KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
I. PENDAHULUAN
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan, bahwa :
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi
Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman kita sekarang selain diselenggarakan olah Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam empat lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah amanden UUD 1945 merupakan puncak dari badan-badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu : agama, militer dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah MA.
Untuk lingkungan peradilan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.
PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding.
Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan kasasi.
II. PTUN DI INDONESIA
Dalam UU No 5 Tahun 1986 untuk membentuk PTUN dengan Keputusan Presiden (Keppres). Di Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik Indonesia.
III. KOMPETENSI PTUN
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.
Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai berikut :
Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.
Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke pengadilan di tempat tergugat dan hanya bersifat eksepsional di tempat penggugat diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142. Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan langsung, pembatasasn tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara.
1) Pembatasan Langsung
Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata usaha negara menurut UU ini :
a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
2. Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Pembatasan Tidak Langsung
Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh.
Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 yang menyebutkan,
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.
(3) Pembatasan langsung bersifat sementara
Pembatasan ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali bagi PTUN untuk mengadilinya, namun sifatnya sementara dan satu kali (einmalig). Terdapat dalam Bab VI Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa, “ Sengketa tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”.
Kompetensi Absolut akan selalu berkaitan dengan titik singgung dengan kompetensi lain ;seperti kompetensi Peradilan Perdata, kompetensi Pengadilan Niaga, Kompetensi pengadilan Pajak dan yang lainnya. Dalam kasus-kasus tertentu sering terjadi antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Badan peradilan lain sama-sama merasa memeriksa dan memutus terhadap obyek gugatan yang sama. Akibatnya sering menimbulkan putusan yang berbeda atau bertentangan satu sama lain. Hal ini muncul karena disebabkan oleh materi yang dipersengketakan penggugat ada titik singgung kewenangan mengadili antara PTUN dengan pengadilan lain;misalnya antara sertifikat tanah dan hak milik. Untuk mencegah hal tersebut, Hakim Pengawas MA ini memberi rekomendasi pada hakim; Pertama, harus mempu menguasai Kewenangan absolut PTUN; kedua, memahami secara detail subyek atau pihak-pihak yang bersengketa di PTUN; ketiga, memahami secara utuh obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh PTUN; keempat, harus dikuasai asas-asas hukum yang berlaku di PTUN, seperti hukum administrasi, doktrin, dan yurisprudensi putusan-putusan PERATUN.
VII. PENUTUP
Kompetensi PTUN dalam sistem peradilan kita, masih relatif kecil. Tidak jarang di berbagai PTUN volume perkara pertahunnya di bawah 20 perkara seperti antara lain PTUN Ambon, Banda Aceh, Bengkulu, Jambi, Jayapura, Kendari, Kupang, Palangkaraya, Palu, Yogyakarta. Hal ini menunjukan belum optimalnya peranan PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pemerintah.
| |
|
Oleh : Husban, S.H.
(Hakim PTUN Semarang/Mahasiswa Pasca Sarjana UNDIP Semarang)
BAB I PENDAHULUAN
Eksistensi dari Indonesia sebagai negara hukum antara lain tercermin dari asas bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini membawa konsekwensi disatu sisi hukum digunakan sebagai rel pijakan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, disisi lain hukum yang sama digunakan sebagai dasar pengujian terhadap tindakan pemerintah.
Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat.
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata Usaha Negara yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan :
1.Mengeluarkan Keputusan (beschikking) ;
2.Mengeluarkan Peraturan (regeling)
3.Melakukan perbuatan materiil (Materiele daad)
Dari ke-3 (tiga) macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya keputusan yang dikeluarkan oleh Badan / Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh Peradilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan mengenai perbuatan-perbuatan Administrasi Negara pada butir b dan c tidak termasuk kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung maupun Peradilan Umum.
Untuk menilai suatu peraturan adalah wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review yaitu berdasarkan hak uji materiil terhadap Peraturan Perundang-undangan dan Mahkamah Agung terhadap peraturan dibawah Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung Jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil.
Sedangkan wewenang untuk menilai perbuatan materiil adalah Kompetensi Peradilan Umum yang didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata.
Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan, walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahuh 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dapat kita jumpai adanya sebutan-sebutan atau istilah-istilah hukum yang berkaitan dengan administrasi negara atau tata usaha negara, diantaranya : Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, istilah Sengketa Tata Usaha Negara, dan Keputusan Tata Usaha Negara.
Pengkajian dari segi pelaksanaan dan operasionalnya Undang-Undang tersebut dirasakan masih perlu untuk selalu ditingkatkan, dengan berpijak pada perkembangan dalam praktek, misal :
tentang pengertian Tata Usaha Negara atau Badan Pejabat Tata Usaha Negara ;-
tentang- pengertian “Keputusan Tata Usaha Negara”, masih terdapat bermacam-macam persepsi tentang keputusan yang mana dan bagaimana dalam praktek, yang termasuk dalam kriterium pasal 1 butir 3 undang-undang tersebut. Istilah “Keputusan Tata Usaha Negara” dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ini dirumuskan secara umum, sehingga untuk pemahamannya dalam keadaan konkrit dan dalam kebutuhan praktek masih dirasakan perlunya penjelasan lebih lanjut (sekalipun telah ada penjelasan pasal yang bersangkutan).
Penentuan tentang hal-hal tersebut sangat diperlukan, sebab akan menjadi tolok ukur untuk menentukan kewenangan absolut (kompetensi) Pengadilan, oleh karena yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah Keputusan Tata Usaha Negara, dan Keputusan TUN inipun haruslah keputusan yang memenuhi kriteria undang-undang, sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara memiliki unsur-unsur yang menjadi karakteristiknya, dimana hal inilah yang membedakannya dengan keputusan lain.
Beberapa dari pengertian mengenai Keputusan Tata Usaha Negara yang adalah :
- Utrecht : Keputusan adalah suatu pilihan atau kesimpulan tentang tindakan yang akan diambil, yang diadakan atau ditarik karena adanya suatu ketidaksamaan pendapat.
- Pratjihno, SH : Pengambilan keputusan adalah meliputi seluruh proses yang menetapkan tujuan, menentukan tugas, mencari pilihan, menentukan pilihan dan mengembangkan rencana.
- Pasal 1 butir 3 Peratun : Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara adalah :
-Peraturan/ketentuan pokok dan peraturan perundang-undangan yang terkait.
-Asas-asas umum pemerintahan yang baik.
-Kewenangan badan atau pejabat TUN yamg mengeluarkan KTUN yang bersangkutan (Kewenangan atributif,mandat,delegatif).
-Kenyataan, keadaan dan fakta hukum.
-Asas contrarius actus ; pencabutan, penambahan atau perubahan suatu keputusan terikat pada formalitas yang sama dengan formalitas yang harus dipenuhi untuk pemberian keputusan itu.
-Derajat surat keputusan lebih tinggi dari surat jabatan biasa.
-Keputusan-keputusan yang harus diberikan dalam bentuk surat keputusan tidak dapat diberikan dengan surat kawat/telegram,kecuali keputusan-keputusan yang tidak ada ketentuannya tentang bentuk pemberiannya dapat diberikan dengan surat kawat/telegram.
Adapun kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara, diantaranya adalah :
-Keputusan TUN dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang tidak berwenang.
-penyebutan obyek / tumpang tindih obyek.
-subyek yg dituju.
-prosedur tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.
-melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik
-tidak didasari pertimbangan yg memadai
-redaksional
-formal konsideran YURIDIS (aturan perundangan yang terkait)
Tidak semua Keputusan TUN dapat menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, karenanya hal ini ada kalanya menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yaitu Keputusan TUN yang mana yang dapat menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara, atau dari rentetan Keputusan TUN dan karakter Keputusan TUN pasal 1 butir 3 dihubungkan dengan banyaknya varian dan bentuk dari Keputusan TUN tersebut akan menimbulkan adanya perbedaan persepsi serta terdapat titik singgung kewenangan Peradilan TUN dengan lingkungan Badan Peradilan lainnya; dan atau apakah putusan Peradilan TUN tidak mempunyai dampak terhadap putusan peradilan lainnya atau sebaliknya ?
Sehubungan dengan hal tersebut bagaimanakah pengujian Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menyatakan batal atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara ? Hal ini menjadi sangat penting bagi persiapan dan perumusan serta isi dari suatu Keputusan TUN bagi Badan/Pejabat TUN itu sendiri sehingga keputusan tersebut menjadi keputusan yang rechtmatig sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
BAB II KARAKTERISTIK KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan : “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”.
Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang dimaksud Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa unsur, yaitu :
1.Penetapan Tertulis ;
2.Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara;
3.Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara ;
4.Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
5.Bersifat konkrit, individual dan final ;
6.Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;
Keseluruhan dari unsur tersebut adalah bersifat kumulatif agar dapat menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;
Bapak Indroharto, SH. (Mantan Ketua Muda MARI urusan lingkungan Peradilan TUN) dalam bukunya yang berjudul “Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” mengatakan bahwa mengenai apa siapa yang dimaksud dengan Badan atau Jabatan TUN menurut Pasal 1 butir 2, ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Jabatan TUN pada saat tindakan hukum Tata Usaha Negara itu dilakukan.
Apabila yang diperbuat pada saat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan pelaksanaan dari urusan pemerintah, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi itu, pada saat itu dapat di anggap sebagai badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Berdasarkan pelaksanaan fungsi tersebut maka dapat termasuk juga Badan Swasta sebagai Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, karena menjalankan sebagian urusan pemerintah, misalnya di bidang keuangan, kesehatan dan pendidikan. sehingga keputusannya apabila merugikan kepentingan seseorang dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bisa digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun demikian harus tetap didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan untuk bertindak dibidang kegiatan urusan pemerintahan, baik bersifat kewenangan atributif atau delegasi.
Yang perlu pula diperhatikan adalah bahwa syarat tertulis sebagaimana dimaksudkan dalam unsur ke-1 (satu) pasal 1 butir 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, ditekankan pada segi isinya dan tidak semata-mata pada segi konkritnya.
Sehingga terlepas dari bagaimanapun bentuk penetapan tertulisnya, dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara asalkan jelas mengenai hal-hal sebagai berikut :
-Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkannya ;
-Apa maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu ;
-Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan bahwa yang ditetapkan itu bersifat konkrit, individual dan final ;
-Serta dapat menimbulkan akibat hukum bagi yang dituju ;
Demikian pula tentang unsur ke-3 (tiga) yaitu berisi tindakan hukum tata usaha negara, dalam arti bahwa tindakan-tindakan dalam penetapan tertulis itu harus dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum Tata Usaha Negara.
Tindakan hukum Tata Usaha Negara ini secara konkrit adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan Tata Usaha Negara yang telah ada.
Mengenai unsur ke-4 (empat), yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai kasus/sengketa yang bersangkutan.
Mengenai unsur ke-5 (lima), yaitu bersifat konkrit, individual dan final menunjukkan, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak ditujukan sebagai peraturan umum, melainkan bersifat tertentu baik mengenai alamat yang dituju maupun perihal yang ditentukan.
Mengenai sifat final diartikan bahwa akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus merupakan akibat hukum yang definitif dan tidak terbuka upaya lain untuk mengajukan keberatan.
Unsur ke-6 (enam) tentang keharusan adanya akibat hukum yang ditimbulkan oleh terbitnya Keputusan TUN yang bersangkutan, berarti bahwa keputusan itu mampu menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada misal menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, mengubah status, ataupun melahirkan hubungan hukum yang baru.
Pengertian tentang harus menimbulkan akibat hukum itu hendaknya dibedakan dengan keputusan yang sekedar berisi rekomendasi atau usul saja, atau yang bersifat pemberian informasi belaka.
Demikian pula perbuatan-perbuatan yang hanya bersifat sebagai persiapan, sekalipun dituangkan dalam bentuk keputusan, harus dianggap sebagai belum dapat menimbulkan akibat hukum, karenanya tidak dapat diartikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1 butir ke-3 (tiga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Dengan demikian jenis keputusan TUN yang dapat digugat ke Peradilan Tata Usaha Negara dan menjadi objek gugatan hanyalah yang mempunyai segenap ciri-ciri karakteristik tersebut diatas, dengan memperhatikan pengecualian pada pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Ada beberapa kategori Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, antara lain adalah : “Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata”.
Di dalam praktek adalah tidak mudah untuk dapat membedakan apakah suatu Keputusan TUN didasarkan kepada kewenangan perdata sehingga melebur menjadi keputusan TUN yang bersifat keperdataan. Ada beberapa contoh Keputusan TUN di Belanda yang melebur kedalam perbuatan hukum perdata yaitu :
-Keputusan TUN yang jangkauannya akan melahirkan atau justru menolak terjadinya suatu perbuatan hukum perdata ;
-Keputusan TUN yang berisi akan menyewa suatu gedung atau kantor ;
-Keputusan TUN yang menyebabkan dipenuhinya atau justru tidak dipenuhinya suatu syarat yang perlu harus ada, agar suatu perbuatan hukum perdata dapat bekerja dengan sah.
-Keputusan TUN yang merupakan pelaksanaan dari suatu perbuatan hukum perdata (menurut TEN BERGE)
Jenis Keputusan Tata Usaha Negara selain dari pada kriterium Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut diatas, apabila menimbulkan kerugian pada seseorang atau badan hukum perdata dapat menggugatnya di Peradilan Umum atau lingkungan Peradilan lainnya.
Sebagai bahan kajian untuk memahami Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak memenuhi kriteria pasal 1 butir 3, penulis sampaikan beberapa contoh kasus :
1.Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor : 04/G/1991/PTUN Medan, SK Walikotamadya berisi mengingatkan atau memberi petunjuk untuk melaksanakan Keputusan TUN ;
2.Putusan Mahkamah Agung Register Nomor : 17K/TUN/1992;
Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 1991 tanggal 22 Januari 1991 yang ditujukan kepada Walikota Jakarta Selatan dan Kepala Biro Ketertiban agar membongkar pagar diantaranya milik Penggugat.
(bahwa memberi petunjuk maupun instruksi tidak termasuk Keputusan TUN yang bisa digugat di Peradilan Tata Usaha Negara).
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
A. Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
Dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa” yang maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.
Satu-satunya Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal atau tidak sah suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :
SYARAT MATERIIL :
a)Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
b)Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
c)Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut;
d)Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;
SYARAT FORMIL :
a)Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;
b)Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
c)Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi ;
d)Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dianut pendirian yang mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan.
Maksudnya adalah agar diberi kesempatan untuk menyelesaikan secara administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, yang sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak mengujinya (toetsing recht) suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan Badan/Pejabat TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan norma-norma hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi tindakan tersebut.
Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :
a)Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
b)Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) tersebut diatas, adalah meliputi 3 (tiga) aspek yaitu :
1.Aspek kewenangan :
yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan,
2.Aspek Substansi/Materi :
yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.Aspek Prosedural :
yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.
Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), yaitu :
1.Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan
- Persiapan yang cermat ;
- Asas fair play ;
- Larangan detournement de procedure ;
2.Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :
- Keharusan memberikan pertimbangan pada suatu keputusan ;
- Pertimbangan tersebut harus memadai ;
3. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan :
1. Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan ;
2. Asas persamaan perlakuan ;
3. Larangan detournement de pouvoir ;
4. Asas kecermatan materiil ;
5. Asas keseimbangan ;
6. Larangan willekeur (sewenang-wenang).
B. Titik Singgung Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum
Dalam praktek, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara banyak dijumpai titik singgung kewenangan mengadili antara Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Tentunya hal ini tidaklah selaras dengan prinsip peradilan kita yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Adapun yang penulis sampaikan disini diantaranya adalah mengenai hal-hal sebagai berikut :
1.Dalam hal kasus gugatan pembatalan Sertifikat Hak Milik atas tanah;
Ketika Penggugat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara maka Hakim PTUN hanya berwenang untuk menguji prosedur dan substansi penerbitan sertifikat tersebut sedangkan sengketa hak kepemillikannya adalah kewenangan dari peradilan umum. Apakah terhadap kasus ini bisa sama-sama diperiksa di Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara ? Kalau diteliti secara seksama ada beberapa persoalan yang timbul yaitu : Apabila gugatan diajukan terlebih dahulu di Pengadilan Negeri untuk menentukan status kepemilikannya maka setelah putusan PN berkekuatan hukum tetap maka sudah daluarsa atau melampaui tenggang waktu untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara karena untuk mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara dibatasi tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diumumkannya atau diketahui sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Sedangkan apabila sama-sama diperiksa baik di PN dan PTUN berdasarkan kewenangan masing-masing maka mungkinkah ada putusan yang saling kontradiktif atau saling mempengaruhi hak dan kepentingan Penggugat ?
Oleh karenanya Hakim Pengadilan TUN harus meneliti secara cermat kepentingan Penggugat dalam menggugat sertifikat hak milik di Pengadilan TUN, kalau tidak, sulit dibayangkan betapa banyaknya sertifikat yang digugat di Peradilan Tata Usaha Negara ;
2.Tuntutan ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh Hakim Pengadilan TUN adalah paling tinggi sejumlah Rp. 5.000.000.- (lima juta rupiah) sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1991;
Dari ketentuan Peraturan Pemerintah Ri Nomor 43 Tahun 1991 tersebut maka terhadap gugatan ke Pengadilan Tata Usaha yang disertai tuntutan ganti rugi (vide pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), hanya bisa dikabulkan maksimal 5.000.000,- sesuai dengan kerugian yang nyata diderita oleh Penggugat. Apabila kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum perdata tersebut melebihi dari Rp. 5.000.000.- (lima juta rupiah) karena tuntutan ganti rugi adalah wewenang Peradilan Umum maka tuntutan selebihnya oleh Penggugat dapat digugat di Peradilan Umum.
BAB IV UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI
A.UPAYA HUKUM
Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, bagi para pihak yang tidak menerima putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum yang tersedia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun upaya hukum tersebut adalah sebagai berikut :
-BANDING ke PT.TUN; (Pasal 122-130 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004)
-KASASI ke MAHKAMAH AGUNG; (Pasal 131 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004)
-PENINJAUAN KEMBALI ke MAHKAMAH AGUNG; (Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, memuat pembatasan terhadap perkara yang dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Pembatasan ini disamping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung (yang selama ini menyebabkan penumpukan perkara kasasi di Mahkamah Agung), juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan :
(1)Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.
(2)Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri atas :
a.putusan tentang praperadilan.
b.perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau diancam pidana denda.
c.Perkara Tata Usaha Negara yang objek gugatannya berupa Keputusan Pejabat Daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(3)Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung.
(4)Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum.
(5)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 45A ayat (2) huruf (c)nya disebutkan : “Dalam ketentuan ini tidak termasuk Keputusan Pejabat tata usaha Negara yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah : urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dan berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Maka kriteria dari suatu Keputusan Pejabat Daerah adalah didasarkan pada kewenangan daerah.
Karakter yuridis Asas otonomi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah dalam rangka desentralisasi. Dan tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan tersebut diatur dalam PERDA (Peraturan Daerah).
Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu. Wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi ini biasanya tidak diatur dalam PERDA.
Sebagaimana dimaksud dalam ketentuan penjelasan pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, yang tidak termasuk Keputusan Pejabat Pejabat Daerah adalah keputusan yang didasarkan atas wewenang dekonsentrasi.
Selanjutnya yang dimaksud pejabat daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Dinas, Camat, Lurah, Kepala Desa dan sebagainya yang kewenangannya diperoleh atas dasar desentralisasi. Pejabat-pejabat lain dalam hal ini yang pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati, Walikota berdasarkan ketentuan perundang-undangan daerah dan pengangkatan tersebut adalah untuk kepentingan pelayanan masyarakat di wilayah bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara menurut ketentuan pasal 45A ayat (2) huruf c UU No.5 Tahun 2004 bentuk hukum positif yang paling menentukan adalah PERDA sebagai landasannya.
Pembahasan mengenai pembatasan upaya hukum kasasi di Peradilan Tata Usaha Negara ini, akan penulis sampaikan lebih lanjut di lain kesempatan.
B.EKSEKUSI
Tata cara atau prosedur eksekusi di Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, adalah sebagai berikut :
(1)Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2)Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4)Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5)Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan : “Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut sudah tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh oleh para pihak.
Dengan adanya ketentuan dan prosedur eksekusi yang diatur dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, maka saat ini putusan Peradilan Tata Usaha Negara telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan terdapat sanksi berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif serta publikasi di media massa cetak terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.
BAB V KESIMPULAN
1.Tidak semua perbuatan pemerintah dapat menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.
2.Bahwa yang dapat digugat di Peradilan TUN haruslah berupa suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ;
3.Bahwa Keputusan TUN dapat dinyatakan batal atau tidak sah oleh Hakim Peradilan Tata Usaha Negara apabila bertentangan dengan hukum yang berlaku yaitu peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik.
4.Hakim Peradilan TUN menguji keputusan TUN baik dari segi kewenangan, formal prosedural maupun dari substansi materiil serta AAUPB.
5.Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak menjadi kompetensi peradilan TUN dapat digugat di Peradilan Umum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata.
6.Bahwa dalam penyelesaian sengketa TUN terdapat titik singgung kewenangan antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.
7.Adanya pembatasan Upaya Hukum Kasasi terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang jangkauan berlakunya di Daerah berdasarkan Pasal 45A ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
8.Terdapat sanksi berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif serta publikasi di Media Massa Cetak terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar