Selasa, 08 Desember 2009

IMPIAN PARLEMEN BIKAMERAL

IMPIAN PARLEMEN BIKAMERAL
Oleh Dr. PANDJI SANTOSA, M.Si.


IMPIAN Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga yang setara dengan DPR untuk melakukan kontrol, rupanya belum begitu dikenal di kancah politik Indonesia. Buktinya DPD selama ini hanya sebatas penonton saat politisi DPR mengambil sebuah keputusan politik seperti mengesahkan UU dan APBN. Padahal, DPD sebenarnya memiliki legitimasi sangat kuat. Ia tercantum dalam konstitusi dan mereka dipilih secara langsung oleh rakyat.

Namun, peran dan fungsi lembaga yang terbentuk pada 2004 itu dibatasi, baik oleh konstitusi maupun Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kewenangan DPD pada intinya mencakup pengajuan RUU kepada DPR, ikut dalam pembahasan RUU, dan turut mengawasi pelaksanaan undang-undang.

Dari kewenangan, DPD terlihat dibangun hanya sekadar aksesori spirit reformasi.Ide pembentukan DPD sebenarnya terkait dengan upaya bagaimana mengubah sistem parlemen yang unikameral menjadi bikameral. Seperti patron parlemen di negara lain, sistem dua kamar membuat dua lembaga di legislatif itu bisa saling mengawasi. DPR mewakili suara rakyat dan DPD mempresentasikan kepentingan daerah dan masing-masing punya peran dan fungsi yang jelas dan tegas.

Wajar, bila DPD berkeinginan mengamendemen untuk kelima kalinya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena selama ini dirasakan belum mempresentasikan konstituen yang menjadi amanahnya. Fokusnya tiada lain adalah memperkuat posisi DPD agar sistem bikameral di legislatif menjadi jelas. Yakni, DPR dan DPD punya peran yang sama-sama kuat. Tidak seperti sekarang, DPR amat superior, sementara DPD sebaliknya. Padahal parlemen itu bisa sehat, apabila memiliki dua mata untuk mengontrol dan saling mengingatkan (check and balance). Prinsipnya, dua mata lebih baik ketimbang satu mata (two eyes is better than one eye).

Konsep bikameral yang ideal, sebenarnya bisa belajar dari 62 negara yang sekarang menerapkan bikameral. Menurut studi Tsebelis dan Jeannette Money (1997) disimpulkan bahwa 99 persen negara federal menganut sistem bikameral, sedangkan 84 persen negara kesatuan menganut sistem unikameral. Konsep bikameral atau parlemen dua kamar di Indonesia saat ini belum mencapai standar ideal. Sistem bikameral yang dilakukan di Indonesia hanya ideal dalam tataran pemilihan.

Jika merujuk pada Staten General di Belanda atau Majelis Tinggi (House of Lords) di Britania Raya yang terdiri atas sejumlah anggota hereditary peers, sistem pemilihan mereka masih bernuansa feodal sebagai sisa-sisa dari tradisi kebangsawanan yang dulu mendominasi politik Britania Raya. Baru pada Majelis Rendah (House of Commons), anggotanya dipilih sepenuhnya. Malaysia, dewan negara yang terdiri atas 70 orang itu, 44 orang dipilih oleh DPRD, selebihnya diangkat raja di negara bagian masing-masing.

Di Indonesia mekanisme pemilihan DPD lebih mirip Amerika Serikat yang dua calonnya dipilih langsung oleh masyarakat lokal di setiap provinsi atau negara bagian. Pola pemilihan DPD yang demokratis itu belum mampu mengoptimalkan fungsi dan peran DPD secara ideal. Seharusnya majelis tinggi atau yang setingkat dengan DPD memiliki otoritas politik yang kuat dalam proses pembuatan undang-undang (legislasi).

Paling tidak ada dua mainstream gagasan mengenai penambahan otoritas DPD, yakni; pertama, perlunya menggunakan sistem bikameral murni yang kuat, dan semua bidang menjadi wilayah garapan DPD. Kedua, mengikuti koridor kewenangan yang ada laiknya otonomi, sumber daya daerah, agama, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan lainnya. Artinya, DPD akan dikonsentrasikan pada wilayah tertentu, tapi harus terlibat di dalam semua konteks wilayah tersebut.

Keberadaan DPD sejatinya merupakan perangkat kenegaraan yang menyeimbangkan peran dan fungsi DPR. Pilihan untuk menegaskan sistem parlemen dua kamar (bikameral) diasumsikan sebagai bagian dari pembenahan tata politik yang berpegang pada konsepsi sistem demokrasi, di mana perwakilan populasi lewat saluran partai politik, harus juga diikuti dengan perwakilan wilayah, yang proses dan pemilihannya sama dengan proses pemilihan perwakilan populasi. Substansi yang membedakannya hanyalah pada calon perseorangan dari perwakilan wilayah haruslah bukan anggota atau kader dari suatu partai politik, dengan terlebih dahulu mendapatkan dukungan dari populasi di wilayah tersebut yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD.

Oleh sebab itu, perbaikan sistem ketatanegaraan dalam hal ini komposisi keanggotaan di parlemen menjadi sesuatu yang bersifat urgen. Mengingat bahwa komposisi keanggotaan di parlemen setidaknya mewakili dua hal; pertama perwakilan populasi yang termanifestasi dalam calon-calon dari partai politik yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, perwakilan kewilayahan yang termanifestasi pada calon-calon independen perseorangan yang akan duduk di Dewan Perwakilan Daerah.

Menurut Robert A. Dahl (1966;154) bahwa pembagian kamar dalam parlemen yang demokratis akan melahirkan partisipasi publik yang signifikan. Dalam pengertian bahwa keberadaan perwakilan populasi dan perwakilan kewilayahan akan mampu menyerap partisipasi politik publik yang lebih luas lagi. Meski diakui akan terjadi arus kepentingan politik yang saling berlawanan, namun secara prinsipil partisipasi politik publik harus diwadahi dalam berbagai kanal, baik lewat partai politik maupun perseorangan yang dinilai cakap untuk mewakili wilayahnya untuk duduk di parlemen nasional.

Format dua kamar dalam parlemen yang ideal adalah dengan memosisikan kamar-kamar tersebut dalam posisi yang setara, yakni memiliki fungsi dan wewenang yang sama. Secara implisit menunjuk model bikameral kuat yang dipraktikkan di Amerika Serikat sebagai model bikameral yang ideal untuk dipraktikkan.

Prinsipnya bahwa proses politik harus dibangun dalam kultur politik demokratis yang lemah dengan menerapkan model bikameral kuat, sebab akan memberikan efek politik yang positif dengan berbagai proses politik yang terjadi di dalamnya. Karena apabila menerapkan sistem bikameral lemah, hanya akan membiarkan proses politik dimonopoli oleh partai-partai politik yang bisa jadi tidak mewakili kepentingan publik secara umum (Dennis C. Mueller, 1979:173).

Mengapa DPD harus diperkuat? Sekurang-kurangnya ada tiga alasan, yakni pertama, sistem dua kamar lebih menjamin demokrasi dan kesejahteraan. Negara-negara besar dengan jumlah suku dan agama yang beragam umumnya mengadopsi sistem parlemen dua kamar. Negara-negara besar yang makmur secara ekonomi dan demokratis secara politik menerapkan parlemen dua kamar, seperti Amerika, Jerman, Kanada, Belanda, Italia, Austria, Swiss, Jepang, dan Australia. Bahkan Malaysia dan Filipina juga mengadopsi sistem tersebut.

Kedua, memperkuat sistem checks and balances. Hadirnya kamar kedua (second chamber) mengandaikan terciptanya checks and balances bukan hanya antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), tetapi juga di dalam cabang kekuasaan legislatif itu sendiri. Kamar kedua memungkinkan bekerjanya sistem double checks, yaitu terbukanya peluang pembahasan yang berlapis terhadap setiap produk legislatif yang berdampak bagi rakyat. Kamar kedua berfungsi mengutip CF Strong (1973), untuk mencegah lahirnya undang-undang yang dibuat secara tergesa-gesa oleh satu majelis.

Ketiga, memperjelas sistem parlemen Indonesia. Dengan memperkuat DPD, parlemen Indonesia semakin didorong ke arah bikameralisme murni, tidak pseudo-bicameralism seperti sekarang. Memperkuat DPD juga merupakan bentuk dari tindakan politik yang fair. Sebab, syarat untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat ketimbang menjadi anggota DPR. Untuk menjadi calon saja, anggota DPD harus memperoleh dukungan 1.000 sampai 5.000 tanda tangan pemilih. Mereka langsung berhadapan dengan rakyat, berbeda dengan DPR yang dipilih melalui partai politik.

Keberadaan DPD dalam parlemen Indonesia terlepas dari kuat atau lemahnya fungsi yang diemban oleh DPD, telah mampu memberikan stimulasi positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Sehingga apa pun kondisinya, secara prinsip DPD harus tetap dipertahankan dengan mendorong terjadinya penguatan terhadap lembaga tinggi tersebut, baik oleh internal DPD, anggota DPR, maupun masyarakat. Permasalahan bahwa DPD memiliki tugas dan wewenang yang terbatas adalah sebuah realitas politik, namun realitas tersebut tidak sebagai sesuatu yang bersifat baku, melainkan masih mungkin dapat dilakukan perubahan yang sesuai dengan napas demokrasi.

Perdebatan bahwa negara kesatuan seperti Indonesia tidak cocok menganut sistem perwakilan bikameralisme, namun lebih cocok unikameralisme adalah suatu pemikiran yang tidak membebaskan dan cenderung menyesatkan. Bahwa sistem bikameralisme cenderung cocok diterapkan di negara federal, dan bila diterapkan di negara kesatuan justru berpotensi menghancurkan bangsa adalah upaya untuk membangun satu kesimpulan yang tidak teruji kesahihannya.

Faktanya, sistem bikameral, ternyata bersifat lintas bentuk negara; kesatuan ataupun federal, hal yang sama juga terjadi pada sistem unikameral. Artinya bahwa sistem legislatif, apakah unikameralisme ataupun bikameralisme tidak ada sangkut pautnya dengan eksistensi bentuk kenegaraan, komposisi penduduk, ataupun golongan. Sebagai contoh, perubahan dari sistem legislatif bikameral ke sistem legislatif unikameral yang terjadi di Denmark, Swedia, Norwegia, Islandia, maupun Selandia Baru adalah karena keefektifan perwakilan politik yang ada di negara-negara tersebut.

Bila membandingkan dengan komposisi penduduk yang ada di Indonesia, dapat dilihat bagaimana rumitnya sebuah bangsa bernama Indonesia menjalankan roda pemerintahan dan kebangsaannya tanpa melibatkan unsur kewilayahan, selain perwakilan dari populasi. Sebab, dengan luas wilayah dan beragamnya etnis dan keheterogenan penduduk, dapat dipastikan bahwa harus ada kanal politik yang dapat memberikan ruang bagi eksistensi sebuah perwakilan lain selain perwakilan populasi melalui partai politik. Dengan kata lain, tidak ada cara lain untuk menegaskan bahwa DPD, sebagai lembaga tinggi baru dalam parlemen Indonesia harus diperkuat eksistensinya, tidak sekadar menjadi pelengkap dari keinginan untuk membangun check and balances dari hubungan antarlembaga tinggi dalam parlemen. ***

Penulis, pemerhati masalah sosial politik dan dosen tetap Kopertis Wilayah IV Jabar-Banten dpk. Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar