapi juga tidak mengakui secara tegas, tetapi juga tidak mengakui secara pasti.
3. Fakta-fakta lain
Di dalam jawaban itu Tergugat ada kemungkinan juga mengemukakan fakta-fakta baru untuk membenarkan kedudukannya.

Cara menjawab ini agar mudah dilakukan dengan jalan mengikuti poin-poin gugatan. Adapula dalam menjawab terlebih dahulu mengulang dalil gugatan yang hendak dijawabnya terlebih dahulu, baru kemudian memberikan dalil-dalil jawabannya. Namun guna menghemat waktu dan tenaga serta pikiran lebih baik langsung memberikan poin-poin jawaban saja.
Dalam mengemukakan jawaban harus dipertimbangkan, apakah jawaban tersebut menguntungkan kedudukan Tergugat atau merugikan. Kalau merugikan tidak usah dikemukakan. Jawaban hendaklah disusun secara singkat, jelas dan tidak mendua arti. Pergunakanlah bahasa hukum yang sederhana, mudah dimengerti dan singkat.
Untuk mendukung dalil-dalil bantahan dapat dipergunakan sumber-sumber kepustakaan, yurisprudensi, doktrin, kebiasaan-kebiasaan, dan lain-lain. Jawaban yang hanya berdasarkan logika belaka kurang mendukung bantahan.


Contoh Format Jawaban :

Hal : Jawaban Perkara Tata Usaha Negara
No. : ....../G/..../PTUN......

Dengan Hormat,
Tergugat dengan ini menyampaikan Eksepsi dan Jawaban sebagai berikut :
I. TENTANG EKSEPSI
A. Eksepsi Absolut (kalau ada)
1. Kopentensi Absolut (uraikan)
2. Kopetensi Relatif (uraikan)
B. Eksepsi relatif
1. Daluwarsa (uraikan)
2. Gugatan Nebis in idem (uraikan)
3. dll (uraikan)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon PTUN menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara ini (kalau menyangkut eksepsi absolut) dan karenanya/atau menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
II. TENTANG POKOK PERKARA
- Bahwa Tergugat dengan ini membantah seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat, kecuali atas hal-hal yang secara tegas diakui oleh Tergugat dalam jawaban ini ;
- Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam eksepsi, secara mutatismutandis juga masuk kedalam jawaban terhadap pokok perkara, sehingga tidak perlu diulagi lagi ;
- Bahwa ............... (dan seterusnya) merupakan bantahan terhadap dailil-dalil gugatan Penggugat poin demi poin.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon Majelis hakim yang memeriksa perkara ini menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima.

Terima Kasih
........ (domisili), tanggal .....

Hormat Tergugat
Kuasa Hukumnya

(........................)


C. REPLIEK
Atas jawaban Tergugat, selanjutnya kepada Penggugat diberikan kesempatan untuk membantah, menguatkan alasan-alasan gugatan yang diajukan (Pasal 75 (1) UU. No. 5/1986).
Replik biasanya berisi dalil-dalil atau hal-hal tambahan untuk menguatkan dail-dalil gugatan Penggugat. Penggugat dalam replik ini dapat mengemukakan sumber-sumber kepustakaan, pendapat para ahli, doktrin, kebiasaan, dan sebagainya. Perananan Yurisprodensi sangat penting dalam replik, mengingat kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum.
Untuk menyusun replik biasanya cukup dengan mengikuti poin-poin jawaban Tergugat. Dalam replik Penggugat dapat mengajukan hal-hal baru untuk menguatkan dalil gugatannya.

4. Duplik Tergugat
Terhadap Replik Penggugat, maka kepada Tergugat diberi kesempatan untuk menyampaikan Duplik, yang isinya berupa dalil-dalil bantahan atas Replik Penggugat atau dalil-dalil untuk menguatkan jawaban Tergugat (Pasal 75 ayat (2) UU.No. 5/1986). Penyusunan duplik basanya berasarkan poin-poin replik Penggugat. Dengan adanya jawab-menjawab ini menjadi jelas permasalahan perkara.
Pada duplik Tergugat masih dapat mengemukakan dalil-dalil baru tentang bantahannya terhadap gugatan, atau sekedar untuk menguatkan dalil-dalil jawabannya
5. Pembuktian
Selesai acara jawab-menjawab dilanjutkan dengan acara Pembuktian. Pertama-tama Penggugat akan menyampaikan alat bukti tulis, dilanjutkan dengan acara yang sama oleh
6. Kesimpulan / Konklusi
Setelah selesai acara pembuktian, kepada para pihak diberikan kesempatan untuk meyampaikan konklusi. Konklusi disususn dalam bentuk kesimpulan dari masing-masing pihak (Pasal 97 ayat (1) UU.No. 5/1986), secara sitematis mulai dari Eksepsi, Tentang pokok perkara, tentang bukti tertulis, bukti saksi dan lain-lainnya, yang kemudian ditutup dalam kesimpulan apakah gugatan terbukti atau tidak. Dalam konklusi juga ada kesempatan dari masing-masing pihak untuk menyampaikan pendapatnya yang terakhir tentang perkara.
Konklusi yang disusun secara baik, akan dapat menjadi masukan bagi hakim dalam mengambil keputusan tentang perkara yang diperiksanya. Akan tetapi apabila disusun secara subjektif dan sepihak dengan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka konklusi itu malahan akan memepersulit hakim dalam mempertimbangkan perkara yang ditanganinya.
Contoh Format Konklusi :
Hal : Konklusi Perkara Tata Usaha Negara
No. : ..... /G/...../PTUN ....

Dengan Hormat,
Penggugat/Tergugat dengan ini menyampaikan konklusi sebagai berikut :
I. TENTANG EKSEPSI
(Di sini masing-masing pihak membuat kesimpulan/konklusi tentang Eksepsi, artinya apakah Eksepsi tersebut terbukti atau tidak terbukti ? Kalau terbukti apa dasarnya ? Kalau tidak terbukti apa dasarnya ? Ini harus diuraikan secara singkat dan jelas).
II. TENTANG JAWAB-MENJAWAB
(Berdasarkan jawab-menjawab yang dilakukan, uraikanlah hal-hal yang dapat dibuktikan atau yang tidak dapat dibuktikan secara jelas, tegas dan apa dasar hukumnya masing-masing).
III. TENTANG ALAT BUKTI
A. Bukti Tertulis
(Di sini diuraikan masing-masing dari alat bukti tertulis dan hal-hal apa yang terbukti dari padanya. Juga dimuat tentang kelemahan dari alat-alat bukti yang disampaikan oleh lawan, sehingga ada dalil gugatannya masing-masing).
B. Bukti Saksi
(Keterangan masing-masing saksi dibuat secara singkat, jelas dan rinci, sehingga jelas hal-hal yang dapat dibuktikan dari keterangan saksi tersebut, atau hal-hal yang tidak dapat dibuktikan dengan dasar-dasar keterangan saksi tersebut).
IV. DAN LAIN-LAIN
(Maksudnya kalau ada bukti-bukti lainnya maka itu dibahas secara rinci, jelas dan singkat. Misalnya hasil sidang lapangan, dll).
V. KESIMPULAN
(Berdasarkan point I,II,III dan IV hal apa yang menjadi terbukti dan hal-hal yang tidak terbukti).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon Majelis Hakim yang terhormat mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya (Penggugat). Atu menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima (Tergugat).

Terima kasih
...........(domisili), tanggal .......
Hormat Penggugat/Tergugat
Kuasa Hukumnya
(.................)







ACARA PEMERIKSAAN PERKARA DI PTUN


A. DISMISAL PROSES (PENELITIAN ADMINISTRATIF)
Pasal 62 ayat (1) UU.No. 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan, yang dilengkapi pertimbangan-pertimbangan, bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar. Untuk mengambil keputusan tersebut, maka terlebih dahulu dilakukan Penelitian Administratif (Dismissal Proses) di Kepaniteraan sebagai bantuan kepada Ketua Peradilan Tata Usaha Negara. Penelitian dilakukan meliputi segi administratif dan segi elementer.
Penelitian dari segi administratif meliputi Identitas para pihak, yakni baik Penggugat maupun Tergugat (Pasal 56 Jo. Pasal 48 UU.No. 5/1986).

Sedangkan penelitian dari segi elementer meliputi sifat yang lebih mendalam, yaitu :
1. Apakah objek gugatan berupa penetapan tertulis (Pasal 1 butir 3 UU. No. 5/1986) dan bukan termasuk Pasal 2 atau Pasal 49 UU.No. 5/1986 ;
2. Apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu sudah dilampirkan (Pasal 56 ayat (3) UU.No. 5/1986 );
3. Apakah dalam gugatan sudah jelas dinyatakan, kapan tanggal keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan diterima atau diumumkan atau diketuhi oleh Penggugat (Pasal 55 UU. No. 5/1986) ;
4. Apakah Penggugat adalah orang atau Badan Bantuan Hukum Perdata yang berhak menggugat, yang kepentingannya dirugikan langsung atau tidak langsung ;
5. Dalam hal Pengugat diwakili oleh Kuasa Hukum, apakah surat kuas yang terlampir sudah memenuhi syarat ;
6. Apakah uang panjar baiaya perkara sudah dilunasi oleh Penggugat ;
7. Sebagaimana Surat Mahkamah Agung RI, No. 51/Td.TUN/III/1992, Penelitian administrasi juga meliputi :
8. a. Cap tanggal penerimaan gugatan TUN atau PTTUN dimana gugatan itu diajukan sebagai perantara ;
b. Dalam hal gugatan ditandatagani oleh seorang kuasa, maka PTUN/PTTUN harus meneliti mengenai syarat formal dari surat kuasa. Surat Kusa dapat digunakan untuk beberapa orang pemberi kuasa, asal saja materi/objek gugatannya sama ;
c. Setelah Litbang TUN-MA mengeluarkan model surat kuasa TUN, maka tidak dibenarkan menggunakan blanko surat kuasa untuk Pengadilan umum ;
d. Apabalia dala 1 (satu) surat gugatan disebutkan beberapa kuasa sebagai yang menajukan /membuata surat gugatan, maka semua kuasa hukum yang disebutdalam surat guagatan tersebut harus turut serta menandatangani surat guagatan tersebut harus turut serta menandatangani surat guagatan itu.
e. Pemengang surat kuasa harus seorang Advokat atau seorang yang mendapatkan izin praktek.
8. Dan lain-lain.
Hasil penelitian ini dituangkan di dalam suatu formulir laporan singkat, sebagai informasi kepada Ketua melaui Panitera dan dilampirkan bersama-sama dengan gugatan yang telah didaftarkan.
SE-MA No. 2 Tahun 1991, mengatur petugas yang berwenang untuk melakukanpenelitian administratif itu, adalah : Panitera, Wakil Panitera dan Panitera Muda Perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Alasan Ketua Pengadilan menolak atau menyatakan tidak dapat diterima suatu gugatan pada tahap ini adalah, karena :
1. Pokok gugatan tersebut nyata=nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
2. Syarat-syarat gugatan (Pasal 56 UU.No. 5/1986) tidak dipenuhi oleh Penggugat, sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
3. Guagatn tersebut tidak berdasarkan pada aturan-aturan yang layak;
4. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang diguagt;
5. Gugatan diajukan sebelum waktu (prematur) atau telah lewat waktu (daluwarsa);
Penetaoan itu diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya.
Terhadap penetapan itu dapat diajukan perlawanan, dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak penetapan itu diucapkan. Pengajuanny sesuai dengan Pasal 56 UU.No. 5/1986, yaitu sama seperti syarat-syarat membuat gugatan Tata Usaha Negara. Perlawanan itu harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.Apa bila perlawanan dibenarkan, maka penetapan menjadi gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa dan diputus serta dissesaikan menurut acara biasa.

SE-MA No. 2 tahun 1991 mengatur Prosedur Dismissal itu sebagai berikut :
1. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan dismissal, apabila dipandang perlu, Tenggang waktu yang ditentukan menurut Pasal 55 UU.No. 5/1986, adalah sejak tanggal diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Penggugat, atau sejak diterimanya keputusan tersebut dengan ketentuan bahwa tenggang waktu itu ditunda selama proses peradilan masih berjalan menurut Pasal 62 Jo. 63 No. 5/1986. Oleh sebab itu diminta Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e ;
2. Pemeriksaan dismisal dilakukan oleh Ketua dan Ketua dapat juga menunjuk seorang hakim sebagai reporter ;
3. Penetapan dismissal ditanatngani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Pemeriksaan dismissal dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan. Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap dismissal, juga dilakukan dengan acara singkat ( Pasal 62 ayat (4) UU.No. 5/1986) ;
4. Dalam hal adanya petitum guagatan yang nyata tidak dapat dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gauagatan. Ketentuasn tentang perawanan terhadap ketetapan dismissal juga berlaku dalam hal ini.
B. PEMERIKSAAN PERSIAPAN
Setelah melalui Penelitian Administratif (Dismissal Proses), maka seanjutnya dilakukan pemeriksaan persiapan atas suatu guagatan Tata Usah Negara. Sebelum memeriksa pokok perkara segketa dimulai (Pasal 63 UU.No. 5/1986), Hakim wajib mengadakan persiapan pemeriksaan untuk melengkapi guagatan byang kurang jelas. Dalam pemeriksaan persiapan ini hakim wajib memberi nasihat kepada Pengguagt untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari Hakim juga dapat memnita penjelasan kepada pejabat atau Badan Tata Usah Negara (Terguagat) yang bersangkutan.
Apabila Penggugat belum menyempurnakan gugatannya dalam tenggang waktu 30 hari, maka hakim menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Pasal 63 ayat (3) UU.No. 5/1986). Dalam praktek perbaikan ini dapat dilakukan berkali-kali sampai sempurna dalam tenggang waktu 30 hari.

C. PEMERIKSAAN DENGAN ACARA BIASA

UPAYA HUKUM

A. PERLAWANAN (VERZET)
Pasal (3) a Undang-undang No. 5/1986, menentukan terhadap putusan dismissal (yang ditetapkan Ketua Pengadilan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbanga) bahwa gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, maka Penggugat (Pasal 63 (5) a UU. No.5/1986) dapat mengajukan Perlawanan (Verset). Tenggang waktu untuk megajukan Perlawanan (Verzet) itu adalah 14 hari setelah penetapan Pasal 56 UU. No. 5/1986) sebagai berikut :
1. Identitas
a. Identitas Pelawan :
- Nama Pelawan
- Umur/Tanggal Lahir Pelawan
- Kewarganegaran Pelawan
- Tempat Tinggal Pelawan
- Pekerjaan Pelawan
- Kuasa Pelawan
b. Identitas Terlawan :
- Nama Jabatan Terlawan
- Tempat Kedudukan Terlawan
2. Objek Perlawanan :
Adalah Penetapan Ketua PTUN yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar. (Putusan Dismissal). Untuk itu disebutkan nomor dan tanggal diucapkan oleh hakim.
3. Posita Perlawanan.
Dalam posita Perlawanan, akan diuraikan hal-hal sebagai berikut :
a. Menerima Perlawanan Pelawan untuk seluruhnya ;
b. Menetapkan Penetapan Dismissal No. ....., tanggal ...... adalah gugur demi hukum.
c. Menyatakan Pokok Gugatan diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan acara biasa (Pasal 62 (5) UU.No. 5/1986).
4. Petitum Perlawanan.
a. Menerima Perlawanan Pelawan untuk seluruhnya ;
b. Menetapkan Penetapan Dismissal No. ........, tanggal ......... adalah gugur demi hukum.
c. Menyatakan Pokok Gugatan diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan acara biasa (Pasal 62 (5) UU. No. 5/1986).
5. Ditandatangani oleh Pemohon / Kuasa yang sah.
Perlawanan (Pasal (4) UU.No. 5 Tahun 1986) diperiksa dengan acara singkat. Singkat maksudnya acara pemeriksaan tidak akan memakan waktu seperti acara biasa, karena dalam acara Perlawanan itu hanya akan dibuktikan mengenai kebenaran dalil-dalil Perlawanan Pelawan, sementara pokok perkara belum diperiksa sama sekali. Acara setelah perlawanan disampaikan / dibacakan didepan sidang adalah; Acara Jawab- menjawab, Acara Pembuktian, Konklusi Para Pihak dan Putusan. Terhadap putusan Perlawanan ini tidak dapat diajukan upaya hukum, akantetapi Penggugat/Pelawan dapat mengajukan gugatan baru.

B. BANDING
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat dimintakan banding oleh Penggugat atau Tergugat yang merasa tidak puas atau dirugikan oleh keputusan tersebut, kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sesuai dengan Pasal 122 UU. No. 5/1986. Permintaan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau kuasanya yang sah untuk itu dan disampaikan kepada PTUN yang menjatuhkan putusan. Untuk itu Panitera PTUN akan membuat Berita Acara Permintaan Banding tersebut dan setelah dibayar biaya berupa panjar barulah Permintaan Banding itu diregistrasi.
Tenggang waktu mengajukan Permintaan Banding adalah 14 hari terhitung sejak putusan PTUN diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak secara sah. Pemberitahuan itu disampaiakan melalui Pos dengan surat tercatat. Terhadap putusan Tata Usaha Negara yang bukan merupakan putusan akhir, misalnya putusan sela yang menolak eksepsi, hanya dapat pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Pemohon banding bersama-sama dengan putusan akhir. Permohonan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara dan memberitahukan hal itu kepada pembanding.
Para pihak dapat menyerahkan Memori Banding atau Kontra Memori Banding serta keterangan dan alat bukti (tambahan) kepada Panitera PTUN dengan ketentuan salinan Memori Banding atau Kontra Memori Banding harus juga diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadilan.

C. KASASI
Pasal 131 UU.No. 5/1986 menentukan, bahwa terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dapat dimohonkan kasasi ke Mahakamh Agung. Adapun alasan-alasan untuk mohon Kasasi adalah :
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;


3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh perundang-undangan;
Dalam hal Kasasi, maka permohonan Kasasi dapat dimintakan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak tanggal diterimanya putusan PTTUN yang dimohonkan Kasasi tersebut. Lewat tenggang waktu tersebut permohonan Kasasi menjadi daluwarsa.
Pemohon Kasasi wajib menyampaikan Memori Kasasi dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak Permohonan Kasasi menyatakan Kasasi atas putusan PTUN. Atas Memori Kasasi tersebut, Termohon Kasasi dapat mengajukan Kontra Memori Kasasi dalam jagka waktu 14 hari terhitung sejak ia menerima Memori Kasasi.

D. DERDEN VERZET/PERLAWANAN PIHAK KETIGA
Adalah Perlawanan Pihak Ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutkan selama pemeriksaan sengketa menurut Pasal 83 UU.No. 5/1986 dan khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan itu dapat mengajukan Perlawanan (Derden Verzet) terhadap pelaksanaan putusan tersebut.
Perlawanan diajukan kepada Pengadilan yang mengadili sengketa pada tingkat pertama. Perlawanan hanya dapat diajukan padasaat sebelum putusan Pengadilan dilaksanakan. Perlawanan diajukan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai ketentuan Pasal 56 UU.No. 62 dan 63 UU.No. 5/1986, yaitu melalui Dismissal Proses dan pemeriksaan persiapan. Dengan adanya Perlawanan, dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan.

E. PENINJAUAN KEMBALI
Pasal 132 UU.No. 5/1986 mengatakan, bahwa terhadap keputusan Pengadilan yang telah berkeuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kemabali kepada Mahkamah Agung. Adapun alasan-alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah :
1. Bohong dan Tipu Muslihat.
2. Novum.
3. Mengabulkan hal yang tidak dituntut.
4. Ada bagian tuntutan belum diputus.
5. Putusan bertentangan satu sama lain.
6. Khilaf atau keliru.
Untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali harus dilakukan oleh para pihak yang berperkara sendiri, atau ahli warisnya apabila ia sudah meninggal dunia, atau seorang kuasa yang khusus untuk itu.
Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (Pasal 69 UU.No. 14 Tahun 1985) :
1. Diketahui adanya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
2. Ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
3. Putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa.
4. Putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara


Dua hari yang lalu, 24 Juli 2007 acara sidang di PTUN Surabaya (Waru
-Sidoarjo) perkara No. 57/G.TUN/2007/ PTUN.SBY, perkara antara Yuliani, dkk (3
mahasiswa ITS) melawan Rektor ITS, telah sampai pada acara DUPLIK (tanggapan
Kuasa Hukum Rektor ITS selaku Tergugat atas REPLIK Penggugat). Hari ini juga
Kuasa Hukum Penggugat (3 mahasiswa) telah mengajukan alat bukti surat-surat.

Dalam Dupliknya, Tergugat tetap mendalilkan pendiriannya bahwa Keputusan
Rektor ITS tidak bersifat final. Tergugat tetap menyangkal seluruh dalil gugatan
Penggugat. Itu merupakan hal yang biasa.

Namun, kami selaku Penggugat mempunyai catatan-catatan tertentu dalam proses
persidangan perkara tersebut dari awal hingga kini, yaitu:

1. Hakim cenderung formalis atau skriptualis. Contoh: hakim tidak mau kami
menggunakan kata "alamat" dengan alasan bahwa UU PTUN mengistilahkan "tempat
tinggal". Padahal dalam Ilmu Hukum dikenal juga istilah 'domisili'. Soal seperti
ini dipermasalahkan secara serius. Contoh lainnya adalah susunan alat bukti kami
menggunakan kode P1.a., P1.b., P1.c., untuk memberikan kode bukti surat kartu
mahasiswa, lalu P2 untuk alat bukti SK Rektor ITS dan seterusnya, tapi itu
dipersalahkan Hakim dan diminta untuk menggunakan kode P1, P2 dan P3. Ini adalah
soal-soal teknis yang sebenarnya tidak dapat dinilai salah dan benarnya, sebab
itu tergantung bagaimana cara memahami atau mengerti maksudnya.

2. Belum-belum Hakim telah berusaha membatasi prinsip kebebasan Penggugat
dalam membuktikan dalil gugatannya dengan mengatakan bahwa nantinya saksi yang
diajukan BUKAN BERKAITAN DENGAN AKSI MAHASISWA DALAM SEMINAR JALANAN, TAPI
SAKSI-SAKSI YANG MENGETAHUI PROSES ADMINISTRASI ATAS KELUARNYA SK REKTOR ITS.
Tentu saja itu menjadikan tanda tanya besar, menyangkut kualitas Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini, sebab dalam Hukum Pembuktian proses acara
PTUN dikenal Hukum Pembuktian Formal (proses dikeluarkannya Keputusan TUN) dan
Hukum Pembuktian Fakta Materiil yang berkaitan dengan SK atau Keputusan TUN yang
memberikan sanksi dengan tuduhan adanya fakta pelanggaran tertentu. Bahkan itu
dapat memicu kecurigaan adanya subyektivitas Hakim yang cenderung memihak.

Tapi kami akan tetap merencanakan untuk mengajukan saksi-saksi fakta, untuk
membuktikan bahwa 3 mahasiswa ITS tersebut bukanlah aktor atas keluarnya
kata-kata kotor sebagian peserta aksi dalam kericuhan aksi tersebut karena
pembubaran paksa oleh rektorat ITS yang dibantu petugas keamanan ITS. Kami juga
akan mengajukan saksi-saksi bahwa 3 mahasiswa ITS tersebut juga tidak melakukan
perbuatan yang menganggu keamanan dan kebersihan kampus ITS seperti yang
dituduhkan dalam SK Rektor ITS. Kami juga akan membuktikan bahwa aksi Seminar
Jalanan yang dilakukan para mahasiswa ITS dan beberapa alumni ITS serta pemuda
korban lumpur Lapindo tersebut tidak mengatasnamakan atau menggunakan nama ITS
seperti yang dituduhkan dalam SK Rektor ITS tersebut. Mereka, para peserta aksi
tidak pernah 'meminjam nama ITS', tapi malah 'menyudutkan' posisi ITS yang tidak
transparan dalam penyajian data surveinya dalam kasus lumpur Lapindo kepasa
masyarakat.

Kami juga akan membuktikan bahwa SK Rektor ITS melanggar asas persamaan dan
keadilan serta kecermatan sebab telah menimpakan perbuatan yang dianggap salah
yang dilakukan sekitar lebih dari 20 mahasiswa ITS hanya kepada 3 mahasiswa ITS
selaku Penggugat tersebut. Ini bukan soal meminta agar mahasiswa lainnya juga
diberikan sanksi, tapi untuk membuktikan bahwa SK Rektor ITS yang menjatuhkan
sanksi pencabutan status mahasiswa kepada Penggugat dalam waktu tertentu
tersebut memang melanggar asas-asas pemerintahan yang baik.

Jika Hakim nantinya benar-benar tidak mengizinkan kami untuk mengajukan
saksi-saksi fakta maka kami harus membuat petisi agar PTUN Surabaya direformasi,
sebab tidak berkualitas dalam menyelenggarakan tugas peradilan.

Bagi kami, persidangan kasus ini bukan pada menang-kalah di Pengadilan. Tentu
semua intelektual dan orang-orang yang punya pengalaman dalam urusan peradilan
telah mahfum atas praksis mafioso peradilan selama ini, sehingga kemenangan
berperkara di pengadilan hanya 25 persen yang bergantung pada kualitas fakta
hukum dan keadilan. Pengadilan masih tempat dagang hukum. Keadilan menjadi
barang lelangan.

Peradilan kasus ini bagi kami adalah bagian dari menjalani sejarah penerapan
hukum, lebih penting untuk mengukur dan mendalami sejarah penerapan hukum yang
dari waktu ke waktu harus dibenahi. Reformasi masih hanya pada suksesi, belum
menyentuh substansi perubahan bernegara. Seperti yang kita lihat koruptor masih
berkuasa atas kita dan pengadilan masih menjadi alat formalitas untuk
menampakkan keberadaan negara (formal), bukan negara materiil yang menurut Saint
Augustine mensyaratkan keadilan. Kalau setiap tahun negara ini masih dikorupsi,
kalau setiap tahunnya negara ini hanya masih menjadi tempat buangan limbah serta
tempat bencana akibat dosa-dosa manusia serta korporasi yang tidak mempunyai
hati nurani - meminjam Daniel C. Maguire - maka itu semua menunjukkan reformasi
telah mati suri.

Agenda sidang berikutnya adalah SELASA depan, PENGAJUAN ALAT BUKTI SURAT oleh
kuasa hukum Tergugat, belum sampai pada keterangan saks

Asas dalam Hukum Acara PTUN

· “Asas praduga rechtmatig (benar menurut hukum, presumptio iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5 tahun 1986);

· “Asas pembuktian bebas”. Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW (lihat Pasal 101, dibatasi ketentun Pasal 100;

· ”Asas keaktifan hakim (dominus litis)”. Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85)

· ”Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes)”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa;

· dan asas-asas peradilan lainnya, mislny : asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, obyektif.

· “Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)”, para pihak mempunyai kedudukan yang sama;

· “Asas kesatuan beracara” (dalam perkara yang sejenis);

· “Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas” (Pasal 24 UUD 1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004);

· “Asas sidang terbuka untuk umum”~putusan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 70 UU PTUN);

· “Asas pengadilan berjenjang” (tingkat pertama (PTUN), banding (PT TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA);

· “Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium)”, sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU PTUN);

· “Asas obyektivitas”, lihat Pasal 78 dan 79 UU PTUN).

· Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Asas dalam Hukum Acara Pidana

1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

2. Presumption of innocent

3. Equality before the law

4. Pengadilan terbuka untuk umum kecuali diatur UU

5. Sidang pengadilan secara langsung dan lisan

6. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir (pelaku sebagai subjek bukan objek)

7. Asas Legalitas dan Oportunitas (sebagai pengecualian)

8. Tersangka/ terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum

9. Fair Trial (pengadilan yang adil dan tidak memihak)

10. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap

11.Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dengan perintah tertulis

12. Ganti rugi dan rehabilitasi

13. Persidangan dengan hadirnya terdakwa

Asas-asas dalam Hukum Acara Perdata

A. Asas Kebebasan Hakim

B. Hakim Bersifat Menunggu

C. Peradilan Terbuka Untuk Umum

D. Asas Hakim Bersikap Pasif ( Tut Wuri )

E. Asas Kesamaan ( Audi et Alteram Partem)

F. Asas Obyektivitas

G. Putusan Disertai Alasan

H. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan

I. Beracara Dikenakan Biaya

J. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

K. Peradilan dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan



RUU Administrasi Pemerintahan Perluas Kewenangan PTUN
[14/8/08]

Tapi jangan sembarangan. Jangan masuk-masukin yang nggak karuan. Emangnya TUN tong sampah”.

Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) awal Agustus lalu, Mahkamah Agung ikut mensosialisasikan RUU Administrasi Pemerintahan (AP) kepada kalangan hakim dan petugas pengadilan. RUU ini dianggap penting karena berkaitan langsung dengan peradilan tata usaha negara. Pada Juli lalu, keberadaan RUU ini juga sudah disinggung dalam sidang kabinet.

RUU ini mengatur perlindungan hukum atas sikap tindak AP melalui upaya administratif dan atau melalui gugatan di Pengadilan Administrasi Negara/PTUN,” papar Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendie Lotulung, dalam makalah yang disampaikan pada Rakernas tersebut.

Salah satu poin penting dari RUU Administrasi Pemerintah adalah perluasan yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Ketua Tim Penyusun RUU AP, Prof. Eko Prasojo, kelak objek PTUN bukan hanya keputusan tertulis dari pejabat tata usaha negara. Jika draft yang sekarang disetujui bersama DPR dan Pemerintah, maka perbuatan faktual pejabat administrasi negara juga bisa menjadi objek gugatan TUN.

Selama ini, keputusan TUN yang bisa digugat harus merupakan penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual, dan final. Yurisdiksi PTUN akan bertambah jika rumusan “perbuatan faktual” disetujui. Intinya, PTUN akan diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara tindakan administrasi pemerintahan yang menyebabkan kerugian materiil dan immateriil. “Objek hukumnya diperluas, tidak hanya keputusan tertulis, tetapi juga keputusan tidak tertulis yang faktual,” jelas Prof. Eko Prasojo.

Ditambahkan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Indonesia itu, masuknya keputusan tidak tertulis yang faktual sebagai objek TUN dimaksudkan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang dirugikan akibat keputusan pejabat TUN. Eko melihat acapkali pejabat TUN mengeluarkan keputusan tidak tertulis, misalnya perintah lisan, yang menyebabkan perlindungan masyarakat terabaikan. Syaratnya, perbuatan pejabat TUN tadi faktual.

Dijelaskan Prof. Eko, perbuatan Faktual adalah semua perbuatan yang dilakukan oleh pejabat TUN yang tidak tertulis. Sedangkan pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang memperoleh kewenangan baik sifatnya atribusi, delegasi, maupun mandat untuk membuat Keputusan TUN yang sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. “Semua keputusan yang sifatnya tidak tertulis dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat karena kewenangan yang dimilikinya berdasarkan delegasi, atribusi, dan mandat maka dikategorikan sebagai keputusan yang tidak tertulis atau perbuatan faktual,” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara Edi Rohaedi mendukung perluasan yurisdiksi PTUN. Mekanisme yang berlaku selama ini, -- PTUN atau perdata—kurang maksimal dari sisi pembuktian. Menggugat langsung secara perdata mungkin bisa memaksimalkan ganti rugi, tetapi tidak bisa menguji keabsahan tindakan pemerintah. Jadi, validitas tindakan hukum pemerintah kurang memadai dari sudut pandang hukum publik. Karena itu, diperlukan alat publik untuk mengujinya, yakni lewat PTUN. “Sebaiknya, kewenangan PTUN tidak hanya Keputusan TUN saja,” ujar Edi Rohaedi.

Gagasan dalam RUU AP bukan tak menuai kritik. Jangan ngaco, faktual itu pasti masuk perdata,” tandas Prof. Anna Erliyana, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia. Pada prinsipnya, Prof. Anna mendukung perluasan objek gugatan TUN. “Tapi jangan sembarangan. Jangan masuk-masukin yang nggak karuan. Emangnya TUN tong sampah”.

Meskipun demikian, Prof. Anna Erliyana mengingatkan bahwa gagasan tersebut baru sebatas RUU. Jadi, belum tentu kelak diterima dan disahkan. Ia malah meminta tim penyusun membuat harmonisasi. “Kalau membuat suatu RUU kan mesti dilihat dulu dengan UU yang sudah ada, sinkron atau tidak. Paling tidak, dengarlah orang-orang yang berkecimpung di TUN,” tandasnya.

Keputusan TUN

Selain perbuatan aktual pejabat administrasi negara, poin penting yang juga mendapat perhatian adalah tindakan pejabat administrasi pemerintahan sebagai perbuatan melawan hukum. PTUN dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan suatu tindakan pejabat AP merupakan perbuatan melawan hukum (PMH). Karena itu, bisa juga ada ganti rugi.

Sebelumnya, umum dipahami bahwa PTUN hanya berwenang untuk memutus batal atau tidak sahnya suatu Keputusan TUN (pasal 53 ayat 1 UU PTUN). Dalam RUU AP, kewenangan PTUN diperluas tidak hanya memutus batal atau tidak sah, tetapi juga dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan tindakan AP merupakan perbuatan melawan hukum, dan ganti rugi.

Rumusan ini, jelas Prof. Eko, diperlukan untuk memperkuat daya paksa putusan PTUN dan eksistensi PTUN itu sendiri. “Selama ini banyak putusan PTUN yang tidak dijalankan oleh pejabat karena minimnya daya paksa putusan,” ujarnya.

Namun, menurut Prof. Anna Erliyana, kewenangan PTUN dalam hal mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum suatu SK TUN sudah dari dulu ada dalam praktik TUN walaupun tidak secara tertulis diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 sebagaimana diubah melalui UU No. 9 Tahun 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar