Selasa, 08 Desember 2009

Penguatan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Penguatan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Sebuah Tinjauan dari Segi Konstitusionalisme

Buat halaman ini dalam format PDF

Cetak halaman ini

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia

Pengantar

Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum diubah dan diamandemen), memang, harus diakui masih mengandung sejumlah kelemahan yang cukup mendasar. Bahkan, kalau ditarik ke belakang, kelemahan UUD 1945 itu sudah diketahui sejak 1950-an. Itulah sebabnya, Dewan Konstituante dibentuk yang bertugas membuat UUD baru. Dewan Konstituante, sebenarnya, tidak bisa dikatakan gagal dalam menjalankan tugasnya untuk membuat UUD 1945. Lebih tepatnya dikatakan bahwa Dewan Konstituante digagalkan oleh konspirasi kekuatan-kekuatan politik dominan waktu itu. Pembubaran Dewan Konstituante yang ditandai oleh dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sesungguhnya, menandai babak baru hancurnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bahkan, perubahan tersebut menghancurkan seluruh tatanan politik demokratis yang telah terbangun sebelumnya.

Peran DPR/DPRD: Antara Persepsi Tata Negara dan Politik

Tata negara dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Tetapi, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Hubungan kedua bidang ini bersifat fungsional. Postur ketatanegaraan suatu negara sangat ditentukan oleh postur politik yang dikembangkan oleh partai-partai politik di negara itu. Demikian pula sebaliknya, sistem politik suatu negara juga sangat ditentukan oleh sistem ketata-negaraan yang dibangun di negara tersebut.

Pola-pola relasi antara kedua bidang itu juga sangat ditentukan oleh kebudayaan politik dan hukum yang berkembang. Budaya politik dapat diibaratkan sebagai ruh tata negara. Karena itu, sebaik apa pun pengaturan kekuasaan negara dalam UUD maupun undang-undang yang ada di bawahnya tidak akan menolong untuk membuat penyelenggaraan negara menjadi stabil dan baik jika budaya-politiknya tidak cukup mendukung.

Perancis dan Inggris adalah dua negara yang pantas digunakan sebagai contoh tentang soal ini. Sepanjang republik keempatnya, Perancis memiliki dua belas pemerintahan. Pada saat yang sama, Inggris hanya memiliki dua pemerintahan. Perancis memiliki konstitusi tertulis, bahkan Perancis dikenal sebagai negara yang paling produktif dalam membuat konstitusi. Sebaliknya, Inggris adalah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis. Menariknya, sistem pemerintahan kedua negara ini sama, yakni parlementer, tetapi sistem politik Inggris lebih stabil.

Di sinilah letak urgensinya fondasi budaya politik dalam praktek bernegara. Tetapi, justru di sini pula letak kekeliruannya sehingga pemikiran-pemikiran yang secara substansial bersifat pemikiran politik dianggap pemikiran tata negara. Pemikiran politik hanya berurusan dan berkaitan dengan deskripsi-deskripsi dan fenomena-fenomena sosiologis; sedangkan pemikiran tata negara bertolak dari norma dan kaidah hukum formal. Sanksi politik tidak dapat dieksekusi, sedangkan sanksi hukum tata negara dapat dieksekusi. Namun, dalam hal ini, sangat diperlukan konstelasi politik tertentu untuk dapat mendukung pelaksanaannya.

Sanksi politik bisa sangat berbahaya dan mematikan. Sanksi ini dilatar-belakangi dan didorong oleh motif-motif politik. Seringkali sanksi politik itu mengambil bentuk-bentuk seperti fitnah yang berujung pada upaya pembunuhan karakter ( character assasination ) seseorang yang tentu saja jauh lebih kejam daripada sanksi hukum formal. Karena sanksi politik tidak diambil melalui proses yang baku dan formal, ia dapat berbentuk segala tindakan yang sangat berbahaya.

Kita sering mendengar perkataan tokoh-tokoh politik bahwa DPR dan DPRD adalah institusi politik. Pernyataan ini tidak salah, tetapi sangat keliru kalau DPR dan DPRD hanya dianggap sebagai institusi politik. Hemat penulis, institusi-institusi ini (DPR dan DPRD) juga merupakan institusi hukum. Institusi inilah yang bertugas merumuskan pemikiran-pemikiran dan ide-ide politik menjadi sebuah undang-undang.

Dilihat dari sudut sistem hukum, DPR merupakan institusi yang berperan sangat besar, bahkan, sangat utama dalam pembentukan sistem hukum. Ide-ide politik berkembang di tengah-tengah kehidupan social-politik kemasyarakatan, diinput oleh partai-partai politik melalui wakil-wakilnya di DPR, lalu diintegrasikan dan out-put nya adalah berupa undang-undang. Inilah letak urgensinya seorang politisi mengetahui hukum tata negara.

Sebagai kumpulan dari manusia-manusia dengan latar belakang yang demikian beragam, memang, sulit diharapkan bahwa DPR mampu membuat undang-undang yang sesuai atau sama persis dengan kaidah-kaidah akademik dalam ilmu hukum. Kita juga tidak mudah dan tidak bisa memaksa mereka untuk mengharmoniskan satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Anggota DPR/DPRD bukanlah akademisi. Forum pembahasan apa pun yang dilaksanakan di DPR/DPRD bukan pula forum akademik sehingga tidak tepat kalau meminta sesuatu yang lebih dan sejalan dengan kaidah-kaidah ideal akademis.

Faktor Kunci Hubungan antara Ekeskutif dan Legislatif

Ide-gagasan kunci dalam konsep konstitusionalisme adalah pembatasan terhadap kekuasaan. Caranya bisa sangat beragam yang bergantung pada bagaimana kekuatan-kekuatan politik yang ada mampu merumuskan dan melembagakannya di dalam sebuah konstitusi. Dalam hubungan ini, kita mengenal dua pemikir besar, John Locke, yang berkebangsaan Inggris, dan Montesqieu, yang berkebangsaan Perancis. Keduanya sama-sama menolak praktek penyelenggaraan pemerintahan monarki absolut di negeri mereka masing-masing.

John Locke tersohor dengan konsep pembagian kekuasaan, sedangkan Montesqieu tersohor dengan konsep pemisahan kekuasaan. Jika dicermati secara sungguh-sungguh, konsep yang sangat sering disalah-mengerti oleh berbagai kalangan adalah konsep pemisahan kekuasaan dari Montesqieu. Konsep yang sering didengung-dengungkan oleh beberapa kalangan di berbagai kesempatan adalah tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiganya sering dipandang secara terpisah satu dengan lainnya secara rigid. Ada juga mengatakan tentang terjadinya intervensi ketika satu cabang kekuasaan membicarakan sesuatu hal yang merupakan hak dari cabang kekuasaan lainnya. Rujukan yang selalu digunakan oleh pihak-pihak yang berpendapat demikian adalah Amerika Serikat.

Sebenarnya, sejak awal, para pembuat konstitusi Amerika Serikat sama sekali tidak bermaksud untuk memisahkan ketiga kekuasaan tersebut secara rigid. Kenyataannya, kekuasaan dari ketiga cabang kekuasaan tersebut dirumuskan dan dialokasikan secara “tumpang tindih.” Karena itu, Presiden, misalnya, diberi hak yang secara konsepsional sebenarnya merupakan wewenang yudikatif. Contoh, hak seorang Presiden yang memberi pengampunan. Selain itu, Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif. Contoh, Presiden membuat rancangan undang-undang. Sebaliknya, Presdien diberi hak untuk menolak menandatangani undang-undang yang telah dibuat dan dikaji oleh House of Representative . Apabila Presiden menolak menandatangani satu undang-undang yang telah diputuskan oleh House of Representative , pengambilan keputusan terhadap undang-undang yang dikembalikan oleh Presiden tersebut harus melibatkan Senat.

Sebaliknya, legislatif memiliki tugas yang secara konsepsional merupakan hak Presiden. Contoh, senat memberi “pertimbangan dan persetujuan” kepada Presiden dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang Duta Besar. Demikian juga, Presiden harus meminta persetujuan Senat, apabila Presiden hendak menyatakan perang. Hal ini menunjukan bahwa pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat tidak bersifat rigid. Inilah cara-cara yang dipilih dan dianggap pantas oleh para perumus Konstitusi Amerika Serikat dalam merumuskan kekuasan masing-masing cabang kekuasaan.

Pelaksanaan dari kekuasaan tersebut sangat bergantung dan dipengaruhi oleh konstelasi, serta konfigurasi politik. Konstelasi politik di legislatif sangat bergantung pada konfigurasi politik yang ada di dalamnya. Masalahnya, apakah konfigurasi politik di legislatif didominasi oleh kekuatan politik yang sehaluan dengan haluan politik Presiden atau, sebaliknya, didominasi oleh partai politik yang berbeda haluan politiknya dengan haluan politik Presiden?

Konfigurasi politik sangat bergantung pada sistem partai yang dianut. Konstelasi politik di satu negara yang menganut sistem multipartai akan jauh lebih rumit dibandingkan dengan negara yang menganut sistem dua partai. Akan semakin rumit lagi kalau tidak terdapat tiga hal. Satu , budaya politik yang berorientasi pada promosi kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Dua , mutu disiplin partai. Tiga , keterampilan politik eksekutif. Khusus untuk hal ketiga, bagaimanapun, harus diakui bahwa eksekutif memiliki serangkaian kekuatan yang tidak dimiliki oleh legislatif. Hal ini dapat digunakan untuk melakukan tawar-menawar dengan anggota-anggota legislatif yang berbeda haluan politik dengan eksekutif.

Harus diakui pula bahwa, dilihat dari sudut paham konstitusionalisme, hubungan antara eksekutif dan legislatif bukanlah semata-mata hubungan yang bersifat hubungan hukum, melainkan juga merupakan hubungan politik. Hubungan hukum bersifat imperatif, sedangkan hubungan politik bersifat saling mempengaruhi dan tawar-menawar. Inilah letak urgennya keterampilan politik dari masing-masing pihak untuk digunakan. Bobot hubungan ini merupakan cerminan dari peran kedua belah pihak.

DPR dan DPRD Pasca Perubahan UUD 1945

Sejarah ketatanegaraan dan politik Indonesia menunjukan terjadinya pasang surut peran DPR dan DPRD, di satu pihak, serta peran Presiden dan Kepala Daerah, di lain pihak. Seperti yang telah dikemukakan s ebelumnya bahwa praktek ketatanegaraan dan politik Indonesia pernah menempatkan DPR dan DPRD sedemikian kuat dalam praktek penyelenggaraan negara. Periode ini berlangsung sejak 1950 hingga pertengahan 1959. Periode ini betul-betul menunjukan peran DPR dan DPRD yang luar biasa. Periode ini selesai ditandai oleh dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, DPR dan DPRD benar-benar lumpuh. Peran DPR dan DPRD tidak lebih hanya sebagai tukang stempel. Bahkan, lebih jauh, demokrasi pun mengalami masa yang cukup suram.

Kalau diperiksa secara teliti tentang risalah perdebatan anggota Dewan Konstituante ketika menanggapi ide yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 akan ditemukan sejumlah pandangan yang sangat menarik, terutama pandangan anggota-anggota Dewan Konstituante dari kalangan Masyumi, antara lain, pandangan dari tokoh-tokoh seperti Prawoto Mangkusasmito dan Buya Hamka. Inti pandangan keduanya dalam menanggapi ide Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 adalah Indonesia akan menjadi negara otoriter. UUD 1945 ini mengandung sejumlah kelemahan yang bersifat fundamental. Mereka sangat gigih menolak gagasan itu, tetapi mereka tidak kuasa untuk menghadapi kekuatan politik besar yang ada di depannya.

Tindakan paling dramatis yang menandai betapa kuatnya kekuasaan Presiden Soekarno setelah keluarnya dekrit itu diawali oleh pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Penyebabnya sederhana, DPR menolak melakukan pengesahan Rancangan Anggaran yang diajukan oleh Presiden. Pembubaran ini segera diikuti oleh pembentukan DPR-GR. Presiden sangat gencar mengampanyekan ide-ide revolusioner dan menggunakan konsep revolusi yang dibuatnya sendiri sebagai instrumen politik untuk menghimpun semua kekuatan politik di dalam kekuasaannya (kooptasi kekuasaan). Siapa pun yang berseberangan dengannya akan mengalami nasib buruk. Benar sekali bahwa Masyumi yang diperlakukan semena-mena dan memaksakan untuk membubarkan diri.

Seiring dengan perjalanan waktu, sistem ketatanegaraan dan politik yang dikembangkan Soekarno berakhir dengan sangat tragis pada 1965. Lalu, muncullah berbagai ide untuk menyehatkan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara. Ide-ide negara hukum pun dikumandangkan saat itu. Namun, seperti sudah diketahui oleh umum, ide-ide tersebut juga digagalkan secara sistematis. Berikutnya, menjelang Sidang Istimewa MPRS pada 1967 dan Sidang Umum MPRS dilakukan pergantian sejumlah anggota DPR-GR yang tidak sedikit. Selain mereka yang dianggap tidak bersih, turut pula diberhentikan dari keanggotaan DPR adalah mereka yang aktif mengonsolidasikan gagasan negara hukum. Misalnya, mereka aktif mengusulkan pembentukan UU Peradilan Tata Usaha Negara, pembentukan Undang-Undang Pemilu, pembentukan UU Anti-Korupsi. Mereka juga sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang sedang menguat saat itu.

Sejak saat itu hingga 1998, peran DPR dan DPRD tidak lebih hanya sebagai tukang stempel. Bahkan, DPRD dirumuskan sebagai bagian dari pemerintah daerah. Hal ini diperparah lagi oleh sistem dan praktek politik yang dikembangkan secara nasional selama pemerintahan Soeharto.

Didorong oleh kemauan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan itu, dianggap tepat kalau UUD 1945 itu diubah dan diamandemen. Sebagaimana pernah dikemukakan, penulis terlibat langsung dalam perencanaan dan pengagendaan perubahan UUD 1945. Ide dasar yang berkembang saat itu juga muncul dalam perdebatan-perdebatan di PAH III BP MPR pada Sidang Umum MPR 1999 dan PAH I BP MPR pada Sidang Umum Tahunan MPR 2000–2002. Kata-kata yang digunakan oleh anggota MPR saat itu adalah memberdayakan lembaga-lembaga tinggi negara agar tercipta check and balances .

Sejak awal perdebatan di PAH III MPR pada Sidang Umum MPR 1999, muncul pula keinginan agar kekuasaan Presiden harus mulai dibatasi. Sebagaimana telah diketahui bahwa kekuasaan Presiden yang terlalu besar melahirkan ekses yang tidak baik. Hampir semua partai politik memiliki ekspektasi yang sama, yakni mengubah UUD 1945, kecuali PDIP. Faktanya kemudian, PDIP pun tidak dapat mengelak, dan ia harus secara bersama-sama mewujudkan ide-ide perubahan UUD 1945 itu.

Penulis tidak sependapat dengan berbagai pandangan yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan hasil perubahan UUD 1945 cenderung kepada sistem parlementer. Sebenarnya, apa yang dihasilkan sekarang adalah upaya penyeimbangan hubungan antara kekuasaan yang ada. Seperti yang telah dikemukakan, dalam sistem pemerintahan presidensial, kekuasaan dari ketiga cabang kekuasaan itu dialokasikan dan distribusikan secara tumpang tindih. Keterlibatan DPR, misalnya, dalam hal Presiden mengangkat seorang Duta Besar merupakan hal normatif dan konvensional dalam sistem pemerintahan presidensial.

Keterlibatan Mahkamah Agung (MA) ketika Presiden memberi pengampunan pun demikian. Inilah ciri-ciri dari pemerintahan presidensial. Begitu juga dengan hal lainnya yang memerlukan keterlibatan DPR atau MA. Karena itu, penulis berpendapat bahwa tidak tepat kalau sistem ini dikatakan sebagai sistem pemerintahan parlementer atau berkecenderungan parlementer.

Kalau terdapat hal-hal baru, katakanlah seperti DPD, yang banyak dikritik oleh orang sebagai dewan yang hanya melengkapi DPR, bagi penulis, kondisi itu tidak serta-merta dan tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan ini berkecederungan parlementer. Memang, jika dikatakan bahwa DPD ini tidak persis sama dengan Senat di Amerika Serikat. Namun, penulis mengakui bahwa lemahnya kedudukan DPD dengan sendirinya mengurangi pelaksanaan mekanisme check and balances dalam tubuh legislatif. Dikatakan demikian karena produk-produk DPR tidak dapat dikoreksi oleh DPD. Padahal, dilihat dari sudut gagasan konstitusionalisme, mekanisme check and balances pun harus dilembagakan dalam tubuh legislatif.

Gagasan untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan itulah yang mendorong anggota MPR untuk merumuskan hubungan antara DPR dan Presiden seperti yang tertuang dalam UUD 1945 (setelah diubah dan diamandemen). Hak-hak DPR yang sebelumnya tidak diatur dalam UUD 1945, kini, telah diatur sedemikian jelas. Pengaturan tersebut harus dibaca dalam semangatnya untuk meningkatkan postur pemerintahan yang bertanggung jawab.

Hal yang sangat menarik, jauh sebelum UUD 1945 diubah, pemerintah dan DPR telah mengambil langkah cepat dengan melakukan perubahan terhadap UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan dibuatlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Kombinasi antara kelemahan peran DPRD pada masa lalu dan kemauan untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintahan di daerah, UU No. 22/1999 itu cenderung untuk mengikuti logika sistem pemerintahan parlementer. Hal itu terlihat jelas pada pasal 31 ayat (2) yang selengkapnya berisi ketentuan berikut:

Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Sungguhpun bukan merupakan satu-satunya sebab, rumusan tersebut telah mendorong DPRD berperan sedemikian aktif. Perannya tampak seolah-olah keluar dari konsep desentralisasi, lalu bergeser ke konsep devolusi. Ini terjadi karena hampir tidak ada satupun anggota DPRD yang dimintai pertanggungjawaban hukum oleh aparatur hukum , dan tidak sedikit pula yang diajukan ke pengadilan dan divonis sebagai narapidana.

DPRD juga membuat Perda, terutama yang berkenaan dengan peningkatan pendapatan asli daerah. Namun, untuk hal ini, harus diakui bahwa ada hubungan yang sangat jelas dengan ketidak-jelasan konsep otonomi fiskal yang digariskan oleh pemerintah pusat. Akibat yang kemudian muncul ke permukaan adalah daerah seringkali merasa bingung dan ringkih dalam menetapkan bidang-bidang objek pajak yang sah yang sejalan dengan politik fiskal pemerintah pusat.

Kenyataan itu mendorong pemerintah untuk melakukan lagi perubahan terhadap UU No. 22/1999 sehingga dibuatlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Dilihat dari segi waktu pembuatannya, undang-undang ini dibuat setelah terjadi perubahan UUD 1945. Prinsip-prinsip otonomi daerah pun telah digariskan dalam UUD 1945. Demikian pula dengan sistem pemerintahan nasional. Itulah sebabnya, segala ketentuan tentang pertanggung-jawaban Kepala Daerah dihapuskan. Namun, hemat penulis, anggota DPRD tidak perlu cemas karena, sebagaimana telah disebutkan di muka, postur hubungan dan peran legislatif tidak bergantung semata-mata pada rumusan undang-undang tentang tugas dan wewenangnya.

Satu hal yang ingin penulis tekankan adalah bahwa anggota DPRD harus mengerti secara benar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai seorang yang mempelajari hukum, penulis mengakui bahwa setiap undang-undang memerlukan tafsir, dan tafsir atas teks-teks hukum itu memiliki kaidah-kaidah dan norma-norma sendiri. Sedikit saja keliru dalam menafsirkan suatu teks, akibat yang terjadi akan sangat fatal. Karena itu, menghindari motivasi politik dalam menafsir teks-teks hukum akan lebih baik dan selamat.

Penutup

Konstruksi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, di suatu negara sangat bergantung pada kesediaan kekuatan-kekuatan politik dalam memahami ide-ide konstitusionalisme. Sebagai ide dasar dan elementer dalam gagasan konstitusionalisme, pembatasan kekuasaan merupakan sesuatu yang mutlak dirumuskan dalam konstitusi. Nilai fundamental yang melandasi ide dasar pembatasan kekuasaan, sebagai salah satu elemen penting dalam gagasan konstitusionalisme yang dimaksud adalah harkat-martabat manusia. Ide ini diformulasi secara praktis menjadi kesejahteraan rakyat. Kajian konstitusionalisme menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan basis etik dari semua negara dan konstitusi modern.

Peran legislatif, dalam kenyataannya, tidak selalu ditentukan oleh lengkap-tidaknya pengaturan tentang hak, tugas dan wewenang dari anggota legislatif. Kebudayaan politik, yang sesungguhnya merupakan ruh dari budaya hukum, justru sangat berpengaruh dalam menentukan postur hubungan antara legislatif dan eksekutif. Sungguhpun demikian, kedua soal ini, tidak dapat disatukan begitu saja. Politik merupakan hal yang sangat berbeda dengan hukum. Konsekuensi-konsekuensinya pun berbeda. Karena politik memiliki perbedaan dengan hukum, hemat penulis, gambaran tentang atau prediksi tentang peran DPR dan DPRD ke depan sangat bergantung pada persepsi politik masing-masing orang yang menilai kinerjanya. Politik hanya berkaitan dengan deskripsi, kemampuan, dan ketepatan analisis terhadap fenomena-fenomena politik, sedangkan hukum jelas-jelas memiliki patokan norma dan kaidah.

Makalah ini disampaikan pada Diskusi Panel dengan tema “Revitalisasi Tugas Dan Fungsi Dewan Pasca Perubahan UUD 1945” dan Peresmian Rumah Aspirasi Rakyat (UMAT) pada tanggal 4 Februari 2006, di Gedung Negara Istana Bung Hatta, Bukit Tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar